Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Jelajah Nusantara, Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan - Agung Dwi Laksono

Buku Jelajah Nusantara, Catatan Seorang Peneliti Kesehatan ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan ...

   EMBED


Share

Transcript

iii Pengantar  Pengantar  Pengantar  Pengantar  Buku ‘Jelajah Nusantara, Catatan Seorang Peneliti  Kesehatan’  ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban. Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada. Cerita bagaimana petugas kesehatan di Puskesmas Sampang termotivasi dan bangkit dari keterpurukannya, atau petugas di Puskesmas Perampuan Lombok Barat yang penuh inovasi, sampai masyarakat Kabupaten Pegunungan Bintang yang dengan arif memanfaatkan potensi lokalnya, mampu mem’besar’kan kepala penulis merasai endorfin yang mengalir seiring rasa bangga ditakdirkan menjadi anak- anak negeri ini. Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita, iv tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai wilayah-wilayah perbatasan negeri. Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini. Sungguh kami berharap banyak untuk itu! Saran dan kritik membangun tetap ditunggu. Salam! Surabaya, Desember 2012 - Pusat Humaniora - v Daftar Isi  Daftar Isi  Daftar Isi  Daftar Isi  Pengantar iii Daftar Isi v    Pegunungan Bintang, Eksotisme Perbatasan di Pegunungan Tengah Papua 1    Raja Ampat, Potret Sebuah Keraguan 17    Kepulauan Aru, Kabupaten DTPK yang DBK! 21    Catatan Perjalanan Benjina, Sisi Lain Kepulauan Aru 31    Pengungsi Eks Timor 47    Wakatobi, Surga Laut yang Seharusnya Menginspirasi 55    Wakatobi Kali Ke-Tiga 67    Perampuan Dan Odong-Odong 79    Gado-gado ala Sampang! 91    Puskesmas Delivery untuk Metropolis 99    Pulau Tello, Cerita lain tentang Nias Selatan 107    Kabupaten Natuna, Dongeng Ironi Pojokan Negeri 113 vi 1 PEGUNUNGAN BINTANG, EKSOTISME PERBATASAN DI PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA Jayapura_Papua, 14 Mei 2012 Berikut pengalaman muhibah di negeri atas awan Pegunungan Bintang, Papua. Banyak kesan mendalam yang ditinggalkan, semoga juga meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Quote seorang saudara tua, Ernawati, saat berkomentar tentang Kepulauan Aru, “ Keberagaman milik Indonesia tercinta ini harus disyukuri, kecuali keberagaman akses untuk  memperoleh pelayanan kesehatan...”  *** Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua, 12 Mei 2012 Pagi yang tergesa dan kami yang masih malas beranjak, setelah menempuh perjalanan 11 jam dari Surabaya sehari sebelumnya. Pagi itu gerimis, sekitar jam 05.30 WIT, kami berangkat dari Jayapura menuju bandara  Jelajah Nusantara 2 Sentani. Menurut petugas Trigana Air Services kami sudah harus melapor di bandara setidaknya jam 06.00 WIT. Trigana Air Services, maskapai dengan jadwal penerbangan paling tentatif sedunia! Apa pasal? Kami sudah berdiri di counter check in maskapai tersebut jam 06.15 WIT dan ternyata belum buka, dan bahkan baru dibuka pukul 09.00 WIT, dan bahkan berangkat baru jam 11.00 WIT dari jam 07.00 yang direncanakan semula, tanpa pemberitahuan apapun. Tak berlebihan rasanya bila saya menyebutnya sebagai ‘maskapai dengan jadwal penerbangan paling tentatif sedunia!’. Saya tidak punya pilihan maskapai lain untuk menuju Kabupaten Pegunungan Bintang, meski dua bulan sebelumnya masih ada satu lagi operator penerbangan reguler yang beroperasi, Pelita Air. Tapi kondisi saat ini yang tersisa hanya Trigana Air Service, sisanya adalah pesawat-pesawat kecil, Cesna, yang dioperasikan secara  full flight  , atau lebih gampangnya disebut carter, dengan biaya 24-32 juta one way  , sekali berangkat, ‘ murah’  sekali bagi ukuran saya yang PNS. Hahaha... Pesawat akhirnya berangkat dengan membawa 32 penumpang dari 50 seat  yang tersedia dari pesawat jenis ATR ini, sisanya... kami harus berbagi seat  dengan tumpukan beras berkarung-karung dan kebutuhan sembako lainnya. Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Tidak ada jalur alternatif transport lain menuju Oksibil dari daerah lainnya, semua kebutuhan di kabupaten tersebut dikirim melalui jalur penerbangan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 3 Posisi Kabupaten Pegunungan Bintang dalam Peta Papua Penerbangan menuju Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, hanya ditempuh dalam waktu 52 menit. Waktu tempuh yang sangat singkat dibanding penantian panjang yang hampir 5 jam. Kedatangan saya di wilayah paling Timur Republik ini (berbatasan langsung dengan Papua Nuginie), dalam penugasan terkait riset etnografi untuk kesehatan ibu dan anak. Dalam kunjungan lapangan kali ini, saya harus ‘menjenguk’ adik peneliti saya, Mas Aan Kurniawan, seorang anthropolog, yang sudah ‘ditanam’ di Pegunungan Bintang sepuluh hari sebelumnya, dan dia masih harus membaur di masyarakat setempat setidaknya sampai dengan dua bulan ke depan. Dalam tim yang ‘ditanam’, ada 4 orang anggota tim, dua dari Universitas Cendrawasih, anthropolog yang juga  Jelajah Nusantara 4 putra daerah, ditambah satu orang rekan peneliti perempuan asli Serui dari Balai Biomedis di Jayapura. Kami menginap di mess pastoran Gereja Katolik Paroki Roh Kudus. Sebenarnya ada penginapan di Kota Oksibil, Penginapan Gloria, satu-satunya penginapan yang ada di kota ini, tetapi untuk penelitian etnografi kali ini wajib bagi kami untuk berbaur dengan masyarakat setempat. Rencananya 3-4 hari ke depan tim akan bergeser untuk mukim di rumah penduduk di salah satu distrik. *** Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, yang bahkan tak lebih luas dari Kecamatan Jambangan, sebuah kecamatan di Kota Surabaya tempat saya tinggal. Di kota kecil inilah semua kendali pemerintahan di Kabupaten Pegunungan Bintang dikendalikan. Kabupaten berpenduduk 100.686 jiwa ini terdiri atas 34 Distrik atau setara kecamatan, dan 257 kampung atau setara desa. Jangan dibayangkan seperti kecamatan di wilayah lain di Republik ini. Distrik yang bisa dicapai dengan jalur darat, dengan mobil double gardan tentu saja! Hanya mencapai 4 distrik, yaitu distrik Okaom, Bulankop, Serambakon dan Kalomdol. Sisanya 30 distrik hanya bisa dicapai dengan pesawat kecil jenis Cesna. Sebenarnya jalur darat tetap bisa saja ditempuh, dengan keluar masuk hutan, naik gunung, turun jurang, dengan waktu tempuh yang... entahlah... Di wilayah yang berada di ketinggian 2.000-3.000 meter di atas permukaan laut ini, jalur komunikasi  fix    (telkom) tentu saja tidak tersedia, meski operator seluler Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 5 Telkomsel hadir dengan sinyal cukup kuat, setidaknya di Oksibil. Sedang operator seluler lainnya tidak punya cukup nyali untuk bermain di wilayah berat ini. Sekali lagi kondisi ini hanya berlaku di Oksibil saja! Untuk distrik lain bisa dibilang hampir tidak ada satupun alat komunikasi yang bisa dipakai. Hanya ada radio komunikasi SSB untuk setidaknya konfirmasi cuaca untuk penerbangan yang melalui wilayah distrik-distrik tersebut. Listrik sudah bisa nyala setiap hari. Dengan menggunakan tenaga diesel, tenaga listrik mulai dialirkan pada jam 5 sore sampai dengan jam 12 malam. Betul-betul hanya difungsikan sebagai tenaga penerangan pada malam hari saja. PENCAPAIAN IPKM Kabupaten Pegunungan Bintang adalah penghuni paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), atau ranking 440 dari 440 kabupaten/kota. Sebuah pencapaian mengenaskan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya sembilan tahun lalu. Dengan ranking IPKM yang demikian, sudah tentu kabupaten ini termasuk Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), sekaligus juga DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan). Dalam bedah data IPKM, pencapaian cakupan ‘sanitasi’ dan ‘akses terhadap air bersih’ kabupaten ini ‘0%’. Artinya sama sekali tidak ada air bersih dan sanitasinya sangat buruk sekali. Nyatanya kondisi di lapangan memang demikian, masyarakat untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan air hanya mengandalkan  Jelajah Nusantara 6 air tadah hujan. Jadi keberadaan air bersih sangat minim sekali. Bagaimana tidak? Air mineral dalam botol 1,5 liter di Oksibil dibanderol seharga Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal dari harga bensin premium seliter yang mencapai Rp. 35.000,-. Dengan minimnya keberadaan air bersih, sudah tentu sanitasipun menjadi sangat minimal. Menurut beberapa rekan peneliti, sebetulnya sudah mulai ada PDAM yang khusus beroperasi di Oksibil, tapi pelayanannya masih di sekitar perumahan pejabat daerah saja.  Alhamdulillah ... akhirnya saya pun jadi punya alasan untuk tidak mandi, meski tidak tahu berapa hari tahan untuk tidak buang air besar. Imunisasi lengkap balita di seluruh wilayah Kabupaten ini hanya mencapai 1,67%, dan persalinan di tenaga kesehatan pun hanya mencapai 10%. Meski demikian balita kurus hanya sedikit di kabupaten ini, hanya sebesar 8,77%, meski juga yang stunting atau pendek keberadaannya sangat banyak, sebesar 55,17%. Tidak! Tidak perlu mengurut dada untuk pencapaian ini! Yang dibutuhkan hanya aksi... Seluruh data di atas didapatkan dari hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007, meski juga pada saat ini, lima tahun kemudian, kondisinya tetap saja sama. Kita akan lihat lagi pada tahun 2013 nanti, pada saat Riskesdas kembali dilakukan, apakah telah ada perubahan atau tidak pada status kesehatan di masyarakat. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 7 SUMBER DAYA KESEHATAN Kedatangan kami disambut ramah oleh Kadinkes Kabupaten Pegunungan Bintang. “ Kita bersaudara..., semua petugas kesehatan bersaudara.”    Ngobrol santai dengan Kadinkes ini berlangsung sore hari di rumah pribadinya yang sederhana. Tak ada lagi kantor Dinas Kesehatan baginya, setidaknya untuk saat ini. Kantornya telah lebur dihancurkan massa beberapa waktu lewat. Apa sebab? Entahlah... saya sedang tak ingin ikut berpolemik saat ini. Menurut pengakuan Kepala Dinas Kesehatan, Darius Salamuk, SIP., dari 34 distrik (setara kecamatan) di kabupaten ini, hanya 29 Puskesmas yang tersedia. Keberadaan tenaga dokter umum hanya ada 10, dan pada bulan April 2012 kemarin sempat ada tambahan dokter PTT yang dibiayai pusat sebanyak 6 orang. Dari keseluruhan tenaga dokter, hanya 6 orang dengan status PNS.  Jelajah Nusantara 8 Dari 29 Puskesmas yang ada, secara keseluruhan dikepalai oleh perawat lulusan SPK. Di wilayah kabupaten ini secara keseluruhan ada 35 tenaga bidan, yang setengahnya (18 bidan) terdistribusi di 29 puskesmas, dan sisanya ada di rumah sakit. Dengan uraian kekuatan tenaga kesehaan yang tersedia tersebut, tentu saja banyak puskesmas yang tidak tersedia tenaga dokter, dan bahkan meski juga hanya untuk sekedar tenaga bidan. Menurut Kadinkes ada beberapa puskesmas yang hanya ada kepala puskesmasnya saja, itupun hanya mantri lulusan SPK. Ada satu Rumah Sakit di kabupaten ini, yang baru beralih fungsi dari ‘Puskesmas Perawatan Plus Oksibil’ sekitar bulan Maret 2011. Rumah Sakit type apa? Belum! Rumah sakit ini sama sekali belum pernah dan belum layak dilakukan akreditasi. Masih diperlukan perbaikan di sana- sini untuk menjadikannya layak untuk sekedar dilakukan akreditasi. Palang Merah Indonesia dan atau sekedar bank darah pun juga tidak tersedia di kabupaten ini. INOVASI KEBIJAKAN LOKAL Dengan keseluruhan yang serba minimal, bukan berarti pemerintah setempat diam saja. Dalam catatan ada beberapa upaya kreatif untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 9 Tak kurang Bidan Christina Kasipmabin, Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak, menyebutkan pernah ada upaya pendirian rumah singgah di Kota Oksibil. Bidan lulusan P2B ini (lulusan SPK plus pendidikan bidan 1 tahun) menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2009 sempat didirikan rumah singgah dalam bentuk honai  (rumah khas adat tanah Papua) untuk menampung ibu hamil dari luar Oksibil yang diwilayahnya tidak tersedia tenaga kesehatan. Tapi sayangnya saat ini ibu hamil menjadi tidak tertarik memanfaatkan fasilitas ini. Pada tahun yang sama, sekitar tahun 2008-2010, bidan berputra dua ini menyebutkan, bahwa dalam rangka Gerakan Sayang Ibu (GSI) pernah dilakukan upaya pencarian door to door (sweeping ) ibu hami resiko tinggi di seluruh wilayah kabupaten untuk dirujuk ke rumah sakit di  Jelajah Nusantara 10 Jayapura. Tetapi, sejak tahun 2010 upaya ini tidak lagi dibiayai oleh pemerintah kabupaten, karena mahalnya biaya rujukan yang menggunakan transportasi udara karena tidak tersedianya alternatif jalur transport lainnya. Menurut Kadinkes, sejak tahun 2009, pemerintah setempat mengajukan ke Kementerian Kesehatan untuk pendirian kelas khusus Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dan Sekolah Kebidanan yang akan bekerja sama dengan Biak. Kenapa mengajukan hanya SPK yang setara SLTA? Bukannya minimal harus setara D3? Pilihan ini bukannya tanpa alasan. Minimnya sumberdaya dengan pendidikan yang memadai membuat pilihan ini yang jauh lebih masuk akal. Akhirnya pada tahun ini, 2012, ijin didapatkan dari Kementerian Kesehatan (PPSDM). Maka dimulailah proses rekrutmen dan seleksi dari putra daerah setempat. Dengan mengambil 2 sampai 3 orang lulusan terbaik SLTP di setiap distrik. Kesemuanya akan dibiayai dari APBD setempat. Nantinya mereka akan disekolahkan dan diasramakan di Kota Biak. Selain itu pemerintah kabupaten juga akan membiayai penuh siapa saja putra daerah yang mampu menembus Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih (FK Uncen), termasuk menyekolahkan spesialis bagi tenaga dokter umum yang mau ditempatkan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Pada saat ini ada 12 mahasiswa FK Uncen yang dibiayai, dan hanya dua yang baru mencapai sarjana kedokteran (dokter muda). Inovasi lain yang cukup ‘gila’ dilakukan Dokter Bob. Menurut pengakuan dokter asal Batak yang sekaligus Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 11 Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan ini sempat membuat pelatihan dukun bayi untuk Asuhan Persalinan Normal (APN), yang tentu saja tidak mempergunakan dana dari pemerintah. Alasannya sederhana saja, “Saya belum pernah mendengar lonceng Gereja berbunyi yang memberitahukan ada kasus kematian bayi saat persalinan....”  Dengan persalinan ke tenaga kesehatan yang hanya 10%, siapa lagi yang berperan selain dukun??? Kebanyakan kematian bayi di Kabupaten ini dalam kisaran waktu dua minggu sampai satu bulan, bukan pada saat persalinan. Mungkin disinilah peran tenaga kesehatan lebih diperlukan. Inovasi lain juga sempat datang dari akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang akan menggandeng  funding dari luar untuk outsourcing tenaga kesehatan dari luar Kabupaten Pegunungan Bintang untuk ditempatkan di wilayah ini selama satu tahun. Meski kabar ini terdengar segar, tapi menurut Dokter Bob belum jelas kapan akan ada realisasinya. JAMKESMAS, JAMPERSAL, BOK & JAMKESPA Bebera pa permasalahan pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pusat (Jamkesmas, Jampersal, BOK), yang menimpa kabupaten di posisi paling timur Republik ini, hampir sama dengan daerah lain di Indonesia, terutama wilayah kepulauan, yang letak kantor KPPN-nya berada jauh dari wilayah kabupaten setempat. Kendala  Jelajah Nusantara 12 yang sering terdengar adalah biaya ‘perjalanan’ pengurusannya yang tidak tersedia. Permasalahan lain terkait Jamkesmas dan Jampersal menurut Kadinkes adalah keharusannya memiliki rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk proses transfer dananya. Bukan masalah besar seharusnya, bila ‘ada’ keberadaan bank plat merah tersebut di kabupaten yang seluruh wilayahnya gunung ini. Sekali lagi diperlukan biaya ekstra untuk keseluruhan biaya ‘administrasi’nya di Jayapura. Klaim Jampersal di daerah ini tidak melulu dilakukan oleh Bidan. Oleh sebab minimnya tenaga bidan, maka tenaga kesehatan lain, kebanyakan lulusan SPK, ikut melakukan pertolongan persalinan. Hal ini telah menjadi kebijakan khusus di daerah ini terkait Jampersal. Menurut Bidan Christina Kasipmabin beberapa waktu lalu sempat diselenggarakan sosialisasi terkait BOK, Jamkesmas, dan Jampersal. Sasaran sosialisasi adalah seluruh bidan dan kepala puskesmas di wilayah tersebut. Acara diselenggarakan di Oksibil dengan biaya perjalanan yang tidak ditanggung oleh Dinas Kesehatan. Jadi biaya dari distrik ke Oksibil dibiayai masing-masing petugas. Entah bagaimana mereka mengupayakan biaya perjalanan untuk pembelian tiket pesawat tersebut? Saat ini juga berlaku Jamkespa (Jaminan Kesehatan Papua), pembiayaan kesehatan yang juga berlaku di seluruh wilayah Papua yang diolah melalui dana otonomi khusus (otsus Papua). Jaminan pembiayaan kesehatan dasar sampai dengan paripurna ini hanya dikhususkan bagi rakyat Papua asli, tak peduli miskin atau kaya. Meski Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 13 sempat juga terpikir, meski semuanya gratis, untuk apa bila pelayanannya tidak tersedia? LOCAL WISDOM  Kabupaten Pegunungan Bintang memang terlihat terisolasi dari dunia luar, untuk itu dibutuhkan banyak kemauan dan kemampuan yang ditumbuhkan dari dalam, dari masyarakat Pegunungan Bintang sendiri. Dalam banyak hal dukun masih sangat berperanan di kehidupan masyarakat. Dukun, mau tidak mau harus dilibatkan dalam pembangunan kesehatan. Satu langkah strategis telah diambil, merekrut tenaga dukun sebagai kader kesehatan, dengan penghargaan yang luar biasa dibanding kabupaten lain. Mereka diberi insentif Rp. 300.000,- per bulan yang diambilkan dari anggaran APBD. Di beberapa kampung dan bahkan distrik, yang tenaga kesehatan tidak tersedia, maka dukun di’ikhlas’kan menjadi penolong persalinan. Di beberapa tempat pelayanan kesehatan, penulis banyak menjumpai sepinya kunjungan. Dalam beberapa hal tentang sakit dan kesakitan, self efficacy  dengan memanfaatkan tanaman obat yang didapatkan dari alam maupun obat bebas pabrikan menjadi pilihan utama masyarakat. ‘Daun Gatal’ misalnya, dipergunakan masyarakat seperti ‘ koyo’  yang ditempelkan pada bagian tubuh yang dirasakan capek. Efek yang ditimbulkan adalah gatal-gatal yang pada akhirnya berujung pada hilangnya semua rasa lelah. Rasa-rasanya teman peneliti di Tawangmangu perlu juga mengkoleksi tanaman ajib ini.  Jelajah Nusantara 14 Kearifan lokal lain dipelopori oleh ibu bupati selaku Ketua Penggerak PKK Kabupaten yang memutuskan ‘Daun Yamen’ sebagai salah satu suplemen wajib yang diberikan pada ibu hamil dan anak-anak sebagai bahan PMT (pemberian makanan tambahan) di Posyandu. Sayuran asli Pegunungan Bintang ini terbukti banyak mengandung kalsium. Setidaknya hal ini telah diteliti oleh pihak Universitas Cendrawasih. Terbersit rasa bangga saat menjelajah sudut-sudut Pegunungan Bintang sampai ke pelosok, tak satupun dari mereka yang ditemui tak bisa berbahasa Indonesia, meski yang tampak dari luar adalah kaki telanjang dengan pakaian yang lusuh menggendong potongan besar kayu dan tas noken yang menggantung di kepala. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 15 Rasanya sudah terlalu banyak yang diceriterakan, meski terlalu banyak juga yang belum diceriterakan. Semoga bisa menambah rasa kecintaan pada Republik ini.  Jelajah Nusantara 16 17 RAJA AMPAT, POTRET SEBUAH KERAGUAN Saya pada akhirnya menjadi ragu dengan penerapan universal coverage pada saat ini, meski sebelumnya saya sangat berapi-api berharap agar dilakukan percepatan penerapan universal coverage . Sikap baru ini muncul setelah melihat sendiri pelayanan kesehatan di Kabupaten Raja Ampat-Papua Barat yang bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi belahan pertiwi lainnya. Raja Ampat, merupakan kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Sorong. Sebagai sebuah tujuan wisata bawah air, Raja Ampat merupakan sepuluh besar terbaik dunia. Lebih dari dua pertiga populasi bawah air dunia ada di kabupaten kepulauan ini. Indah.. memang terbukti sangat indah seluruh wilayah kepulauan ini, sehingga layak dijuluki sebagai surga bahari! Datang pertama kali di pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat di Waisai di pulau Waigeo tak terbayangkan bahwa sama sekali bahwa tak ada sambungan telepon kabel di seluruh wilayah kabupaten. Kebayang tidak???  Jelajah Nusantara 18 Kata petugas di dinas kesehatan ada dua nomor  faximile di kantor bupati, jadi kalo mau kirim kabar ke Dinas Kesehatan bisa nge-fax ke kantor bupati, nantinya orang kantor bupati yang akan menyampaikan ke Dinas Kesehatan. Dan yang diluar dugaan setelah saya diberi nomor  faximile tersebut… kode areanya Kota Makassar. Kok bisaa??? Kok bukan Kota Sorong??? Entahlah… Posisi Kabupaten Kepulauan Raja Ampat dalam Peta Indonesia Kabupaten baru ini terdiri dari 610 pulau. Empat di antaranya, yakni Pulau Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo, yang merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh pulau hanya 35 pulau yang berpenghuni sedangkan pulau Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kes   lainnya tidak berpenghuni dan sebagian memiliki nama. Pulau-pulau kecil banyak yang berpe puluhan jiwa saja, yang kebanyakan bermat sebagai nelayan. Dan tentu saja transporta tidak ada pilihan selain angkutan laut. Perkampungan Nelayan di Raja Amp   Saya sempat mampir ke salah sat dihuni tak lebih dari 30-40 jiwa, yang seluru Sama sekali tidak ada fasilitas umum di p Untuk mencapai daratannya yang berupa te harus memanjat tangga-tangga bambu yang Rumah kebanyakan dari bahan bambu, deng lebih dari 6 x 8 yang dihuni belasan jiwa. Yak Karna memang hanya ada tiga rumah di pula Pelayanan kesehatan??? Setelah saya Dinas Kesehatan, Puskesmas mengembangk Puskesmas Terapung untuk menjangkau pul hatan 19 besar belum nghuni hanya pencaharian i antar pulau t pulau yang nya nelayan. lau tersebut. ing saja saya cukup tinggi. n ukuran tak belasan jiwa! itu. konfirmasi ke an pelayanan u-pulau kecil  Jelajah Nusantara 20 tersebut. Dengan keterbatasan biaya maka frekuensinya sekali sebulan. Jadi kalo sakit pas saat abis ada kunjungan puskesmas ya harus sabar nunggu kunjungan bulan berikutnya. Pengembangan pelayanan Puskesmas Terapung ini pun bisa berjalan setelah ada Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang bisa dimanfaatkan untuk beli bahan bakar. Bahan bakar memang sangat menentukan. Di kabupaten ini baru saja didirikan POM bensin, yang seringkali kehabisan stok. POM bensin satu-satunya di kabupaten ini. Rumah Sakit??? Yak.. sudah ada satu RS di Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, yang meski dengan fasilitas minimal sudah bisa beroperasi. Tapiiii… UTD-RS (Unit Transfusi Darah-Rumah Sakit) baru dibentuk saat ini,  jadi belum bisa beroperasi. Kalau ada yang sakit dan butuh darah, silahkan dirujuk ke Kota Sorong, dengan sewa boat 7-8 juta pulang pergi, ini masih biaya ‘ beyond health’  nya, belum benar-benar biaya berobatnya. Jadi… bila benar universal coverage diberlakukan, apa pengaruhnya untuk mereka? Karna pelayanannya memang kurang atau bahkan tidak ada. …dan kita yang membaca ini, yang di sini… apa ya pantas mengeluh??? 21 KEPULAUAN ARU, KABUPATEN DTPK YANG DBK! Dobo_Kepulauan Aru, 04 Mei 2012 Siang itu, saat jam 16.30 waktu setempat, di sela teduhnya cuaca sehabis diguyur gerimis, kami mendarat di bandar udara Kota Dobo. Kesan pertama yang tertangkap, ahh... Dobo belumlah layak disebut sebagai kota, meski mereka menyebutnya sebagai ibukota kabupaten ini. Sambutan belasan tukang ojek merayu kami untuk bersegera meninggalkan bandara yang tak lebih besar dari balai desa di Pulau Jawa. Tak perlu waktu lama menentukan pilihan, tak lebih sepuluh menit kami telah sampai di depan Hotel Suasana Baru, hotel yang menurut kami lebih layak disebut losmen. Tak apalah... toh penginapan ini adalah salah satu yang terbaik yang dimiliki kota ini. Sepuluh menit dari bandara ke hotel? Yak! Bukan karena jarak bandara ke hotel yang terlalu dekat, tetapi memang keseluruhan Kota Dobo bila di ubek-ubek  dari ujung ke ujung memerlukan waktu yang tak lebih dari satu jam saja. Cukup besar bukan?  Jelajah Nusantara 22 Saya bertandang di kabupaten ini ditemani Mas Setia Pranata, seorang anthropolog, peneliti senior di tempat saya bekerja. Sedianya kami sedang dalam persiapan daerah penelitian untuk melaksanakan tugas dari kantor, melakukan evaluasi terkait Jaminan Persalinan (Jampersal). Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di Peta Indonesia Seperti judul tulisan yang saya pilih di atas, Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu kabupaten ‘Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan’ (DTPK) yang juga merupakan kabupaten yang tergolong sebagai kabupaten ‘Daerah Bermasalah Kesehatan’ (DBK). Untuk yang belum paham DTPK dan DBK silahkan baca tulisan pada catatan-catatan sebelumnya. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 23 Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten dari propinsi seribu pulau, Propinsi Maluku. Meski sebenarnya di Kabupaten Kepulauan Aru saja jumlah pulaunya sudah mencapai 547 pulau dengan 458 diantaranya yang tidak berpenghuni. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 3 pulau besar (Pulau Wokam, Kobror dan Trangan), dan 8 pulau lain yang merupakan pulau kecil terluar, antara lain Arapula (tidak berpenghuni); Karawaiala (tidak berpenghuni); Panambulai (berpenghuni); Kultubai Utara (tidak berpenghuni); Kultubai selatan (tidak berpenghuni); Karang (tidak berpenghuni); Enu (tidak berpenghuni) ; dan Batu goyang (berpenghuni). Secara geografis, di sebelah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru adalah Laut Arafura, di sebelah Utara dan Timur berbatasan laut dengan bagian Selatan Papua Barat, sedang bagian timur berbatasan laut dengan bagian Timur Pulau Pulau Kei Besar (Kabupaten Maluku Tenggara) dan Laut Arafura. Dalam catatan harum kepahlawanan, Laksamana Laut Yos Sudarso gugur di perairan Laut Arafura saat menolak dievakuasi pihak Belanda ketika kapal yang dikomandaninya dibom dan ditenggelamkan di laut ini. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh) kecamatan dengan jumlah puskesmas mencapai 21 buah. Banyaknya jumlah puskesmas dibanding dengan jumlah kecamatan bukanlah dikarenakan kabupaten kepulauan ini kaya raya, tapi lebih dikarenakan terlalu banyaknya kepulauan yang menjadi wilayah kerja Dinas Kesehatan di sana.  Jelajah Nusantara 24 Untuk mencapai kabupaten kepulauan ini selain dengan jalur laut juga bisa dilakukan dengan pesawat. Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi dan mau mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah Trigana Air, setelah sebelumnya dua maskapai lainnya (Merpati dan Wings Air) menarik diri dari jalur tersebut. Perkampungan Nelayan di Dobo, Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru Jalur pesawat terbang yang harus kita dilalui untuk mencapai Kabupaten Kepulauan Aru dari Kota Ambon adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota yang sebelum memisahkan diri masih merupakan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Jarak tempuh terbang Kota Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan jarak tempuh Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 25 tersebut kita tempuh melalui jalur laut dari Kota Ambon, maka kita bisa semalaman terapung di lautan. Bila kita membayangkan mencapai kabupaten kepulauan ini sulit, maka sesungguhnya mencapai wilayah kerja di kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur laut adalah  jalur transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya sangat tergantung dengan kondisi angin laut yang seringkali sangat tidak bersahabat. Iklim dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru sudah cukup baik untuk golongan DTPK. Sudah ada  jaringan Telkom dan komunikasi seluler. Telkomsel sebagai satu-satunya provider yang bernyawa di daerah ini telah hadir dengan sinyal cukup kuat, meski terbatas hanya  jaringan GSM. Setidaknya saya masih bisa memberi kabar orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja. PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK   Pengakuan dari Kamelia Assagaf (pengelola Jampersal Kabupaten Kepulauan Aru) cukup mengejutkan, bahwa dari 21 (dua puluh satu) Puskesmas yang ada di Kabupaten Kepulauan Aru pada akhir tahun 2011, sampai pada saat tulisan ini dibuat hanya 11 (sebelas) Puskesmas yang memiliki tenaga bidan di wilayahnya, itupun tidak merata di seluruh desa. Di wilayah Puskesmas Marlasi misalnya, dengan 16 (enam belas) desa yang menjadi  Jelajah Nusantara 26 wilayah kerjanya, hanya tersedia 3 (tiga) tenaga bidan. Entah bagaimana mereka membagi beban kerjanya? Pengakuan inipun setidaknya diamini Haryati Kubangun selaku Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru. Sedang 10 (sepuluh) Puskesmas lainnya yang tidak memiliki bidan sama sekali di wilayah kerjanya, terdiri atas Puskesmas Kaben, Puskesmas Wakua, Puskesmas Kobadangar, Puskesmas Koijabi, Puskesmas Longgar Apara, Puskesmas Mesiang, Puskesmas Panambulai, Puskesmas Doka Barat,   Puskesmas Ngaibor, dan Puskesmas yang terletak di wilayah paling selatan Kabupaten Kepulauan Aru, Puskesmas Batu Goyang. Prihatin sekali membayangkan berapa desa yang kosong tanpa ada tenaga kebidanan sama sekali. Kekosongan bidan ini bukan tidak disadari oleh Dinas Kesehatan sebagai masalah yang harus segera diselesaikan, untuk itu Dinas Kesehatan membuat usulan pengangkatan semua lulusan Akademi Kebidanan setempat sejumlah 21 bidan pada tahun 2012 ini. Semua usulan pengangkatan adalah sebagai tenaga bidan PTT dengan usulan pembiayaan dari pusat. Usulan pembiayaan tenaga bidan PTT dengan pembiayaan dari daerah sepertinya gamang dilakukan. Dengan anggaran bidang kesehatan yang hanya 5,68% dari total APBD sebesar Rp. 521.397.899.791,- dirasa tidak cukup untuk membiayai keperluan tersebut, meski APBN juga telah andil sebesar Rp. 7.283.177.000,- untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten Kepulauan Aru ini. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 27 Lulusan bidan tahun 2012 ini merupakan lulusan reguler pertama Akademi Kebidanan satu-satunya di Kabupaten Kepulauan Aru. Tahun 2011 sebelumnya, Akademi Kebidanan ini sempat meluluskan 16 tenaga bidan, yang merupakan tugas belajar dari PNS Dinas Kesehatan dari sekolah kebidanan yang lebih rendah. Berdasarkan data profil kesehatan Kabupeten Kepulauan Aru, jumlah ibu hamil pada tahun 2009 mencapai 2.004 ibu dan menurun sedikit pada tahun 2010 mencapai angka 1.989 ibu hamil. Pada tahun 2010 jumlah ibu hamil yang memeriksakan diri saat kehamilan mencapai K1=1.596 ibu (80,2%) dan K4=1.195 (60,1%). Dari sejumlah kehamilan pada tahun 2010, 52,8%nya (1.013) ditolong oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan. Capaian ini masih jauh dari target SPM provinsi sebesar 90% dan target SPM nasional sebesar 95%. Tidak jauh berbeda dengan data pelaporan rutin dari fasilitas pelayanan kesehatan di atas, data survey berbasis komunitas justru menunjukkan angka cakupan yang sedikit lebih baik. Berdasarkan data Riskesdas 2007 cakupan ibu yang memeriksakan kehamilan di Kabupaten Kepulauan Aru mencapai sebesar 83,3%. Sedang yang melakukan pemeriksaan neonatus mencapai 33,3% untuk KN-1 (0-7 hari) dan 42,9% (8-28 hari) pada KN-2. PELAYANAN JAMPERSAL Berbeda dengan laporan capaian cakupan pelayanan kesehatan ibu, laporan cakupan pelayanan  Jelajah Nusantara 28 penggunaan Jaminan Persalinan (Jampersal) menunjukkan angka yang sangat rendah. Sejatinya, pelayanan Jampersal mulai masuk dan ada klaim untuk jasa pelayanan di Kabupaten Kepulauan Aru pada bulan Agustus 2011. Tetapi pencapaian pelayanannya relatif sangat sedikit dan tidak menunjukkan pola kecenderungan seperti daerah ‘normal’ lainnya. Entah dikarenakan sosialisasi yang kurang intensif, atau karena kondisi geografis kepulauan yang sangat ekstrim, atau karena ketersediaan tenaga bidan yang minim, atau bahkan kolaborasi dari kesemua faktor tersebut. Data yang tersaji dalam grafik berikut memberi gambaran pelayanan kesehatan ibu melalui Jampersal pada tahun 2011. Grafik tersebut merupakan hasil rekapitulasi penulis atas klaim bulanan yang tercatat di pengelola Jampersal Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru pada tahun 2011. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 29 Pola yang ditunjukkan antara jumlah cakupan K-1, K-4, persalinan, KF-1, KF-2,dan KF-3 naik turun menunjukkan tidak adanya ‘ continum of care’  pada pelayanan kesehatan ibu dan anak. Setiap pelayanan seakan berdiri sendiri-sendiri, tidak ada kesinambungan. Hal ini diakui oleh bidan, yang menurut mereka juga karena memang klaim Jampersal bukan sebagai paket utuh, tetapi parsial per pelayanan. Lalu bagaimana dengan klaim untuk transport rujukan? Nol besar! Bukan karena tenaga bidan di desa- desa kepulauan tersebut terlalu pintar, tapi lebih dikarenakan ekstrimnya transportasi yang harus ditempuh bila merujuk, yang bisa-bisa lebih memperparah kondisi si ibu. Akhirnya... tak sampai hati juga rasanya menunjukkan apa yang ‘seharusnya‘, dan menuntut mereka melakukannya. Butuh lebih dari sekedar rasa prihatin untuk membuat pelayanan kesehatan menjadi ‘ADA’!  Jelajah Nusantara 30 31 CATATAN PERJALANAN BENJINA SISI LAIN KEPULAUAN ARU Benjina, 16 September 2012 Perjalanan kali ini kami berkesempatan menembus lebih jauh di wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Puskesmas Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan ‘termudah’ di wilayah ini, menjadi target sasaran. Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan perjalanan sekitar 3-4 jam dari ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’ untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547 pulau ini. Perjalanan kali ini dalam rangka evaluasi pelaksanaan Jampersal di wilayah ini. Pada kesempatan ini kami berangkat berdelapan. Tiga orang dari Pusat Humaniora, seorang dosen Poltekkes Mataram, dua orang dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, serta dua orang driver speedboat  milik Dinas Kesehatan yang kami pinjam. Pada saatnya nanti di wilayah Puskesmas Benjina  Jelajah Nusantara 32 kami ditemani lagi oleh dua orang enumerator yang berasal dari perawat Puskesmas Benjina sendiri. Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina, Kecamatan Aru Tengah, yang berada di pesisir sebelah barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk sekitar 24 desa yang ada di wilayah ini, sedang Puskesmas Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa, dengan bentangan wilayah yang cukup luas. Pertama kali merapat di daratan Benjina, kami disambut oleh ‘mbak-mbak’ yang sedang bergerombol menunggu ‘suami’nya bertandang. Kesan awal yang kurang manis, dan benar-benar menjadi kurang manis pada saat semua cerita terkuak pada akhirnya. Tapi kali ini kita simpan sebentar catatan kurang manis itu. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 33 JAMPERSAL DAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN Kunjungan pertama adalah kulonuwun ke Puskesmas Benjina sekaligus untuk assessment  dengan seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini. Di Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima orang, yang entah mengapa semuanya ditugaskan berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja. Sama sekali tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan salah satu Kepala Dusun, Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa di desanya tidak ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang tenaga dukun bayi. Puskesmas Benjina Menurut pengakuan rekan Puskesmas, terdapat 3 Pustu (Puskesmas Pembantu), yaitu di Namara, Selibatabata dan Fatujuring. Hanya saja yang ada tenaga perawat hanya di Pustu Selibatabata, dua lainnya masih  Jelajah Nusantara 34 kosong. Di wilayah Benjina juga ada satu Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), yaitu di Maririmar yang juga tersedia tenaga perawat laki-laki. Puskesmas Benjina dikepalai oleh seorang dokter, yang merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli daerah, yang rumahnya saat ini berada di Makassar. Saat ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala bidang di Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis lebih sering di Dobo dan Makassar daripada di Benjina. Selanjutnya kami banyak melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas yang menggunakan fasilitas Jampersal. Dalam pelaksanaan penelusuran kami percayakan pada petugas dari Dinas Kesehatan serta petugas dari Puskesmas Benjina. Pada wilayah Rumah Kayu Indonesia atau biasa disingkat RKI, kawasan berpenduduk paling ramai, kami menemukan fakta sekitar 15 dari 30 nama yang tertera di kohort Puskesmas tidak ada sama sekali di wilayah dimaksud. Tidak validnya data kohort untuk klaim Jampersal ini menyebabkan kami melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas secara langsung ke masyarakat dengan tidak bergantung lagi secara penuh pada kohort Puskesmas. Dalam sebuah kesempatan diskusi yang melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama, yang dihadiri oleh pendeta, kepala desa, kepala dusun, kader, dukun bayi, tokoh wanita serta seorang tokoh pemuda, mereka mengaku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jaminan Persalinan atau yang lebih populer disingkat dengan Jampersal. Mereka bengong dan terdiam seribu bahasa ketika ditanyakan tentang apa itu Jampersal? Dalam kesempatan lain Kepala Puskesmas mengaku Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kes   menyelenggarakan pertemuan lintas sektor tiga kali sebulan dengan mempergunakan Operasional Kesehatan (BOK). Pada kesempatan diskusi tersebut agama dan tokoh masyarakat setempat melontarkan usulan pengadaan pos-pos siag titik desa. Karena pelayanan kesehatan ibu d mengandalkan satu titik di puskesmas saja satu faktor penyulit akses masyarakat di wila forum diskusi yang sama, Kepala Desa Benjin kesanggupannya untuk menyediakan tanah untuk keperluan tersebut. Usulan lain yang m usulan dari bapak pendeta yang untuk mem dan penghargaan bagi dukun bayi. Usulan manusiawi dari masyarakat yang merasa keberadaan dukun bayi di tengah ketidakters kesehatan. hatan 35 secara rutin ana Bantuan para tokoh  juga sempat di beberapa an anak yang enjadi salah ah ini. Dalam menyatakan i wilayahnya enarik adalah eri perhatian yang sangat kan manfaat diaan tenaga  Jelajah Nusantara 36 Menurut pengakuan Kepala Puskesmas yang di’amin’kan oleh rekan Puskesmas lainnya, menyatakan bahwa Puskesmas menurunkan petugas untuk berkeliling di Posyandu sekali sebulan di setiap wilayah yang didominasi dengan jalur laut. Jadi, banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas di wilayah ini bersentuhan dengan pelayanan kesehatan sebulan sekali. Jadi bila sakit saat baru saja ada kunjungan Posyandu, maka kita harus bersabar menunggu satu bulan kemudian untuk mendapatkan pengobatan. Dalam kesempatan ini kami juga sempat berkunjung dan berbaur dengan masyarakat di beberapa lokasi. Setidaknya 7 titik lokasi yang menjadi ampuan Puskesmas Benjina telah kami datangi, yaitu Desa Benjina, wilayah RKI-Benjina (Rumah Kayu Indonesia), Desa Gulili, Desa Namara, Desa Selilau, Desa Fatujuring, dan wilayah Trans-Maijurung. Menurut masyarakat di lokasi-lokasi Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 37 tersebut, memang mereka bersentuhan dengan petugas kesehatan sebulan sekali sesuai dengan jadwal Posyandu, tetapi seringkali juga mundur, sampai pada akhirnya terlewat pada jadwal bulan berikutnya lagi. Mereka bercerita dengan tetap menaruh kepercayaan penuh pada petugas kesehatan, dan bahwa memang menurut mereka kondisi ini terjadi berada di luar kuasa petugas kesehatan. Ada sebuah insiden kecil pada saat kami hendak meninggalkan Desa Gulili pada salah satu kunjungan, di dermaga seo-rang kakek ber-jalan terbungkuk menggunakan tongkat hendak melompat ke speedboat  kami, posisinya sudah duduk di bibir dermaga dengan kaki hendak menjangkau speedboat  . Kakek yang sedang sakit itu mengira kita sedang ada jadwal Posyandu, dan berharap mendapat pengobatan dari mantri yang menyertai perjalanan kami. Sungguh tak tertahan hati menangis merasai rintih dan harapnya. Dan betapa Mbak Ning, mantri perempuan dari Purwokerto itu begitu telaten memberi penjelasan sekaligus memupuk harapan si kakek, dan meyakinkan bahwa dia akan kembali menjumpai kakek itu. Bersabarlah kek, bersabarlah... entah sampai kapan? Konfirmasi kami lakukan ke petugas Puskesmas tentang penjadwalan Posyandu ini, kami mendapat  jawaban bahwa memang jadwal Posyandu keliling itu rutin, tapi juga tergantung ketersediaan uang. Setidaknya membutuhkan Rp. 600.000,- sekali jalan untuk tiga sampai empat hari berkeliling Posyandu di wilayah-wilayah ampuan Puskesmas tersebut. Tergantung ketersediaan uang? Sungguh miris mendengar jawaban ini. Bukannya Kementerian Kesehatan telah meluncurkan dana BOK ke semua Puskesmas? Yang  Jelajah Nusantara 38 setelah re-check  ke petugas Dinas Kesehatan menemukan kenyataan bahwa Puskesmas Benjina menerima dana BOK sekitar 250 juta. Itu belum termasuk dana operasional Puskesmas yang berasal dari APBD. Kita coba berhitung untuk ‘ketersediaan uang’ ini. Bila dibutuhkan 3 kali perjalanan untuk menjangkau Posyandu yang memerlukan biaya transportasi laut, yang sekali perjalanannya membutuhkan biaya Rp. 600.000,-, maka sesungguhnya kebutuhan per bulan untuk transportasi laut hanya membutuhkan Rp. 1.800.000,-, dan dalam setahun hanya pada kisaran Rp. 21.600.000,-. Lalu dibandingkan dengan kucuran dana BOK yang sekitar Rp. 250.000.000,-? Yang sekali lagi setelah konfirmasi dengan Dinas Kesehatan penyerapan dana BOK di Puskesmas Benjina mencapai 100%. Kebutuhan biaya sesuai uraian di atas adalah untuk sewa longboat  dari nelayan. Puskesmas Benjina sendiri sebetulnya sudah mempunyai speedboat  sendiri, hanya saja sudah rusak sejak dua tahun yang lalu. Menurut keterangan Dinas Kesehatan sempat dirapatkan soal kerusakan speedboat  ini dengan beberapa Puskesmas yang Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 39 mengalami hal yang sama. Pada saat pengambilan keputusan, para Kepala Puskesmas merasa sanggup memperbaiki speedboat  nya sendiri tanpa diambil alih oleh Dinas Kesehatan. Tetapi hasilnya untuk Puskesmas Benjina sampai saat ini dari dua tahun yang lalu tidak ada perbaikan sama sekali. Gambaran lain adalah rencana pengembangan Puskesmas Benjina menjadi Puskesmas Rawat Inap. Pada tahun 2006 Pemerintah Propinsi membangunkan gedung rawat inap yang berjarak sekitar setengah kilo dari Puskesmas yang ada sekarang. Dan kenyataannya sampai sekarang, tahun 2012, enam tahun kemudian, pembangunan gedung yang asal-asalan dan dipaksakan menjadi mangkrak dan tidak berpenghuni, yang menurut informasi Kepala Puskesmas Benjina kuncinya baru diserahkan sekitar bulan lalu dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru juga membangun gedung rawat inap yang dibangun persis di sebelah gedung yang dibangun Pemerintah Propinsi. Proses pembangunannya sampai dengan saat ini sudah mencapai 60%. Ada beberapa opsi kebijakan praktis yang bisa dikem- bangkan untuk me- ningkatkan dan atau menjamin keterse- diaan pelayanan kese- hatan di wilayah Ben-  jina. Opsi kebijakan ini bi-sa dipilih salah satu sebagai se-buah kebijakan yang  Jelajah Nusantara 40 dijalan-kan, atau bisa juga dilaksana-kan secara ber- samaan. Ter-gantung de-ngan kemam-puan yang ada serta skala prioritas dari pengambil kebijakan. Pertama. Melihat fasitas umum yang ada di desa- desa wilayah Benjina yang sangat memprihatinkan, maka bisa dimaklumi jika apa tenaga kesehatan pun akan sangat manusiawi bila dia menolak untuk ditempatkan di sana. Maka sudah seharusnya pemerintah daerah mulai memikirkan ketersediaan sarana pendukung dan fasilitas umum. Hal ini memerlukan waktu, yang bisa dijadikan sebagai sebuah langkah jangka panjang. Kedua. Memperbanyak frekuensi jadwal puskesmas terapung keliling. Langkah ini cenderung praktis dengan melihat ketersediaan sumber daya yang ada. Hanya diperlukan penambahan biaya operasional sewa longboat  yang cukup besar sesuai dengan frekuensi yang diharapkan. Ketiga. Pengadaan speedboat  sebagai kendaraan operasional. Langkah ini harus disertai pula dengan pengadaan tenaga teknis awak boat  untuk menjamin operasionalisasi puskesmas terapung keliling. Pada opsi kebijakan ini secara jangka panjang lebih mengirit biaya operasional daripada opsi sewa longboat. DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN DI BENJINA Pada awalnya Benjina merupakan salah satu wilayah sasaran transmigrasi di Kepulauan Aru. Transmigran di sini dengan kekhususan pada dua jenis mata pencaharian, yaitu nelayan dan petani. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 41 Nelayan berlokasi di pinggiran pantai, sedang transmigran petani berada jauh lebih ke dalam pulau. Pada salah satu dusun transmigran petani yang sempat saya kunjungi, berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari bibir pantai, dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak yang disemen dengan kondisi berlubang di sana-sini. Dahulu, di wilayah ini, di seberang Desa Benjina, di Pulau Maekor, berdiri beberapa perusahaan perikanan yang pada saat jaya-jayanya menyerap pekerja sekitar 8.000 orang lebih yang ditempatkan di mess-mess perusahaan. Pada saat-saat tersebut para transmigran juga turut berjaya dengan menjadi supplier  hasil bumi untuk kebutuhan konsumsi para karyawan, serta supplier  hasil perikanan sebagai core bussiness perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan yang dimodali asing ini banyak mendatangkan pekerja penangkap ikan beserta kapal-kapalnya dari Thailand. Kondisi ini menjadikan kondisi ekonomi pada saat itu menjadi sangat bergairah, dan memacu berduyun-duyunnya pendatang dari luar wilayah, termasuk di dalamnya para mbak-mbak yang menjadi penghibur pelepas lelah nelayan-nelayan Thailand yang telah bekerja seharian.  Jelajah Nusantara 42 Tak cukup sam- pai di sini, para nelayan Thai- land tersebut banyak yang pulang pergi di wilayah ini, dengan teng- gang waktu yang cukup lama dan sering, sesuai dengan kontraknya pada perusahaan. Maka lahirlah ‘kebutuhan-kebutuhan’ baru. Kultur baru ‘kawin kontrak’ pun mulai bermunculan dan bertumbuh. Seiring berjalannya waktu, pasca krisis moneter yang melanda republik ini, perusahaan perikanan ini bangkrut, dan mengurangi pekerjanya secara besar- besaran. Efeknya sungguh membuat miris, para transmigran banyak yang pulang kembali ke daerahnya, karena hasil pertaniannya tidak mampu terserap lagi oleh perusahaan. Para ‘janda’ Thailand pun banyak ditemui di mess-mess sekitar perusahaan yang beralih fungsi menjadi rumah-rumah bedeng dengan kondisi yang jauh dari layak, yang menurut rekan peneliti senior yang bersama saya lebih mirip (ma’af) kandang kambing. Kondisi lebih layak  justru ditemui pada tempat tinggal mbak-mbak penghibur, meski juga tidak terlalu jauh berbeda. Bila Menteri Kesehatan yang seorang aktivis penanggulangan HIV/AIDS serta Gender ada di sini, saat ini, tentu akan merasakan hal yang sama dengan yang kami rasakan, betapa perempuan- perempuan kita diperlakukan menjadi lebih mirip (ma’af) tempat sampah di sini. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 43 Saat ini, kamipun masih sering menemui orang Thailand yang tinggal di sini, yang seringkali berjalan sempoyongan, mabuk sopi  (minuman keras khas Aru). Dari cerita-cerita penduduk dan teman-teman Puskesmas, banyak orang-orang Thailand yang melarikan diri dan tinggal di hutan, karena kontraknya telah habis, dan mereka tidak mau kembali atau dideportasi ke Thailand. Dalam hati sempat terlintas tanya, ” Kenapa harus mendatangkan orang Thailand?“  “Kenapa tidak pakai orang kita?”  “Apakah orang kita tidak mampu?”  “Apakah sudah tidak ada pengangguran di  Republik ini?”  CERITA TENTANG MBAK-MBAK DARI JAWA Sore itu kami berkesempatan hunting foto sunset  di dermaga dekat lokasi mbak-mbak itu. Kami duduk-duduk biasa saja bersama mereka, seperti layaknya tetangga, toh di situ juga berbaur ibu rumah tangga lain beserta anak- anak. Dari kejauhan terlihat ada kapal penangkap ikan yang masuk dan mau merapat di perusahaan, seketika sekelompok mbak-mbak itu berteriak spontan... “ Horeeeee... kapal dataaang! Kapal dataaaaang! Bojoku tekooo...”  Teriakan spontan yang membuat kami trenyuh pada akhirnya, dengan bibir yang tak henti-hentinya mengepul  Jelajah Nusantara 44 asap putih dari rokok yang melekat erat pada sela-sela jari, mereka bergerombol membunuh waktu. Hampa. Suwung . Tarif  short time yang berlaku dengan rata-rata Rp. 100.000,-. Kebanyakan tamu yang berkunjung berasal dari nelayan Thailand. Menurut driver speedboat  yang kami bawa,   sempat ditawari dengan promosi diskon, dan mereka pun bisa banting harga sampai dengan Rp. 30.000,- saat tidak ada kapal nelayan Thailand yang merapat. Harga yang cukup murah untuk sebuah harga diri. Tarif  long time dipatok seharga Rp. 500.000,- untuk waktu kebersamaan semalam suntuk sampai dengan pagi hari. Si Lelaki akan mendapat perlakuan khusus sampai dengan suguhan sarapan pagi yang dimasak oleh tangan mbak-mbak itu sendiri. Mengisyaratkan kerinduan mereka untuk memberi pelayanan selayak suami sesungguhnya. Yaaah... bisa dibilang seluruh mbak-mbak itu berasal dari Pulau Jawa. Kata-kata mereka begitu halus saat kita pun menyapanya dengan sopan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 45 “Nyuwun sewu mbaak, permisi numpang lewaaat...”  “Oooo... tiyang Jawi tooo? Monggo maaas...”  Sekilas percakapan saat melintas dari dermaga di sebelah rumah tinggal mereka. Dari jendela terlihat poster ‘ walisongo’  terpampang di sudut kamar mbak-mbak itu. Isyarat apa lagi yang saya bisa maknai selain kerinduan mereka untuk kembali dalam kehidupan normal? Saat ini menurut rekan pejabat dari Dinas Kesehatan sudah terdeteksi 6 orang mbak-mbak di wilayah itu yang mengidap HIV/AIDS. Pemeriksaan rutin setiap tiga bulan sekali dilakukan oleh petugas P2 (Pemberantasan Penyakit) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, yang menurut cerita beberapa rekan mereka melakukan pemeriksaan sekaligus pemakai gratis mbak-mbak itu. Saya berusaha untuk tidak kaget dan memasang ekspresi datar saja mendengarnya. Terdiam. Membatu. Sebuah kunjungan singkat yang memunculkan banyak pertanyaan besar di kepala! Bagaimana seharusnya mengantisipasi culture shock  sebagai dampak dari industrialisai? Bagaimana berpikir tentang pemerataan pelayanan kesehatan ( equity  ), bila pelayanan saja tidak tersedia? Bagaimana berkoar tentang jaminan kesehatan semesta ( universal coverage ), bila lagi-lagi pelayanan kesehatan dasar saja tidak ada wujudnya? Tentu saja penyerapan dana hanya akan terserap di wilayah-wilayah yang pelayanan kesehatannya sudah tersedia, dan pada akhirnya akan lebih memperparah ketidakadilan yang sudah subur.  Jelajah Nusantara 46 Saya salah satu pendukung gagasan universal  coverage,  jaminan kesehatan untuk semua orang, tapi... “saat ini beta su pi  dari tanah Aru, tapi kenangan seng hilang dari  ingatan. Suatu saat beta akan datang lai... akan datang lai...“  47 PENGUNGSI EKS TIMOR Belu, 10 Januari 2011 Akhir tahun kemarin saya sempat diminta Kepala Puslit untuk mendampingi Pak Bambang Sulistomo (staf  khusus Menteri Kesehatan bidang politik kebijakan kesehatan) untuk melihat kondisi kesehatan pengungsi eks penduduk Timor Timur (Timor Leste) di daerah perbatasan. Tujuan utamanya sih bahasa kerennya untuk ‘ health need assessment’  , karena kabar burung yang sampai ke pusat menghembuskan berita tak sedap tentang kondisi kehidupan para pengungsi ini. Berikut adalah sekilas laporan pandangan mata… *** Saat ini ada beberapa pengungsian yang menampung pengungsi eks penduduk Timor Timur yang menyebar ke seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan bahkan sudah menyebar ke Provinsi lainnya di Indonesia melalui program transmigrasi. Kebanyakan pengungsi eks Timor Timur sudah mulai berbaur dengan  Jelajah Nusantara 48 masyarakat setempat, sehingga batasan antara penduduk lokal dengan penduduk pengungsi mulai menjadi kabur. Di Kabupaten Belu, keberadaan eks pengungsi Timor Timur ada sekitar 40.000  jiwa yang terse- bar di beberapa daerah. Daerah sebaran mereka antara lain terda- pat di Lakafehan, Kenabibi, Halibada, Silawan, Tulakadi, Haliwen yang secara geografis terletak di bagian utara wilayah Kabupaten Belu. Selain itu mereka juga menempati beberapa daerah di bagian selatan seperti di daerah Alas, Laktutus, Haekesak dan Nualain. Disetiap daerah terdapat beberapa kelompok/koloni pengungsian. Secara umum di beberapa wilayah, mereka sudah bertempat tinggal di lingkungan yang relatif tertata rapi. Satu keluarga menempati satu rumah dengan tanah berukuran sekitar 15 x 20 meter. Selain bangunan rumah ada juga tempat mandi, kandang babi atau kambing. Sisa lahan yang ada digunakan untuk ditanami jagung dan ketela pohon untuk dikonsumsi dan terkadang dijual di pasar. Satu komplek pemukiman yang dihuni oleh paling tidak 40 rumah tangga dengan anggota rumah tangga Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 49 antara 4 – 6 orang. Beberapa kelompok/koloni pengungsian ada yang sudah mempunyai tempat ibadah dan balai pertemuan. Jalan yang menghubungkan lingkungan tempat tinggal mereka dengan jalan raya kabupaten yang memungkinkan mereka melakukan kegiatan sosial dan ekonomi sudah bisa dilalui oleh motor dan mobil walau masih belum diaspal. Tapi masih tersisa beberapa kelompok/koloni pengungsian, karena lokasinya yang jauh di pedalaman, tidak bisa dilalui dengan mobil ataupun motor, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Tim assessment  menemukan di daerah Haliwen ada 3 kelompok/koloni pengungsian yang seperti ini. Mata pencaharian mereka bermacam-macam. Sebagian besar adalah mengolah lahan dan tanah tegal untuk ditanami. Ban- yak kepala keluarga diantara mereka yang bekerja sebagai tu- kang ojek. Ada yang berjualan kebutuhan sehari-hari dan ada pula yang menjadi PNS atau TNI. Secara umum kondisi kesehatan pengungsi dalam beberapa titik yang didatangi tim rapid  assessment  cukup baik. Kendati kondisi  Jelajah Nusantara 50 hidup sehari-hari cukup memprihatinkan, tapi pengalaman selama sebelas tahun mengungsi cukup membuat penduduk baru ini strugle dalam menjalani hidup. Dalam satu bulan terakhir tidak ditemukan satu pun penduduk pengungsi di lokasi wawancara yang sakit dan atau berobat ke pelayanan kesehatan. Ibu-ibu ditemukan dengan kondisi lingkar lengan atas (LILA) yang sangat memadai (melebihi 23 centimeter). Anak-anak yang meski terlihat lusuh, tertawa lepas pada saat wawancara berlangsung. Sorot matanya sangat tajam dan cerdas dalam menjawab beberapa tes pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang tim pewawancara. Kondisi kesehatan lingkungan di pengungsian bisa dibedakan menjadi dua kondisi yang cukup ekstrem. Kondisi pertama adalah pengungsi yang berhasil menempati rumah yang dibangun oleh pemerintah, dengan syarat pengungsi mampu menyediakan lahan/tanah sendiri, dengan kata lain pengungsi mampu membeli sebidang tanah secara mandiri. Untuk kondisi ini pemerintah membangun rumah dengan dinding separuh tembok, atap seng, dan di-plester (lantai semen). Sedang kondisi kedua, pengungsi yang tidak mampu menyediakan dan atau membeli lahan/tanah untuk membangun rumah, maka pemerintah hanya menyediakan bahan bangunan berupa semen, seng, dan kayu. Sementara pembangunan dilakukan oleh warga sendiri. Secara umum, kondisi rumah yang dibangun langsung oleh pemerintah memiliki sanitasi lingkungan yang lebih baik dibanding dengan yang dibangun sendiri oleh para pengungsi, fasilitas pelayanan kesehatan telah Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 51 cukup tersedia dengan jarak yang relatif dekat dan menjangkau ke seluruh daerah pemukiman pengungsian. Kecuali untuk beberapa kelompok pemukiman pengungsi yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, tapi akses jalan sama sekali tidak tersedia. Pemukiman pengungsi jenis ini hanya tersedia jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Sedang mobil dan bahkan motor pun tidak bisa melewati. Dalam beberapa kondisi hujan bahkan harus melewati genangan air (banjir) setinggi bahu orang dewasa. Kodisi ini dijumpai tim di daerah pemukiman pengungsi di wilayah Haliwen, dimana seluruh anak di lokasi tersebut bahkan tidak bersekolah disebabkan akses  jalan yang tidak tersedia. Hampir semua pengungsi memang telah mendapatkan KTP setempat, hal ini juga yang  Jelajah Nusantara 52 menyebabkan beberapa pengungsi telah memegang kartu Jamkesmas. Meski demikian tidak semua bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan kesehatan ini. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan seorang ibu rumah tangga pengungsi yang berjualan bensin eceran untuk membantu suaminya yang berprofesi pengojek mendapatkan fakta harus melahirkan dua kali dengan kedua-duanya melahirkan di rumah sakit, karena anak lahir kembar, dengan biaya sendiri sebesar lebih dari lima ratus ribu untuk setiap kelahirannya. Dalam pengamatan, kondisi rumah tangga ini tidaklah jauh lebih baik dibanding rumah tangga pemegang kartu Jamkesmas yang tinggal persis di sebelahnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu didapatkan fakta bahwa Kabupaten Belu hanya sanggup menanggung 7.000 keluarga non kuota (di luar listing keluarga miskin dari BPS) untuk Jamkesmas. Artinya bahwa masih tersisa cukup banyak keluarga miskin di wilayah ini yang belum terjangkau Jamkesmas. Dalam akhir laporan, tim assessment merekomendasikan… Perlu kerja sama lintas sektor dengan penanggung  jawab masalah sarana/prasarana wilayah untuk memecahkan masalah aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan yang terbentur pada tidak adanyan akses jalan. Perlunya pembiayaan kesehatan yang menyeluruh yang mencakup seluruh pengungsi eks Timor Timur, dikarenakan kondisi yang memang layak masuk dalam kategori miskin dan sangat miskin. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 53 Dalam upaya memberikan bantuan dan atau pengentasan pada para pengungsi juga perlu diperhatikan kondisi penduduk setempat yang kondisinya juga seringkali tidak jauh berbeda dengan para pengungsi. Demikian selayang pandang perjalanan akhir tahun kemarin, semoga sedikit memperkaya pandangan kita tentang keberadaan saudara-saudara kita di perbatasan.  Jelajah Nusantara 54 55 WAKATOBI, SURGA LAUT YANG SEHARUSNYA MENGINSPIRASI Baubau, 14 Oktober 2012 Lanscape view  dari Bukit Benteng Wakatobi, demikian kabupaten baru pemekaran Kabupaten Buton ini disebut. Nama kabupaten yang diambil berdasarkan singkatan nama empat pulau besar yang ada di wilayah ini, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan yang terakhir serta terjauh adalah Pulau Binongko.  Jelajah Nusantara 56 Kabupaten yang merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam kriteria DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan) ini beribukota di Wanci yang berada di pulau pertama, Pulau Wangi-wangi, yang merupakan pulau terbesar dan paling ramai dari ke-empat pulau besar di wilayah ini. Kabupaten Wakatobi memiliki dunia ‘lain’ yang begitu menarik bagi wisatawan penggemar lanscape   bawah laut. Dunia yang merupakan surga bagi penggemar dunia diving ataupun snorkelling, atau mungkin bahkan bagi yang tidak bisa berenang sekalipun. Bagaimana tidak? Lautan yang mendominasi wilayah kepulauan ini begitu  jernih dan menampilkan spot-spot indah yang cukup dangkal di beberapa titik. Menampilkan indahnya biota laut, yang bahkan tanpa kita perlu berbasah-basah dengan hanya nangkring di atas ketinting. Tomia Dive Centre, salah satu penyedia layanan wisata dasar laut yang dikelola investor asing. Wakatobi yang merupakan salah satu destinasi bawah laut yang sedang mendunia ternyata prestasinya dalam bidang kesehatan kurang begitu menggembirakan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 57 Wakatobi merupakan salah satu wilayah DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan). Setidaknya Wakatobi menempati urutan ke-340 dari 440 kabupaten/kota saat pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tersebut dibuat, atau rangking 7 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Sultra. Dalam bidang pergizian, setidaknya di kabupaten kepulauan ini didominasi oleh balita stunting (pendek atau sangat pendek) sebesar 52,67%. Indikator yang dihitung berdasarkan angka tinggi badan dibanding umur ini seharusnya tidak boleh terjadi di Kabupaten yang sumber protein hewani dari ikan begitu sangat melimpah ini. Masalah gizi lainnya, gizi buruk dan kurang juga masih cukup tinggi, yaitu 30,21% dari seluruh balita yang ada di kabupaten ini. Indikator lain, yang memiliki bobot tinggi dalam IPKM, juga mempunyai masalah yang cukup berat, baik pada masalah kesehatan ibu dan anak maupun sanitasi dan ketersediaan air bersihnya.  Jelajah Nusantara 58 Propinsi Sulawesi Tenggara dalam IPKM Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 59 JAMPERSAL DI WAKATOBI Kedatangan kami sebagai tim di kabupaten kepulauan ini memang sedianya mengemban tugas untuk mengevaluasi pelaksanaan Jaminan Persalinan (Jampersal) di wilayah ini, meski juga akhirnya kami membuka mata sedemikian lebar serta memasang telinga dengan sungguh-sungguh untuk lebih banyak melihat dan mendengar apa yang menjadikan kabupaten ini bisa sedemikian terpuruk dalam bidang kesehatan. Untuk Jampersal, implementasi kebijakannya di kabupaten ini kami berani mengatakan bahwa dalam hal mekanisme pembayaran klaim dan persyaratan jaminan, Kabupaten Wakatobi merupakan yang terbaik di Indonesia! Setidaknya kami membandingkan dengan 14 kabupaten/kota yang kami datangi di tujuh propinsi di wilayah Republik ini. Bagaimana tidak? Kabupaten kepulauan ini begitu berani menetapkan (sesuai Juknis) bahwa persalinan yang bisa dilakukan klaim adalah persalinan yang hanya dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sebuah keberanian yang layak mendapatkan apresiasi di tengah minimnya sarana dan fasilitas kesehatan yang jangkauan wilayahnya cukup luas. Untuk pembayaran klaim Jampersal pun, Kabupaten Wakatobi memberikan seratus persen klaim langsung kepada pemberi layanan (bidan), tanpa ada potongan atau pajak apapun. Hal ini tidak terjadi di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, terutama bagi bidan pemerintah (bidan yang melayani di Puskesmas, Pustu, Poskesdes, dan Polindes). Biasanya di beberapa wilayah klaim yang tanpa potongan apapun bisa terjadi hanya pada ‘bidan swasta’ yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan.  Jelajah Nusantara 60 Mekanisme keuangan yang berlaku di Kabupaten Wakatobi memang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang kami temui. Di kabupaten ini aliran keuangan Jampersal tidak perlu mampir dulu ke Kas Daerah. Jadi dari Dinas Kesehatan langsung kepada bidan pemberi layanan melalui pengelola Jampersal di Puskesmas. Kesuksesan dalam manajemen pengelolaan klaim bukan berarti implementasi kebijakan Jampersal dalam hal pelayanan menjadi lebih mudah di wilayah ini. Adat budaya untuk melahirkan di rumah, masih banyaknya jumlah dukun bayi, serta sulitnya medan serta sebaran penduduknya yang begitu luas menjadikan tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan dalam memberi pelayanan. Budaya setempat yang lebih menyukai melahirkan di rumah cukup merepotkan untuk mewujudkan cita-cita persalinan di fasilitas kesehatan. Pada akhirnya memaksa petugas untuk jemput bola! Bila ada ibu hamil yang mau melahirkan, maka akan dijemput oleh mobil ambulan untuk dibawa ke Puskesmas. Tidak berhenti hanya sampai di situ, momennya pun harus tepat! Minimal harus menunggu pembukaan 7 atau bahkan pembukaan lengkap, atau kalau tidak masyarakat (ibu bersalin dan keluarganya) akan nggrundel  karena menunggu terlalu lama di Puskesmas. Jumlah dukun bayi dan trust  (kepercayaan) masyarakat yang begitu tinggi pada dukun tersebut juga turut menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan. Kepercayaan yang sedemikian tinggi pada dukun bayi benar- benar mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah ini. Masyarakat lebih rela membayar dukun bayi daripada pelayanan gratis di Puskesmas. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 61 Jangan membayangkan tarif dukun bayi yang sekedarnya seperti layaknya dukun bayi di wilayah lain. Di wilayah ini sedemikian tingginya trust  masyarakat kepada dukun menempatkan dukun dalam posisi yang sangat prestis. Untuk wilayah Pulau Binongko saja tarif dukun bayi sekitar Rp. 400.000,-, sedang di wilayah Pulau Tomia tarifnya mencapai angka Rp. 900.000,-. Bagaimana dengan tarif dukun bayi di ibukota kabupaten? Sangat fantastis! Mencapai tiga kali lipat tarif pelayanan Bidan yang ditanggung oleh Jampersal. Rp. 1.500.000,-. KETERSEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6 desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap bidan harus mampu mencover dua desa. “ Di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup  pak! Apalagi ini kita hanya diberi tiga bidan untuk  enam desa...”  demikian keluh salah satu tokoh masyarakat. Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan bahkan dukun bayi kami juga menemukan beberapa kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.  Jelajah Nusantara 62 “Saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup bagus pak, tapi perlu ditingkatkan   lagi, terutama untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus dirujuk ke Baubau...”  usul salah satu Kelapa Lingkungan kepada kami. Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia fasilitas pelayanan tranfusi darah. Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarnya sudah berdiri di kabupaten ini, tetapi belum memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai satu- satunya Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan untuk sekedar bank darah. Menurut pengakuan Dinas Kesehatan sebenarnya sudah tersedia tenaga untuk pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang masih belum tersedia. Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke Baubau mencapai 11 jam perjalanan dengan kapal reguler bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya beroperasi sekali sehari. Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus bersabar dengan  jadwal yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau sewa kapal sepertinya menjadi hal yang mustahil bagi penduduk wilayah ini, karena harga sewanya mencapai kisaran di atas Rp. 10.000.000,- per kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu hamil dengan faktor penyulit yang dirujuk ke Baubau harus  pass away  sebelum sampai ke tempat rujukan. Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi sebenarnya lebih pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi dengan kapal cepat bisa mencapai tiga sampai tiga setengah  jam perjalanan. Hanya saja memang ketersediaan sarana pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak selengkap di Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 63 dokter obgyn di RSUD Kabupaten Wakatobi yang dikontrak selama enam bulan. Saat kedatangan kami pada hari Rabo (10 Oktober 2012) untuk wawancara dengan dokter obgyn di Wanci, beliau menyatakan sedang di Kota Baubau karena ada keluarganya yang sakit. Kami kejar untuk bisa wawancara di Kota Baubau, beliau mengatakan akan berangkat ke Kota Makassar. Kami kejar kembali untuk dapat wawancara di Makassar, beliau menyatakan akan ke Jakarta untuk membeli obat-obatan. Akhirnya kami dapatkan janji beliau untuk wawancara di Jakarta hari Senin ini (15 Oktober 2012). Semoga wawancara tersebut benar-benar bisa berlangsung. Sebelum kelupaan, di wilayah Pulau Tomia ini, yang meskipun kepulauan, belum tersedia Puskel Laut (Puskesmas Keliling) atau Puskes Terapung. Semoga Dirjen BUK (Bina Upaya Kesehatan) membaca tulisan ini. Meski sebenarnya sudah ada bantuan dari BUK sebuah Puskel laut untuk Kabupaten Wakatobi yang saat ini ditempatkan di wilayah Pulau Binongko, pulau terjauh. Tapi melihat kondisi dan wilayah yang harus dijangkau, minimal wilayah Wakatobi memerlukan dua lagi Puskes laut untuk Pulau Tomia dan Pulau Kaledupa. PERKAMPUNGAN SUKU BAJO Di Kabupaten Wakatobi bisa dikatakan didominasi oleh Suku Buton. Hal ini bisa dimaklumi, karena memang wilayah ini merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Sedang suku lain yang cukup mewarnai kabupaten ini adalah Suku Bajo, yang memiliki ciri khas selalu  Jelajah Nusantara 64 menempati wiayah pesisir, dengan membuat bangunan di atas laut. Perkampungan Bajo Nelayan Bakti di Desa Mola Di Kabupaten Wakatobi setidaknya Suku Bajo menempati tiga dari empat pulau besar yang ada di kabupaten pemekaran ini. Di Pulau Wangi-wangi sendiri ada satu koloni yang terdiri dari lima desa, komunitas dengan  jumlah Suku Bajo yang terbesar. Pulau Ke-dua, yaitu Pulau Kaledupa, setidaknya ada tiga koloni yang bermukim di pesisir pulau, di sebelah utara satu koloni dan di sebelah selatan terdapat dua koloni. Pulau ke-tiga, yaitu Pulau Tomia, komunitas ini membentuk koloni di salah satu pulau di wilayah Kecamatan Tomia, yaitu di Pulau Onemoba’a. Sedang Pulau terakhir dari keempat pulau besar di Kabupaten Wakatobi adalah Pulau Binongko, yang sama sekali tidak terdapat komunitas Suku Bajo yang bermukim di pesisir pulau ini. Ke’khas’an Suku Bajo ini dalam pengamatan kami bisa menjadi hambatan tersendiri bagi Kabupaten Wakatobi bila Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 65 ingin terlepas sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan, atau sebut saja sebagai tantangan tersendiri bila kita ingin berpandangan optimis! Di Pulau Onemoba’a yang penduduknya didominasi Suku Bajo, menurut pengakuan bidan pengampu wilayah tersebut, tidak ada satupun ibu yang bersalin ke tenaga kesehatan setahun terakhir. Mereka lebih memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Kenyataan ini masih ditambahi dengan kondisi sanitasi lingkungan yang khas perkampungan nelayan yang buruk, serta ketersediaan air bersih yang cukup menyulitkan. Ceria Anak-anak Suku Bajo Bermain di Sore Hari Fasilitas pelayanan kesehatan sebenarnya sudah tersedia di tengah-tengah perkampungan Suku Bajo, tapi trust  belum bisa didapatkan bidan yang masih relatif muda tersebut. Dalam pengamatan kami yang sempat berbaur di salah satu kampung Suku Bajo di Perkampungan Bajo Nelayan  Jelajah Nusantara 66 Bakti, ketersediaan sarana pembelajaran anak-anak pun sudah tersedia, bahkan menurut petugas dari Dinas Kesehatan, perkampungan ini sempat dikunjungi Menteri Kelautan tahun lalu. Yak, optimisme tersendiri melihat cerianya anak-anak Suku Bajo bermain di senja itu. Berlalulalangnya muda-mudi Suku Bajo yang pulang dari kuliah di Universitas Muhammadiyah setempat membersitkan banyak harap, semoga bisa membawa perubahan bagi komunitasnya. Semoga...   67 WAKATOBI KALI KE-TIGA! Makassar, 24 November 2012 Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara. Tak usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja. Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan gaya saya. Jadi jangan juga protes dengan bahasanya yang ngepop, kan sudah saya bilang ini tulisan versi saya! Ah sudahlah... Jelajah Nusantara 68 Matahora, Senin, 19 November 2012 Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga - saya dan dua peneliti muda lain- tiba dan mendarat di Bandara Matahora, bandara satu-satunya di Pulau Wangi- wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan Wakatobi. Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama Wings Air yang harus transit dulu di Kota Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya lihat dari ketinggian langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya tempat saya tinggal dan menetap. Hujan deras menyambut kedatangan kami.  Alhamdulillah , hujan rahmat menyertai perjalanan kami sampai di Hotel kami biasa menginap, Wisata Beach Hotel di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan kami di tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang berbeda dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin mengikat, kecintaan saya pada Republik ini, kecintaan yang selalu saja membuat saya terharu pada setiap momen. Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak negeri. Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita tentang dua orang yang pergi bersama saya, dua orang peneliti muda perempuan yang sangat istimewa. Ehh... bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya peneliti muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun... Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua peneliti muda kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 69 Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika Agustiya, seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti, seorang anthropolog. Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan tidak melulu berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja. Bidang kesehatan adalah bidang multi dimensi yang berisi determinan sosial yang sungguh bejibun, dan kami terlahir untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih, humaniora diartikan ”memanusiakan manusia”. Artian bebasnya adalah menjadikan setiap komponen dalam bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan, seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’, sebuah mesin, sebuah komoditi, atau sebuah angka, sekedar statistik dengan bar chart  yang berwarna-warni. Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho... *** Wanci, Selasa, 20 November 2012 Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan berbaur di Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang dalam perjalanan sebelumnya didapatkan realitas selama dua tahun terakhir tidak tercatat satupun persalinan di kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan. Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah bersama mereka. Jelajah Nusantara 70 Tepat pukul sembi- lan pagi perjalanan dimulai dari Pela- buhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan ka- pal speed  bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam. Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal lengang, hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal sekitar 40-an orang dengan. Hal ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat  jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup selama 3 jam, bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang berlagak seperti lokomotif tiada henti. Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari Pulau Tomia, saya tidak betah dengan kepulan asap yang sungguh membikin pengap, saya memutuskan untuk keluar dari speed  dan nongkrong, berpura-pura gagah, duduk di atas speed. Awalnya cukup mengasyikkan, karena speed  melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu snorkell    saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang berwarna-warni bersliweran. Si nemo, clown fish yang meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang bertebaran sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil yang berenang, melaju pelan, tak terganggu oleh lajunya Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 71 speed. Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di atas speed, sampai akhirnya speed  bergera melesat dengan kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas speed. Brrrrrr...! Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed  menjadi  pompong , perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai  jung atau ketinting . Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau. *** Lamanggau, Rabo, 21 November 2012 Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut hangat oleh Bapak La Haniu, Kepala Puskesmas Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini, termasuk di dalamnya Suku Bajo yang menempati pesisir timur pulau ini. Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi tercatat hanya sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar 299 jiwa. Jangan salah! Jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka berpindah tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa Jelajah Nusantara 72 Lamanggau, Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk Lamanggau sendiri berkisar 900 ribuan. Secara administra- tif Suku Bajo me- nempati wilayah yang disebut Laso- hilo, atau masya- rakat biasa menye- but sebagai daerah bawah. Sedang pen- duduk asli setempat menempati wilayah daratan, atau biasa disebut daerah atas. Meski demikian dua masyarakat ini su- dah membaur, juga dalam beberapa perkawinan. Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan bercengkerama dengan mereka. *** Onemobaa, Kamis, 22 November 2012 Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 73 dengan basis sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.   Untuk sarana ba- ngunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas Induk Onemobaa yang representatif  secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘ Wakatobi Dive Resort  ’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa. Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun mangkrak tidak ditempati. Karena kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas Jelajah Nusantara 74 kesehatan Puskesmas lebih memilih Puskesmas Pemban- tu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena meski tempatnya juga tidak stra- tegis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih mendekati permukiman penduduk. Dalam sebuah ke- sempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik  pompong untuk mencapai lokasi Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘ Wakatobi Dive Resort  ’. Memasuki wilayah resort  ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapiiiiiiiiii! Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh untuk proses perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau bercerita banyak tentang resort  ini. Saya masih sakit hati! Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 75 Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas Induk Onemobaa secara fisik masih sangat bagus dan terawat. Tiga tahun tanpa dihuni hanya meninggalkan jejak tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya. Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun rumah dinas yang sangat megah. Berkesan mewah dan berkelas. Rumah panggung yang secara keseluruhan dibangun dengan bahan kayu yang di-  finishing dengan plitur berkilat. Mewah dan berkelas. Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal paham dengan pikiran para pengambil kebijakan yang memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa di wilayah ini. Jelajah Nusantara 76 Mungkin mereka tidak tahu? Siapa bilang?!! Bukannya Gubernur yang meresmikannya? Bupati juga pasti turut hadir saat itu. Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan, maka bisa dipastikan tidak pernah akan ada penduduk yang akan sampai di sini. Kalaupun ada yang sampai, mereka sudah akan kering di pintu gerbang resort.   *** Usuku, Jum’at, 23 November 2012 Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur di Perkampungan Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan dua peneliti muda yang bersama saya, untuk tinggal, setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk lebih lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan menggali lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku Bajo di bidang kesehatan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 77 Mereka yang akan menggali tentang bagaimana ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya survive dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik- adik peneliti saya itu akan menggali peran  pangulleh, dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun peran sando, dukun bayi orang asli Lamanggau dalam menggantikan peran  pangulleh yang sudah mulai tua. Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti! Jelajah Nusantara 78   79 PERAMPUAN DAN ODONG-ODONG Mataram, 08 Oktober 2012   Puskesmas Perampuan adalah salah satu dari dua puskesmas yang mengampu wilayah Kecamatan Perampuan. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada kecamatan yang berlokasi di selatan Kota Mataram (ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat). Puskesmas Perampuan sendiri merupakan salah satu Puskesmas di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat. Puskesmas Perampuan saat ini dipimpin oleh seorang perempuan, Ibu Andangsari, S.Si., Apt., M.Farm.Klin, seorang apoteker jebolan Universitas Hasanudin yang bertangan dingin dalam pengelolaan Puskesmas. Perempuan yang datang pada bulan Februari 2012 di Puskesmas Perampuan ini memulai aksinya bersama-sama dengan petugas Puskesmas sebagai sebuah teamwork  efektif per Maret 2012. Banyak perubahan yang telah dilakukan oleh Puskesmas Perampuan, termasuk di dalamnya upaya pemberdayaan. Pemberdayaan yang tidak hanya berhenti pada petugas kesehatan saja, tetapi meluas sampai kepada Jelajah Nusantara 80 dukun bayi, tukang ojek, serta komponen masyarakat lainnya. Puskesmas Perampuan, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat Dukun Bayi dan Tukang Ojek Seperti kabupaten lainnya di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, di Kabupaten Lombok Barat masih banyak terdapat dukun bayi yang masih beroperasi aktif, tidak terkecuali di wilayah Puskesmas Perampuan. Hal ini seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan, terutama dalam upayanya meningkatkan persalinan melalui pertolongan tenaga kesehatan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 81 Dengan banyaknya dukun bayi yang masih beroperasi, Puskesmas Perampuan berusaha keras untuk mencari cara meminimalkan persalinan oleh non tenaga kesehatan. Hasil kesepakatan di Puskesmas menarik sebuah kesimpulan akhir pada suatu cara untuk pemberian insentif bagi dukun bayi yang mau merujuk (mengantar) ibu hamil yang akan bersalin ke tenaga atau fasilitas kesehatan. Meski sederhana, ternyata langkah ini tidak begitu saja mudah dite- rapkan. Bagaimana tidak? Kota Mataram, sebagai tetangga berhimpitan dengan wilayah Puskes- mas Perampuan, memilih strategi yang sama. Hanya saja Puskesmas di wilayah Kota Mataram memberi insentif yang mencapai angka Rp. 50.000,- per ibu bersalin yang dirujuk oleh dukun bayi. Strategi yang diterapkan di Puskesmas di wilayah Kota Mataram ini terbukti efektif menyedot perhatian dukun bayi, bahkan para dukun bayi yang sebenarnya masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Perampuan. Dengan besaran angka pada kisaran tersebut, tentu saja Puskesmas Perampuan yang sederhana ini tak akan mampu menandinginya. Maka Puskesmas Perampuan berhitung dengan cermat dengan memperhatikan faktor Jelajah Nusantara 82 selisih biaya transportasi antara Puskesmas Perampuan dan Kota Mataram. Hingga munculah angka Rp. 25.000,- per kali rujukan ibu bersalin oleh dukun bayi. Besaran angka ini adalah riil take home pay  yang diterima oleh dukun bayi, riil penerimaan bersih. Penerimaan bersih? Ya penerimaan bersih, karena transportasi ditanggung oleh Puskesmas Perampuan. Bagaimana bisa? Di sinilah cerita pemberdayaan lainnya dimulai. Pemberdayaan tukang ojek. Puskesmas Perampuan menggandeng ‘Tukang Ojek’ setempat untuk masalah transportasi rujukan ibu bersalin ke Puskesmas. Tukang ojek yang biasa mendapat tarif normal Rp. 5.000,-, dihargai Rp. 10.000,- oleh Puskesmas, dengan syarat Tukang Ojek yang sudah teredukasi tersebut turut siaga setiap saat untuk melakukan rujukan ke Puskesmas. Simbiosis mutualisme yang cukup manis dilakukan. Tukang ojek yang dilibatkan dalam proses siaga ini sudah cukup teredukasi. Tukang ojek tersebut bisa melihat atau mendeteksi segala sesuatu tentang ibu hamil yang menjadi tanggung jawabnya dari stiker kehamilan P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) yang ditempel di pintu rumah ibu hamil yang bersangkutan dipasang oleh Bidan Puskesmas. Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan dukun bayi, Puskesmas juga memberikan bingkisan sederhana saat hari lebaran. Selain itu Puskesmas Perampuan juga memberikan award  bagi dukun bayi yang melakukan rujukan terbanyak. Tentu saja ini sebuah langkah menarik untuk membangun motivasi dukun bayi, bukan masalah Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 83 materi yang diberikan, tetapi lebih kepada penghargaan dan pengakuan ‘petugas resmi pemerintah’ kepada mereka. Sebuah langkah yang humanis, me’manusia’kan kembali manusia. Sebutir Vitamin yang Menggerakkan Sudah sangat jamak bila partisipasi masyarakat (baca; ibu dan balita) di Posyandu sudah semakin menurun dari tahun ke tahun, dari hari ke hari. Kondisi ini semakin parah pada balita dengan usia 2 (dua) tahun ke atas yang merasa imunisasi sudah tuntas dilakukan, tidak ada lagi gunanya datang ke Posyandu yang cuman hanya untuk penimbangan saja. Tidak ada lagi sesuatu yang menarik dilakukan di Posyandu. Solusi untuk men- sweeping sasaran balita door to door, dari rumah ke rumah, memang dirasa cukup efektif, tetapi menimbulkan konsekuensi yang menyita cukup banyak sumber daya Puskesmas. Sementara pelayanan di Puskesmas harus tetap berjalan. Bila sweeping dilakukan setiap kali, setiap bulan, tentu saja akan menjadi masalah tersendiri bagi Puskesmas. Di wilayah Kabupaten Lombok Barat sendiri sebenarnya ‘Pekan Penimbangan’ dilakukan sebanyak 4 (empat) kali selama setahun. Pekan penimbangan dilakukan pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Dalam masa pekan penimbangan ini bila ada balita yang tidak hadir di Posyandu, maka hukumnya ‘wajib’ dilakukan sweeping untuk pencapaian cakupan D/S yang maksimal. Jelajah Nusantara 84 Konsep Posyandu sendiri sebenarnya juga menuntut partisipasi masyarakat untuk datang ke Pos Pelayanan. Konsep Posyandu seharusnya tidak dengan memanjakan masyarakat dengan petugas yang mendatangi door to door  . Di sinilah letak ujian ‘pemberdayaan’ masyarakat oleh petugas kesehatan yang sebenar-benarnya. Karena Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan angka partisipasinya cukup rendah, bahkan di wilayah Desa Trong Tawa seringkali sweeping yang harus dilakukan mencapai lebih dari 50% sasaran. Tentu saja konsekuensi yang cukup berat. Meski untuk upaya sweeping ini petugas dibantu oleh kader Posyandu setempat. Puskesmas Perampuan menyadari pentingnya Posyandu, yang sekaligus Posyandu menjadi sangat penting sebagai entry point  atau pintu masuk bagi masalah lainnya terkait balita, yaitu gizi kurang maupun gizi buruk. Dalam sebuah pertemuan mini lokakarya rutin di Puskesmas, tercetuslah ide untuk memberikan vitamin bagi balita yang datang ke Posyandu. Diharapkan dengan hal tersebut, ada ‘sesuatu’ yang bisa menarik ibu dan balitanya ke Posyandu. Dengan tujuan besarnya adalah mengurangi sweeping. Langkah kecil ini terlihat biasa saja, hanya memberikan balita ‘sebutir’ vitamin, tapi dampaknya sungguh luar biasa. Trend cakupan balita yang datang dan ditimbang di Posyandu meningkat drastis, dan stabil pada kisaran 90% ke atas, yang artinya sweeping untuk memenuhi kewajiban penimbangan untuk seluruh balita hanya menyisakan pekerjaan yang tidak mencapai 10% dari total sasaran. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 85 Dari diagram di atas terlihat trend cakupan D/S yang cenderung mendekati angka 100% meski tidak sedang pada masa ‘Pekan Penimbangan. Sedang secara detail berdasarkan angka absolutnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel Cakupan Posyandu (D/S) di Wilayah Puskesmas Perampuan, Kabupaten Lombok Barat Tahun 2012 Bulan (Tahun 2012) Sasaran Riil (S) Balita Datang & Ditimbang (D) D/S Januari 2.966 2.810 94,74% Februari 2.942 2.942 100% Maret 2.975 2.743 92,2% April 2.965 2.726 91,94% Mei 2.924 2.909 99,49% Juni 2.921 2.822 96,61% Juli 2.930 2.820 96,25% Agustus 2.939 2.924 99,49% September 2.957 2.922 98,82% Sumber: Puskesmas Perampuan Jelajah Nusantara 86 Angka di atas merupakan rekapitulasi dari seluruh Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan yang rekapitulasinya dilakukan sendiri oleh penulis dari laporan kegiatan Posyandu. Katanya Puskesmas Perampuan bukan tergolong Puskesmas kaya? Kok bisa menyediakan vitamin tambahan untuk Posyandu? Berapa sih kebutuhan biayanya? Dengan hanya ‘sebutir’ vitamin, maka sebenarnya kebutuhan untuk menarik minat balita ini tidak banyak. Puskesmas membeli vitamin merk Fitkom dalam botol yang berisi 30 butir yang di pasaran dalam kisaran harga Rp. 15.000,-, yang karena pembelian dalam jumlah besar Puskesmas Perampuan bisa mendapatkannya dengan harga Rp. 8.500,- per botolnya. Dengan sasaran dalam kisaran 3.000 balita, maka kebutuhan per bulan mencapai Rp. 850.000,-. Puskesmas memanfaatkan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) untuk pembelian vitamin ini. “...untungnya ada BOK pak. Kalau tidak ada BOK   puskesmas tidak bisa bergerak!”  kata Kepala Puskesmas Perampuan.   Sebuah pemanfaatan dana BOK yang efektif  dan sesuai dengan peruntukannya. Dalam prakteknya di lapangan, pembagian vitamin ini juga dibarengi pembagian sirup vitamin Vical. Vitamin yang ini merupakan vitamin standar yang dibagikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat untuk seluruh Posyandu di wilayahnya. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 87 “Setelah minum vitamin di Posyandu, anak saya makannya  jadi kuat Bu. Dimana sih bu belinya vitamin itu (Vical)? kok saya mau membeli di  apotek tidak ada...”    tanya salah seorang ibu balita yang ikut datang ke Posyandu pada petugas yang mendampingi pelaksanaan Posyandu. Efek domino ini tidak berhenti sampai di situ saja. Saat ini di wilayah Puskesmas Perampuan telah terbebas dari balita gizi buruk maupun gizi kurang. Sebuah kondisi yang pada awal tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya sulit ditemui, yang pada akhirnya memaksa Puskesmas mengalihkan anggaran yang sebelumnya dianggarkan untuk penanggulangan gizi kurang/buruk menjadi anggaran untuk keperluan lainnya. Dalam kesempatan lain, Kepala Puskesmas juga berusaha memenuhi adanya 3 (tiga) jenis petugas yang hadir di Posyandu, untuk menjamin bahwa Posyandu adalah benar-benar Pos Pelayanan ‘TERPADU’. Tiga petugas itu terdiri dari komponen bidan, perawat dan petugas gizi. Hal ini juga lah yang mampu membuat masyarakat yang datang membawa balitanya merasa terperhatikan, kesehatan anaknya benar-benar dipantau secara baik, dan konsultasi kesehatan bisa benar-benar berjalan dan dilakukan. Jelajah Nusantara 88 Untuk memperbaiki pencatatan dan pelaporan Posyandu, Puskesmas Perampuan juga melakukan perubahan form standar dari Dinas Kesehatan. Proses penyusunan form baru ini mengadopsi dari beberapa form laporan standar yang digabungkan menjadi satu untuk memudahkan proses pencatatannya. Langkah yang demikian ini dipikirkan dan dibuat bersama-sama saat rapat rutin Puskesmas. Cerita manis soal Posyandu ini bukannya mulus tanpa masalah. Saat ini Puskesmas sedikit kelimpungan karena hampir 70% bidannya sedang sekolah, sehingga memerlukan manajemen yang cukup merepotkan. Hal ini  juga masih ditambah dengan masalah Posyandu yang terkait masalah politis, dengan akan dimulainya babak baru pergantian kepala desa. Upaya kesehatan, sebuah upaya yang seringkali menemui kendala non teknis, yang seringkali justru tidak berhubungan dengan hal teknis kesehatan itu sendiri. Mini Lokakarya yang Diperluas Banyaknya kemajuan yang dicapai Puskesmas Perampuan tidaklah berarti bahwa tim Puskesmas bekerja sendirian. Hal ini juga terkait dengan dukungan dari banyak pihak di luar ‘orang’ kesehatan. Pelibatan sektor dan pihak lain dimasyarakat juga tak luput dari perhatian. Pada bulan Juli 2012, Puskesmas Perampuan berinisiatif meluaskan keterlibatan banyak pihak dalam mini lokakaryanya. Tercatat ada Dikpora (Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga) Kecamatan, PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana), tokoh masyarakat, tokoh Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 89 agama, kepala desa serta kader, yang jumlahnya mencapai 80 orang. “Sebuah mini lokakarya terbesar yang pernah diselenggarakan di wilayah Lombok Barat  ,” aku staf petugas Dinas Kesehatan yang berkesempatan mensupervisi mini lokakarya tersebut. Dalam mini lokakarya ini dihasilkan beberapa kesepakatan yang diharapkan dapat memberikan dampak sustainabilitas dari gerakan perubahan yang telah dan sedang dilakukan. Di antaranya adalah mengaktifkan kembali desa siaga, yang didalamnya mengatur kesepakatan terkait pemetaan dan pembagian pekerjaan. “Kami bersepakat membagi pekerjaan. Puskesmas melakukan apa, desa melakukan apa, kader melakukan apa...”  kata Kepala Puskesmas. Dalam forum yang sama juga dilakukan upaya alternatif pembiayaan operasional Posyandu dengan melakukan pemetaan calon-calon donatur yang ada di wilayah setempat. Selain itu juga disepakati untuk mengaktifkan kembali pola lama jimpitan. Jimpitan berupa urunan segenggam beras atau kacang hijau, yang semua peruntukkannya untuk operasional Posyandu. Kacang hijau akan diolah menjadi bubur untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan), dan beras akan dikumpulkan untuk biaya operasionalnya. Terakhir adalah ide dari Puskesmas Perampuan yang juga dilontarkan di forum tersebut, yaitu pengadaan odong-odong (kereta kelinci), untuk menarik dan tetap mempertahankan partisipasi masyarakat, terutama balita, di Posyandu. Saat ini sedang dihitung dan diupayakan Jelajah Nusantara 90 kebutuhan biayanya, yang diprediksikan eksekusi pelaksanaannya pada akhir bulan November atau awal Desember tahun ini.  Ahh... ga sabar rasanya ingin bisa segera naik odong- odong ke Posyandu...!   91 GADO-GADO ALA SAMPANG! Sampang, 28 Mei 2012 Pagi ini kembali lagi kita kupas beberapa hal terkait Kabupaten Sampang untuk memetakan track record  yang sudah dan akan dilakukannya untuk mencoba membawanya keluar dari dasar keterpurukan ranking IPKM di Propinsi Jawa Timur. Jelajah Nusantara 92 Seperti telah beberapa kali dituliskan, bahwa Kabupaten Sampang adalah kabupaten DBK yang menjadi penghuni dasar peringkatan IPKM di Propinsi Jawa Timur, yang data komparasinya dengan ranking satu Jawa Timur (Kabupaten Tulungagung) bisa dilihat pada dua grafik berikut; Paparan data tersebut bersumber pada data survey Riskesdas pada tahun 2007. Pada saat ini, saya sangat berkeyakinan data tersebut telah berubah, kalau saya tidak boleh berlebihan dengan mengatakan melonjak drastis. Atmosfir yang saya rasakan langsung di Kabupaten Sampang sangat positif, antusiasme para petugas kesehatan untuk memberikan yang terbaik sangat kentara. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 93 Hal ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan berdasarkan pengakuan masyarakatnya. Good Governance Dalam era desentralisasi dan keterbukaan seringkali para penggiat pemerintahan mendengung- dengungkan jargon good governance, di Kabupaten Sampang good governance bukan sekedar jargon, setidaknya di Dinas Kesehatan. Perbaikan dari sisi administrasi dan manajerial begitu sangat terasa. Tidak hanya berdasarkan pengakuan  policy maker  di level Dinas Kesehatan saja, tapi setidaknya hal tersebut dirasakan oeh bidan sebagai pelaksana sekaligus sasaran kebijakan, yang  juga dirasakan juga oleh masyarakat sasaran secara langsung. Paling cepat proses klaim dari seluruh kabupaten/kota yang saya tahu. “Pastikan (ibu hamil) lahir ke kamu (bidan),  pastikan tidak mati, jadi saya akan memastikan  pembayarannya...”  Dalam sebuah diskusi dengan para bidan yang terlibat dalam Jampersal, rata-rata bidan mengungkapkan bahwa proses pencairan klaim dana Jampersal sangat cepat. Mereka mengaku proses tersebut jauh lebih cepat dibanding dengan ‘saudara-saudara’ lainnya di wilayah Kabupaten lainnya di Pulau Madura. Bahkan untuk proses pencairan dari BPS (Bidan Praktek Swasta) yang melakukan PKS (perjanjian kerja sama) dengan Dinas Kesehatan proses bisa selesai dalam satu hari. Sebuah capaian good  Jelajah Nusantara 94 governance yang tidak pernah saya jumpai di banyak wilayah manapun di pelosok negeri ini yang saya datangi khusus untuk pengelolaan Jampersal. Tata kelola yang menarik lainnya adalah kemauan pemerintah setempat untuk memberi pelayanan terbaik bagi warganya. Hal ini direalisasikan dengan pengadaan rumah singgah bagi masyarakat Kabupaten Sampang yang sakit dan memerlukan rujukan sampai ke tingkat propinsi, rawat inap di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya. Disediakan ambulan sampai ke lokasi, dan juga disediakan rumah singgah untuk para pengantar atau penunggu pasien. Rumah tunggu yang beralamat di Dharmahusada Gang 1 Nomor 17 tersebut selain menyediakan fasilitas akomodasi juga menyediakan konsumsi untuk 2 (dua) orang penunggu per pasien. Banyak Bicara Banyak Kerja Berbeda dengan jargon yang berhubungan dengan kinerja yang selalu diucapkan untuk memotivasi, yaitu ‘Sedikit Bicara Banyak Kerja!’. Hal ini tidak berlaku untuk petugas kesehatan di Kabupaten Sampang, setidaknya di wilayah Puskesmas Robatal. “ Banyak bicara banyak kerja...”  demikian jargon yang ditekankan oleh Totok Sudirman, selaku Kepala Puskesmas Robatal kepada para petugas kesehatan di  jajarannya. Pendekatan jargon ini yang coba diterapkan dalam keseharian pelaksanaan tugas bukannya tanpa sebab. Berdasarkan data profil tahun 2011, dari seluruh penduduk Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 95 di Kabupaten Sampang yang berjumlah 803.866 jiwa, sebanyak 86% tidak sekolah, tidak tamat SD, maupun tamat SD. Dengan tingkat pendidikan yang demikian maka media sosialisasi maupun promosi yang berisikan tulisan bisa dibilang menjadi kurang efektif, kalau tidak mau disebut sia-sia. Budaya masyarakat kita cenderung pada budaya oral (percakapan) daripada budaya baca, apalagi dengan tingkat pendidikan yang mayoritas lulusan sekolah dasar ke bawah. Sudah tentu penyebarluasan informasi yang berupa buku panduan, leaflet, maupun baliho yang besar sekalipun, akan dianggap sebagai angin lalu. Pendekatan paling efektif adalah ‘banyak omong’. Pendekatan penyampaian informasi yang getok tular  dirasa paling efektif untuk dilakukan. Untuk itu petugas kesehatan yang jumlahnya terbatas sudah tentu tidak bisa bergerak sendiri, kerja sama dengan pak klebun, mbah modin, kader dan tokoh masyarakat lainnya menjadi mutlak diperlukan. Community Empowerment  Dukungan tokoh masyarakat ini sangat nyata di Sampang. Setiap akan dilakukan kegiatan Posyandu, speaker  di Masjid atau di beberapa tempat pelaksanaan Posyandu yang sudah ada swadaya pembelian speaker  akan selalu berkumandang seruan untuk para sasaran. Momen lain yang sering digunakan sebagai media cangkrukan info kesehatan adalah forum muslimatan, forum   pengajian yang menjadi kegiatan umum bagi masyarakat muslim Madura yang cenderung agamis. Jelajah Nusantara 96 Di sisi lain, para tokoh masyarakat yang menjadi penggiat menjadi marketing hebat dalam menyarankan para ibu hamil untuk bersalin hanya ke bidan. Hal ini disertai dengan keikhlasan mengantar ibu hamil dan melahirkan ke bu bidan secara ber’jamaah’, bisa dengan cara digotong, ataupun sekedar naik motor bila lokasi jauh. Penggiat lain yang berada di jajaran pemerintahan desa ikut membantu menyiapkan kelengkapan persyaratan administrasi bagi warga sasaran. Sudah bukan rahasia umum bahwa masyarakat Madura banyak yang tidak mempunyai KSK (Kartu Susunan Keluarga) atau KTP (Kartu Tanda Penduduk). Untuk keperluan tersebut, Klebun (lurah) bersedia di’ganggu’ kapan saja, 24 jam, untuk pengurusan Surat Keterangan Domisili sebagai pengganti Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 97 KSK atau KTP untuk kelengkapan persyaratan untuk mendapatkan Jampersal atau Jaminan Kesehatan lainnya. Strategi-strategi ini terbukti efektif. Dengan keberadaan jumlah dukun bayi yang mencapai 516 dukun, hampir dua kali jumlah bidan yang 'hanya' mencapai 314 bidan (184 bidan PNS, sisanya bidan praktek swasta), ibu hamil yang melakukan persalinan tidak ke tenaga kesehatan hanya mencapai 5%. Capaian yang sungguh menjadi prestasi tersendiri bila melihat situasi dan kondisi yang ada. Strategi lainnya adalah pembentukan ‘bagas’ (pembantu petugas). Bagas sendiri diambil dari para kader yang dinaikkan derajatnya dengan insentif sekedarnya dari bidan desa. Berdasarkan pengakuan bagas dalam diskusi, ada yang berinisiatif untuk menghimpun dana dari masyarakat. Yang telah terrealisasi adalah menghimpun ‘jimpitan’ Rp. 1.000,- perkali datang ke Posyandu, selain  juga menghimpun dana donatur untuk membantu pelaksanaan Posyandu. Saat ini di salah satu Posyandu di wilayah Puskesmas Batulenger telah berhasil mempunyai kas mencapai tujuh juta, yang juga dikelola sebagai ‘simpan pinjam’ untuk anggota Posyandu yang memerlukan biaya saat sakit. Sebuah jalinan emosi yang telah terjalin cukup kuat antara petugas (bidan) yang bekerja penuh keikhlasan dengan masyarakatnya... "bu bidan itu semuanya baik-baik pak, gak ada yang sadis..."  "bu bidan itu suka memakai kata-kata... 'gini  sayang... gini sayang...', gitu paak!”  Jelajah Nusantara 98 "kalau jam 6 pagi atau jam 3 sore di rumah Bidan itu seperti rumah sakit pak, saking sukanya masyarakat dengan bidan..."  "bu bidan itu lebih hapal siapa saja ibu yang hamil di wilayahnya daripada saya yang jadi  kadernya pak..."  "bu bidan itu tetap melayani dengan baik pak, meski kadang hanya dibayar dengan jagung, kacang atau bawang..."  Apalagi yang bisa saya katakan? ghirah itu telah saya rasakan... telah saya temukan di sini, Sampang. 99 PUSKESMAS DELIVERY UNTUK METROPOLIS Surabaya, 16 Mei 2009 Melihat kondisi yang telah berjalan selama puluhan tahun perjalanan pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah, kita tidak bisa menutup mata memang telah menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan penduduk, tapi bila dibandingkan dengan peningkatan derajat kesehatan yang dicapai negara-negara di dunia atau negara tetangga di Asia Tenggara, kita jauh tertinggal. Menurut Yusanto (1995), di Indonesia dipekirakan setiap saat terdapat 15% sampai 20 % penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20 - 30 % saja yang dapat dilayani, sementara penduduk lain yang lebih banyak sekitar 85 %, yang tidak sakit dan tidak sedang mencari obat, malah tidak mendapat perhatian. Dari kondisi tersebut jelas sekali ketimpangan yang terlihat antara penduduk yang kontak dengan institusi kesehatan dengan yang tidak kontak dengan institusi kesehatan. Artinya dana yang dianggarkan oleh  Jelajah Nusantara 100 pemerintah untuk sektor kesehatan tersedot sebagian besar hanya untuk 1 - 2 % persen pendu-duk, se- dang sisanya yang tidak sakit ter- abaikan, tidak ikut menikmati ang- garan yang diper- untukkan bagi ke- sehatan seluruh penduduk. Sebu- ah keadaan yang timpang dan ku- rang menyentuh rasa keadilan. Dipandang dari segi ekonomi, upaya kesehatan yang menekankan penyembuhan penyakit (kuratif/rehabilitatif) pada umumnya lebih mahal, karena banyak menggunakan teknologi kedokteran hilir (bisa jadi yang modern dan canggih). Pelayanan kesehatan yang demikian itu sering dianggap sebagai pengeluaran konsumtif dan bukan sebagai investasi produktif. Inovasi Pelayanan Dalam sektor perdagangan swasta komersil, kita tidak asing lagi mendengar istilah delivery service atau layan antar. Produsen mendatangi atau memberikan jasa Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 101 layanan pada konsumen langsung di tempat konsumen berada, entah di rumah, di kantor, dimanapun konsumen membutuhkan. Bukan mustahil metode delivery service ini diterapkan di institusi kesehatan, termasuk Puskesmas. Hal ini sebenarnya termasuk konsep sederhana, yang telah dipahami dan dilakukan oleh tenaga kesehatan kita, bukan pada saat mereka bekerja di Puskesmas, tapi pada saat mereka masih di bangku kuliah. Entah sektor pendidikan kesehatan yang gagal, atau mahasiswa kesehatannya yang tidak memahami proses pembelajaran atau bahkan mereka lupa. Dibangku kuliah, para calon tenaga kesehatan ini sudah dilibatkan secara tidak langsung ikut berpartisipasi di dalam pembangunan kesehatan. Mereka diterjunkan langsung ke masyarakat melalui ajang PKL (Praktek Kerja Lapangan), PBL (Praktek Belajar Lapangan), KKN (Kuliah Kerja Nyata), atau entah apalagi namanya. Pada saat tersebut mereka langsung terjun ke masyarakat, jemput bola. Tanpa memikirkan pamrih mereka memberi penyuluhan, memotivasi masyarakat, bekerja sama dengan aparat, pamong desa, tokoh masyarakat, maupun ibu-ibu PKK, tidak ada sekat yang dapat membatasi para mahasiswa melakukan baktinya pada masyarakat, tidak ada kebuntuan komunikasi, tidak ada kendala uang transport, tidak ada jam kerja yang membatasi, ataupun kendala lain yang berarti, meski dengan ilmu dan pengalaman yang sangat terbatas. Sebuah konsep sederhana bukan? Namun, saat mereka telah menjadi tenaga kesehatan di Puskesmas menjadi sebuah kontradiksi yang  Jelajah Nusantara 102 umum. Kegiatan tenaga kesehatan di Puskesmas hampir sembilan puluh persen berada di gedung Puskesmas, kunjungan atau kegiatan luar gedung hanya menjadi formalitas di atas kertas, sekedar memenuhi target pencatatan dan pelaporan. Sebuah kegiatan yang jauh dari harapan, menjadikan Puskesmas hanya sebagai ‘balai pengobatan’, bukan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan dan sebagai ‘Pusat Kesehatan Masyarakat’. Kebijakan yang digariskan berdasar “paradigma sehat” yang mengedepankan intervensi preventif dan promotif tanpa melupakan kuratif/rehabilitatif masih sekedar formalitas. Aplikasi di lapangan, baik itu penetapan anggaran, maupun rencana kegiatan lebih besar ke arah kuratif/rehabilitatif. Memanfaatkan Kelompok Warga   Pada era otonomi, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya dapat mengembangkan suatu inovasi kebijakan, tidak hanya menjalankan apa yang diarahkan oleh pusat (Kementerian Kesehatan). Karena apa yang diarahkan oleh Kementerian Kesehatan lebih bersifat umum tanpa melihat potensi lokal  sp-sifik  masing-masing daerah. Surabaya sebagai kota metropolis, dengan pinggirannya yang masih berupa kampung-kampung mempunyai karakteristik lokal yang unik. Dimana tempat hiburan malam bertebaran di segala penjuru kota, tetapi majelis taklim maupun jam’aah Yasin tumbuh bak jamur di musim hujan, atau lihatlah Persebaya dengan puluhan ribu Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 103 suporter bonek-nya yang fanatik, dan juga ludruk, kesenian khas Surabaya yang hampir punah itu. Sampai saat ini baru terdengar upaya jemput bola berupa pemeriksaan sarang nyamuk yang kurang mendapat respon dari masyarakat, entah karena sosialisasi yang kurang dan tidak tepat, atau kesiapan tenaga (hanya mengandalkan Jumantik) dan alat kesehatan yang belum memadai, atau penetapan kebijakan yang kurang melihat potensi lokal. Belum pernah terdengar ada ‘Puskesmas’ di Surabaya melakukan penyuluhan tentang AIDS di diskotik, penyuluhan flu burung di majelis taklim, sosialisasi masalah formalin di arisan ibu-ibu, penyuluhan cuci tangan di Kebun Binatang, sosialisasi masalah kesehatan reproduksi dan AIDS saat acara Deteksi Party, promosi perilaku hidup sehat dan bersih pada saat Persebaya main  Jelajah Nusantara 104 di Tambaksari, melibatkan Bejo Sugiantoro untuk mengajak bonekmania menghindari narkoba, atau nggandeng Cak Kartolo memasukkan materi kesehatan di  parikan dan kidungan -nya. Sudah saatnya Pemkot Surabaya berani melakukan inovasi kebijakan, memanfaatkan kondisi dan karakteristik lokal Surabaya. Puskesmas harus jemput bola, mendatangi dimana konsumen (bukan hanya pasien) berada. Perlu segera disusun materi dan program yang jelas dengan melihat kemampuan dan sumber daya yang ada, perlu segera diinventarisir ada berapa majelis taklim di wilayah kita, ada berapa tempat hiburan yang bisa dimasuki, ada berapa sekolah yang bisa disuluh, dimana arisan ibu-ibu dilakukan bulan ini, kapan Persebaya tanding di Tambaksari, tanggal berapa akan ada konser musik yang mengundang massa. Atau bisa juga Pemkot Surabaya memanfaatkan momen hari Minggu di tengah keramaian pedagang kaki lima di Tugu Pahlawan atau pedagang kaki lima di halaman Majid Agung. Tidak ketinggalam hari libur di Kebun Binatang Surabaya dan Pantai Kenjeran. Dengan demikian rasa keadilan terpenuhi, anggaran kesehatan lebih merata dan cost effective , tidak hanya terfokus pada yang sakit, tapi juga yang tidak sakit. Tidak ada proteksi berlebih pada pasien HIV/AIDS sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM, tidak ada ketakutan berlebih pada flu burung, sehingga tidak merugikan pedagang ayam, tidak ada kepanikan soal formalin, sehingga tidak membangkrutkan tukang bakso, mie, maupun pedagang ikan asin. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan 105 Juga, remaja terdidik, keluarga terbiasa berperilaku hidup sehat, masyarakat tidak terbebani, tidak terjadi kepanikan konyol akibat pengertian yang salah pada penyakit, karena kesehatan sudah menjadi budaya, bagian dari gaya hidup. Jelas, ini sebuah kegiatan inovatif sektoral yang berdampak sangat luas. Maukah Pemkot Surabaya dan tenaga lapangan di Puskesmas melakukannya?  Jelajah Nusantara 106 107 PULAU TELLO, CERITA LAIN TENTANG NIAS SELATAN Pulau Tello, 16 Juni 2012 Perjalanan kali ini dengan misi uji coba kuesioner Riskesdas tahun 2013, membawa saya ke salah satu DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan) yang sekaligus daerah terluar republik ini. Pulau Tello, demikian pulau berpenghuni sekitar 8 ribu jiwa ini biasa disebut. Pulau yang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Batu Kabupaten Nias Selatan ini merupakan salah satu pusat bagi pulau-pulau kecil lain di sekitarnya.  Jelajah Nusantara 108 Pulau pusat? Ahh... jangan terlalu dibayangkan yang terlalu muluk. Besarnya tak melebihi satu kelurahan di Pulau Jawa, dan bahkan di peta Indonesia pun tak terlihat keberadaannya. Sejatinya di Wilayah Pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Batu terdiri atas sekitar 56 desa, tetapi yang berada di Pulau Tello ada sekitar 18 desa saja. Saya mencoba mengelilingi pulau kecil ini dengan naik motor bersama rekan anthropolog, Kang Setia Pranata. Secara keseluruhan perjalanan keliling pulau tak lebih hanya 14 kilometer saja, dengan jalan beraspal selebar 2 meter yang kadang meluas, kadang menyempit, meski yang lebih sering adalah menyempitnya. Perjalanan menyusuri pantai ini seharusnya menyenangkan, karena pemandangan pantai, laut dan pulau-pulau lain yang sungguh-sungguh indah, tapi kesenangan ini harus terganggu, karena saya yang duduk di depan menjadi   driver, harus waspada terhadap kondisi jalan yang beberapa ruasnya telah rusak. Dalam perjalanan mengelilingi pulau yang singkat dan menyenangkan ini, beberapa kali kami harus berhenti karena hujan. Hujan turun mulai dari rinai sampai cenderung lebat selalu menemani keberadaan kami selama di pulau ini. Cuaca di pulau ini memang sering tidak menentu, hari ke hari terasa sangat ekstrim. Sehari cerah dan terang benderang, hari berikutnya bisa terjadi hujan badai yang sungguh menakutkan. Sepanjang perjalanan kami disuguhi banyak tambahan informasi terkait adat budaya warga Pulau Tello yang dalam beberapa hal mirip dengan induk Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   109 Kabupatennya di Teluk Dalam yang menyatu dengan Kabupaten Nias di Pulau Nias. Dalam pola tata letak rumah dalam satu desa, yang kurang lebih berisi 20 rumah, mengelilingi sebuah tanah lapang dengan membentuk huruf ‘U’, yang oleh masyarakat setempat biasa disebut sebagai ewali. Tata letak seperti ini mirip dengan pola desa masyarakat Nias di Teluk Dalam, hanya di Teluk Dalam di tengah-tengah perumahan desa tersebut berdiri kokoh tumpukan batu setinggi 2 meter untuk adat ‘lompat batu’ yang sudah kesohor seantero nusantara. Denah Ewali     Jelajah Nusantara 110 Pola tradisional ewali  pada saat ini telah sedikit ‘rusak’ dengan adanya tambahan bangunan pada gerbang sebelah kiri dengan tulisan yang cukup besar ‘PNPM MANDIRI’! yang meru-pakan ba-ngunan MCK (mandi-cuci- kakus) yang didanai dari PNPM Mandiri. Keberadaan ewali  di sepanjang pulau ini memiliki adatnya masing-masing yang seringkali berbeda satu dengan lainnya. Di pulau ini ma-syarakatnya sebagian besar beragama Islam dan Nasrani dengan jumlah yang bisa dibilang berimbang. Mereka hidup dalam koloni- koloni ewali  yang seringkali berselang-seling di sepangjang ewali  yang berjajaran. Satu ewali  Muslim, di sebelahnya Nasrani, sebelahnya lagi Muslim, demikian. Beberapa ewali  memiliki adat maluaya, yaitu budaya berpantun dan bersyair pada saat-saat upacara kematian dan atau perkawinan. Hal ini mirip dengan budaya maena di daerah Teluk Dalam-Nias Selatan yang pada tahun 2012 ini dicoba dimasuki dengan memasukkan syair-syair bernafas kesehatan sebagai upaya intervensi Kesehatan Ibu dan Anak oleh Pusat 4 Litbangkes ( Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat) dengan bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Sumatera Utara. *** Perjalanan tak melulu menyenangkan, meski kami berusaha betul menikmatinya. Dalam beberapa kesempatan saya melihat anak-anak maupun orang dewasa yang ‘cacat’, tangan atau kakinya tidak berfungsi dengan baik akibat tidak tumbuh sempurna, yang dalam Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   111 bahasa Jawa sering disebut sebagai ‘ cekot  ’, atau bahasa kurang ajarnya tangan atau kakinya ‘keriting’ (ma’af). Kondisi ini beberapa kali saya temui di Desa Pasar Pulau Tello yang merupakan basecamp kami, yang juga kebetulan adalah ‘pusat’ keramaian di Pulau ini. Setelah saya konfirmasi pada beberapa rekan Puskesmas, mereka membenarkan realitas tersebut. Setidaknya ada 10-20 orang dengan kondisi yang demikian di sekitar wilayah tersebut. Saya jadi teringat dengan keberadaan ‘kampung gila’ di wilayah Kabupaten Ponorogo-Jawa Timur, yang pada tahun 2011 lalu rekan saya Aan Kurniawan, anthropolog, sempat tinggal di desa tersebut untuk kajiannya. Saya coba gali lebih jauh informasi apapun terkait kondisi tersebut. Kecurigaan saya ada ‘sesuatu’ adat budaya setempat yang membuat kondisi tersebut memungkinkan terjadi. Kecurigaan saya bertumpu pada pola genetik yang mengikut pada ‘pola perkawinan’ adat setempat, dan sepertinya kecurigaan saya menemukan titik temu. Masyarakat adat Pulau Tello memiliki kebiasaan menikah dengan sesamanya yang satu marga, satu keluarga, satu ewali  . Pola perkawinan seperti ini yang saya curigai seringkali menghimpun ‘kelemahan’ genetik dalam satu keluarga, sehingga ‘kelemahan’ tersebut tetap diturunkan pada generasi selanjutnya. Setidaknya kelemahan pola perkawinan ini merujuk pada kajian terdahulu terkait galur genetik hemophilia pada keluarga Kerajaan Inggris (kalau keliru tolong dikoreksi).  Jelajah Nusantara 112 Tapi... saya toh bukan peneliti genetik semacam itu, mesti ada penelitian lebih lanjut oleh peneliti yang mendalami masalah tersebut. Siapa tahu rekan peneliti dari Litbangkes ada yang tertarik mendalami fenomena ini, baik dengan pendekatan teknis genetik maupun pendekatan budaya terhadap pola perkawinannya. Ahh... selalu saja ingin tahu.   113 KABUPATEN NATUNA, DONGENG IRONI POJOKAN NEGERI Ranai_Natuna, 02 November 2012 Secara umum kondisi Kabupaten Natuna tidak bisa kita dapatkan hanya bila bertandang ke ibukotanya saja. Hal yang seringkali selama ini dilakukan oleh banyak pejabat saat kunjungan ke wilayah ini. Hahaha... mohon ma’af bila memulai tulisan dengan kalimat yang sedikit pedes, karena saya sungguh sangat berharap banyak. Bila mendengar kata ‘Kabupaten Natuna’, maka imej yang ada di kepala adalah kabupaten kaya raya!  Jelajah Nusantara 114 Bagaimana tidak? Sumber daya alam tambangnya sungguh benar-benar melimpah. Belum lagi cadangan gas alam Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet  (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber terbesar di Asia. Kabupaten kaya? Tentu saja! Hanya mungkin perlu banyak sentuhan oleh pemimpin-pemimpin yang punya hati. Karena setidaknya sudah dua periode pemerintahan, dua mantan Bupati berhasil ‘disekolahkan’ oleh Kejaksaan. Mantan Bupati periode ketiga sepertinya juga harus deg- deg an. Pemerintahan daerah Kabupaten Natuna saat ini adalah periode ke empat pasca pemekaran Kabupaten Natuna dari Kabupaten Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Kabupaten Kepulauan Riau sendiri berkembang menjadi Propinsi tersendiri dari hasil pemekaran Propinsi Riau. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   115 Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang memiliki banyak lanscape view  yang sangat cantik ini merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik ini yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga Vietnam dan Kamboja. Dengan posisinya yang demikian, maka Kementerian Kesehatan menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan). Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah kabupaten kepulauan ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon tetap (  fixed landlines ), hanya tersedia di sekitar Ranai sebagai ibukota kabupaten ini saja. Untuk wilayah lain yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan telepon seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau Midai misalnya, sinyal cukup sulit untuk didapatkan. Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah berharap akan ada sinyal yang sampai.  Jelajah Nusantara 116 Untuk Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, secara nasional Kabupaten Natuna menempati urutan ke 306 dari 440 kabupaten/kota yang ada saat dilakukan pemeringkatan pembangunan kesehatan tersebut. Sedang secara propinsi Kabupaten Natuna menempati posisi kunci, atau urutan terakhir dari 6 kabupaten/kota yang yang ada di Propinsi Kepulauan Riau. Kondisi yang demikian menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan). Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Natuna adalah salah satu dari sekian banyak Kabupaten/Kota yang memiliki dan menerapkan sistem pembiayaan kesehatan sendiri. Secara umum  jaminan semacam ini di Indonesia biasa disebut sebagai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna membiayai Jamkesda-nya murni dari dana APBD. Dengan paket layanan yang menyeluruh Pemerintah Daerah mencantumkan seluruh penduduk tanpa kecuali sebagai peserta Jamkesda. Penduduk hanya perlu membawa Kartu tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk mendapatkan tanda Kartu Peserta khusus Jamkesda. Dalam pengakuan petugas kesehatan, pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2009 ini di lapangan cukup disiplin. Provider, dalam hal ini Puskesmas dan Rumah Sakit cukup tegas untuk menanyakan Kartu Peserta saat ada pasien yang datang. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   117 Bila pasien lupa atau tidak mempunyai Kartu Peserta, maka provider akan menarik tarif pelayanan sesuai Perda. Meski demikian, realitas berbeda diungkap oleh tokoh masyarakat setempat. Pak Ayat, salah satu tokoh masyarakat setempat yang baru saja memanfaatkan pelayanan di Puskesmas mengaku, “...menurut saya tidak terlalu ketat pak. Kemarin, dua hari yang lalu, saya sempat mengantar ibu saya berobat ke Puskesmas. Begitu datang langsung dilayani tanpa ditanyakan tentang Kartu Perserta Jamkesda...”  Sebuah peluang untuk kebocoran dana Jamkesda. Beberapa keluhan sempat terlontar saat berdiskusi dengan para bidan di Puskesmas Ranai dan Puskesmas Percontohan Sedanau. Sistem klaim Jamkesda yang rumit, serta waktu pencairannya yang cukup lama, antara 3 bulan sampai dengan 1 tahun. Belum lagi masalah berkas yang hilang. Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak; Jamkesda versus Jampersal Pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Natuna dalam pandangan saya seperti sebuah judul parodi, ‘ Maju Kena, Mundur Kena’  , semuanya serba setengah-setengah. Magak  . Keberanian Kabupaten Natuna untuk tidak ikut mengambil sumber pembiayaan kesehatan ibu dan anak yang di- launching Pemerintah Pusat, dalam benak saya sebelumnya lebih dikarenakan alasan Pemerintah Daerah  Jelajah Nusantara 118 (Pemda) sudah merasa cukup mampu dengan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang cukup besar, sekitar satu setengah trilyun rupiah, sehingga Pemda Kabupaten Natuna sudah bisa mandiri dalam semua pembiayaan daerahnya. Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan beserta Kasie Kesehatan Keluarga, didapatkan beberapa alasan yang menjadi ke’tidakmampu’an Kabupaten Natuna mengadopsi Jampersal. “Pada saat Jampersal di-launching oleh Kementerian Kesehatan sekitar bulan April 2011, di Kabupaten Natuna telah ada Perda Nomor 2 Tahun 2009 yang mengatur tentang ketentuan tarif pelayanan kesehatan. Perbedaan tarif   pelayanan antara yang ditanggung oleh Jampersal  dengan Jamkesda seperti diatur dalam Perda tersebut menurut Dinas Kesehatan tidak bisa diadaptasi oleh Perda. Hal ini dikarenakan  penulisan (wording) Perda yang tidak ada celah untuk kompromi tarif. Sedang untuk merubah Perda dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak  sedikit, sehingga akhirnya diputuskan untuk tetap membiayai pelayanan persalinan melalui   Jamkesda.”  Pernyataan ini setidaknya telah dibenarkan oleh Kasie Jaminan Kesehatan serta verivikator Jamkesda. Tarif pelayanan sesuai ketentuan Jampersal, untuk persalinan normal pada tahun 2011 sebesar Rp. 350.000,-, dan pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi Rp. 500.000,-. Besaran tarif pelayanan persalinan normal ini Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   119 saja sudah membuat Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna berpikir ulang untuk bersegera mengadaptasi Jampersal. Sebagai perbandingan, tabel berikut memaparkan tarif pelayanan tindakan kebidanan yang ditanggung oleh Jamkesda sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2009; Dengan tingginya kesenjangan tarif layanan yang ditanggung ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan bidan. Ketidakpuasan ini terlontar saat diskusi dengan para bidan, setidaknya bidan di wilayah Puskesmas Ranai dan Puskesmas Sedanao. Hal ini juga setidaknya di’amin’i oleh Ketua IBI setempat. Di wilayah Puskesmas Sedanao sendiri, tidak ada satupun persalinan dilakukan di dalam Puskesmas, meski Puskesmas Percontohan Sedanao adalah Puskesmas rawat inap yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan lebih baik dibanding Puskesmas lainnya. Bidan lebih senang menolong di rumah penduduk, karena Jamkesda tidak mengcover persalinan yang tidak dilakukan fasilitas pelayanan kesehatan. Jadi bidan bisa menarik biaya persalinan yang berkisar Rp. 500.000,-. Meski menurut pengelola Jamkesda di Puskesmas Sedanao, klaim Jamkesda tetap juga dilakukan oleh Bidan. Dobel klaim  Jelajah Nusantara 120 yang pada akhirnya diakui lirih oleh pengelola Jamkesda Puskesmas. Ke depan, pada tahun 2013, dalam rencana akan diambil langkah strategis untuk merubah Perda yang mengatur tentang tarif tersebut. Sehingga diharapkan nantinya Pemda Kabupaten Natuna nantinya bisa mengadopsi Jampersal sebagai salah satu sumber pembiayaan kesehatannya. Ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan   Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dibilang hanya ada pelayanan dasar saja, kecuali di ibu kotanya, Ranai, yang telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat rujukan tingkat kabupaten. Gambaran utuh kombinasi antara RSUD sebagai satu-satunya pelayanan kesehatan lanjutan serta ketersediaan sarana transportasinya, bisa didapatkan setelah pembaca membaca topik ‘Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan’. Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga kesehatan telah lebih dari cukup tersedia. Untuk tenaga bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini. Dengan  jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka seharusnya semua desa telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas Kesehatan, ada beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan. Bagaimana tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70an bidan menumpuk di Ranai. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   121 Gambaran sisi lain pelayanan kesehatan bisa didapatkan saat saya berkunjung ke Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTD-RS), satu-satunya UTD yang ada di Kabupaten tersebut. Saat itu tanggal 1 November 2012, stok darah untuk golongan darah A tinggal satu kantong, golongan darah B satu kantong, golongan darah AB tujuh kantong, dan golongan darah O juga tersisa satu kantong. Saya pun tergerak ingin ikut merasakan pelayanan UTD-RS ini. Saya mendaftar untuk ikut mendonorkan darah. Pelayanan dilakukan tanpa pemeriksaan awal yang berbelit, seperti layaknya sebuah UTD yang saya biasa lalui di UTD PMI Surabaya. Hanya dilakukan pengukuran tekanan darah, tanpa pemeriksaan golongan darah, tanpa pemeriksaan kadar HB, tanpa pengukuran berat badan/tinggi badan, tanpa ditanyai sedang sehat atau sakit, juga tanpa inform consent  . Saya berpikiran positif  saja, mungkin darah akan diperiksa pasca layanan penyadapan darah. Tak terlalu lama, kantong darah berisi 250 cc telah terisi penuh! Saatnya pulang, saatnya berpamitan. Dan saya pulang dengan dibekali empat kaleng susu kental manis dan satu papan telur ayam mentah, yang berisi sekitar 30 butir telur. Kompensasi untuk pendonor darah yang sangat ‘mewah’ dibanding dengan daerah lain. Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan Berbicara tentang sarana transportasi di Natuna, rasanya kita perlu sering berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas dengan sangat dalam.  Jelajah Nusantara 122 Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai, dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta dengan wilayah paling Selatan di wilayah Pulau Subi dan Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan kesabaran untuk mencapainya. Paparan berikut saya harap mampu memberi sedikit gambaran tentang beberapa jalur transportasi serta ketersediaan sarana transportasinya, berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna; A.   Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan kapal besi reguler dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa ditempuh dengan kapal kayu (tongkang), yang bila beruntung kita bisa nebeng kapal barang dengan tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa sendiri dengan tarif lima sampai belasan juta, tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga bergantung dengan tingkat keamanannya. B.   Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal Pelni Bukit Raya yang memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga tersedia dalam frekuensi sekitar 15 hari sekali. C.   Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di dua jalur sebelumnya, cukup murah, hanya dalam kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan. Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan   123 Dalam benak saya, bagaimana sistem rujukan bisa berjalan dengan ketersediaan sarana transportasi yang sedemikian? Buat apa ada jaminan kesehatan daerah yang mengcover semua jenis pelayanan bila aksesnya tidak cukup tersedia? Bagaimana bila ada ibu hamil yang butuh rujukan dengan segera? Harus menunggu satu minggu lagi? Dua minggu lagi? Ahh... Dalam kesempatan wawancara dengan Kabid Yankes ini juga sempat terlontar adanya janji dari Kementerian Kesehatan (sie DTPK) yang menjanjikan speedboad  untuk daerah perbatasan lau, khususnya Pulau Laut, yang sampai dengan saat ini belum ada realisasinya. Padahal menurut pengakuan Kabid Yankes tersebut, telah sempat untuk disuruh mengajukan spesifikasi kapal yang sesuai dengan kondisi setempat. Local Wisdom Dalam sebuah diskusi dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan, kepada desa/lurah, serta dukun bayi, terungkap budaya masyarakat Natuna yang selalu harus didampingi bidan kampung (dukun bayi) pada saat melahirkan. Ke’harus’an ini juga tetap berlaku meski pertolongan persalinannya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan). Bidan kampung memang memiliki posisi strategis dan cukup berpengaruh bagi masyarakat Suku Melayu yang mendominasi penduduk Natuna (sekitar 87%). Dalam satu kali persalinan masyarakat mau merogoh kocek sampai dengan Rp. 500.000,- untuk jasa bidan kampung ini. Halifah, salah satu bidan kampung yang biasa dipanggil  Jelajah Nusantara 124 ‘Mak Pah’ ini telah berpraktek sebagai bidan kampung selama 35 tahun di wilayah Bunguran Timur. Bidan kampung yang sudah nenek-nenek tapi masih kenes ini mengaku dalam sepanjang karirnya belum pernah ada satu pun ibu atau bayi yang meninggal dalam ampuannya. Kondisi lain yang cukup menarik di Kabupaten Natuna adalah komposisi penduduknya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah 17.961 rumah tangga, dengan jumlah penduduk 69.319 jiwa. Hal ini berarti bahwa banyaknya jiwa dalam satu rumah tangga secara rata-rata sebanyak 3,86 orang, atau dengan kata lain dalam satu rumah tangga, dengan dua orang tua, hanya ada satu atau dua anak dalam rumah tangga tersebut.   125   126 Rata-rata anggota rumah tangga ini di setiap kecamatan cukup bervariasi, berkisar antara 3,55 orang sampai dengan 4,22 orang. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga terendah adalah di kecamatan Midai yakni 3,55 orang, dan tertinggi di Kecamatan Pulau Laut yakni 4,22 orang. Sudah hampir waktu subuh, kita cukupkan dulu tulisan ini. semoga kearifan lokal ini bisa menjadi modal untuk memulai sebuah perubahan. Semoga. 127 Tentang Penulis Agung Dwi Laksono, adalah seorang peneliti di Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Peneliti yang sempat bekerja sebagai wartawan di Harian Jawa Pos ini pernah mengenyam pekerjaan di Puskesmas Pagerwojo-Kabupaten Tulungagung setidaknya sampai lima tahun sebelum akhirnya berada di tempat bekerja yang sekarang. Agung yang berlatar belakang pendidikan S1  public health   ini aktif di dunia maya, setidaknya aktif di beberapa milis kesehatan, jejaring sosial, maupun sebagai blogger. Ia bersama-sama dengan penggiat  public health lainnya mengusung genre public health versi 2.0 , yang oleh beberapa penggiat diyakini sebagai gerakan  public health era baru, gerakan  publich health yang memanfaatkan kemutakhiran teknologi informasi sebagai sarana penyampaian informasi. 128 Dengan gaya bahasa populer, Agung berusaha menempatkan setiap tulisannya mampu untuk diterima kalangan muda, sasaran tembak paling produktif menurut dia. Beberapa buku telah ditulis dengan gaya populer, meski juga terselip beberapa buku serius sebagai buku publikasi hasil kajian dan atau penelitian yang digelutinya. 129 E book 4 free! Dapatkan e book ‘Analisis Kebijakan Ketenagaan; Sebuah Formulasi Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum’ Link download; http://www.baixardoc.com/doc/95002369/Analisis-Kebijakan- Ketenagaan-Agung-Dwi-Laksono   130