Transcript
iii
Pengantar
Pengantar
Pengantar
Pengantar
Buku
‘Jelajah Nusantara, Catatan Seorang Peneliti
Kesehatan’
ini lebih merupakan catatan yang dirasakan
penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas
sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya
bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.
Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya
bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih
lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan
kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan
membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai
langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
Cerita bagaimana petugas kesehatan di Puskesmas
Sampang termotivasi dan bangkit dari keterpurukannya,
atau petugas di Puskesmas Perampuan Lombok Barat yang
penuh inovasi, sampai masyarakat Kabupaten Pegunungan
Bintang yang dengan arif memanfaatkan potensi lokalnya,
mampu mem’besar’kan kepala penulis merasai endorfin
yang mengalir seiring rasa bangga ditakdirkan menjadi anak-
anak negeri ini.
Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini
mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan
perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya
nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita,
iv
tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai
wilayah-wilayah perbatasan negeri.
Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk
bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini.
Sungguh kami berharap banyak untuk itu!
Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!
Surabaya, Desember 2012
- Pusat Humaniora -
v
Daftar Isi
Daftar Isi
Daftar Isi
Daftar Isi
Pengantar iii
Daftar Isi v
Pegunungan Bintang, Eksotisme
Perbatasan di Pegunungan Tengah Papua 1
Raja Ampat, Potret Sebuah Keraguan 17
Kepulauan Aru, Kabupaten
DTPK yang DBK! 21
Catatan Perjalanan Benjina, Sisi Lain
Kepulauan Aru 31
Pengungsi Eks Timor 47
Wakatobi, Surga Laut yang Seharusnya
Menginspirasi 55
Wakatobi Kali Ke-Tiga 67
Perampuan Dan Odong-Odong 79
Gado-gado ala Sampang! 91
Puskesmas Delivery untuk Metropolis 99
Pulau Tello, Cerita lain tentang Nias Selatan 107
Kabupaten Natuna, Dongeng Ironi Pojokan
Negeri 113
vi
1
PEGUNUNGAN BINTANG,
EKSOTISME PERBATASAN
DI PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA
Jayapura_Papua, 14 Mei 2012
Berikut pengalaman muhibah di negeri atas awan
Pegunungan Bintang, Papua. Banyak kesan mendalam
yang ditinggalkan, semoga juga meninggalkan kesan yang
mendalam bagi pembacanya.
Quote
seorang saudara tua, Ernawati, saat
berkomentar tentang Kepulauan Aru,
“
Keberagaman milik Indonesia tercinta ini harus
disyukuri, kecuali keberagaman akses untuk
memperoleh pelayanan kesehatan...”
***
Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua, 12 Mei 2012
Pagi yang tergesa dan kami yang masih malas
beranjak, setelah menempuh perjalanan 11 jam dari
Surabaya sehari sebelumnya. Pagi itu gerimis, sekitar jam
05.30 WIT, kami berangkat dari Jayapura menuju bandara
Jelajah Nusantara
2
Sentani. Menurut petugas Trigana Air Services kami sudah
harus melapor di bandara setidaknya jam 06.00 WIT.
Trigana Air Services, maskapai dengan jadwal
penerbangan paling tentatif sedunia! Apa pasal? Kami
sudah berdiri di
counter check in
maskapai tersebut jam
06.15 WIT dan ternyata belum buka, dan bahkan baru
dibuka pukul 09.00 WIT, dan bahkan berangkat baru jam
11.00 WIT dari jam 07.00 yang direncanakan semula, tanpa
pemberitahuan apapun. Tak berlebihan rasanya bila saya
menyebutnya sebagai ‘maskapai dengan jadwal
penerbangan paling tentatif sedunia!’.
Saya tidak punya pilihan maskapai lain untuk
menuju Kabupaten Pegunungan Bintang, meski dua bulan
sebelumnya masih ada satu lagi operator penerbangan
reguler yang beroperasi, Pelita Air. Tapi kondisi saat ini
yang tersisa hanya Trigana Air Service, sisanya adalah
pesawat-pesawat kecil, Cesna, yang dioperasikan secara
full flight
, atau lebih gampangnya disebut carter, dengan
biaya 24-32 juta
one way
, sekali berangkat, ‘
murah’
sekali
bagi ukuran saya yang PNS. Hahaha...
Pesawat akhirnya berangkat dengan membawa 32
penumpang dari 50
seat
yang tersedia dari pesawat jenis
ATR ini, sisanya... kami harus berbagi
seat
dengan
tumpukan beras berkarung-karung dan kebutuhan
sembako lainnya. Sungguh perjalanan yang
menyenangkan.
Tidak ada jalur alternatif transport lain menuju
Oksibil dari daerah lainnya, semua kebutuhan di
kabupaten tersebut dikirim melalui jalur penerbangan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
3
Posisi Kabupaten Pegunungan Bintang dalam Peta Papua
Penerbangan menuju Oksibil, ibu kota Kabupaten
Pegunungan Bintang, hanya ditempuh dalam waktu 52
menit. Waktu tempuh yang sangat singkat dibanding
penantian panjang yang hampir 5 jam. Kedatangan saya di
wilayah paling Timur Republik ini (berbatasan langsung
dengan Papua Nuginie), dalam penugasan terkait riset
etnografi untuk kesehatan ibu dan anak.
Dalam kunjungan lapangan kali ini, saya harus
‘menjenguk’ adik peneliti saya, Mas Aan Kurniawan,
seorang anthropolog, yang sudah ‘ditanam’ di Pegunungan
Bintang sepuluh hari sebelumnya, dan dia masih harus
membaur di masyarakat setempat setidaknya sampai
dengan dua bulan ke depan.
Dalam tim yang ‘ditanam’, ada 4 orang anggota tim,
dua dari Universitas Cendrawasih, anthropolog yang juga
Jelajah Nusantara
4
putra daerah, ditambah satu orang rekan peneliti
perempuan asli Serui dari Balai Biomedis di Jayapura.
Kami menginap di mess pastoran Gereja Katolik
Paroki Roh Kudus. Sebenarnya ada penginapan di Kota
Oksibil, Penginapan Gloria, satu-satunya penginapan yang
ada di kota ini, tetapi untuk penelitian etnografi kali ini
wajib bagi kami untuk berbaur dengan masyarakat
setempat. Rencananya 3-4 hari ke depan tim akan
bergeser untuk mukim di rumah penduduk di salah satu
distrik.
***
Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang,
yang bahkan tak lebih luas dari Kecamatan Jambangan,
sebuah kecamatan di Kota Surabaya tempat saya tinggal.
Di kota kecil inilah semua kendali pemerintahan di
Kabupaten Pegunungan Bintang dikendalikan.
Kabupaten berpenduduk 100.686 jiwa ini terdiri
atas 34 Distrik atau setara kecamatan, dan 257 kampung
atau setara desa. Jangan dibayangkan seperti kecamatan di
wilayah lain di Republik ini. Distrik yang bisa dicapai
dengan jalur darat, dengan mobil
double
gardan tentu
saja! Hanya mencapai 4 distrik, yaitu distrik Okaom,
Bulankop, Serambakon dan Kalomdol. Sisanya 30 distrik
hanya bisa dicapai dengan pesawat kecil jenis Cesna.
Sebenarnya jalur darat tetap bisa saja ditempuh, dengan
keluar masuk hutan, naik gunung, turun jurang, dengan
waktu tempuh yang... entahlah...
Di wilayah yang berada di ketinggian 2.000-3.000
meter di atas permukaan laut ini, jalur komunikasi
fix
(telkom) tentu saja tidak tersedia, meski operator seluler
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
5
Telkomsel hadir dengan sinyal cukup kuat, setidaknya di
Oksibil. Sedang operator seluler lainnya tidak punya cukup
nyali untuk bermain di wilayah berat ini. Sekali lagi kondisi
ini hanya berlaku di Oksibil saja! Untuk distrik lain bisa
dibilang hampir tidak ada satupun alat komunikasi yang
bisa dipakai. Hanya ada radio komunikasi SSB untuk
setidaknya konfirmasi cuaca untuk penerbangan yang
melalui wilayah distrik-distrik tersebut.
Listrik sudah bisa nyala setiap hari. Dengan
menggunakan tenaga diesel, tenaga listrik mulai dialirkan
pada jam 5 sore sampai dengan jam 12 malam. Betul-betul
hanya difungsikan sebagai tenaga penerangan pada malam
hari saja.
PENCAPAIAN IPKM
Kabupaten Pegunungan Bintang adalah penghuni
paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM), atau ranking 440 dari 440
kabupaten/kota. Sebuah pencapaian mengenaskan
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya sembilan
tahun lalu. Dengan ranking IPKM yang demikian, sudah
tentu kabupaten ini termasuk Daerah Bermasalah
Kesehatan (DBK), sekaligus juga DTPK (Daerah Tertinggal,
Perbatasan dan Kepulauan).
Dalam bedah data IPKM, pencapaian cakupan
‘sanitasi’ dan ‘akses terhadap air bersih’ kabupaten ini
‘0%’. Artinya sama sekali tidak ada air bersih dan
sanitasinya sangat buruk sekali. Nyatanya kondisi di
lapangan memang demikian, masyarakat untuk seluruh
kegiatan yang berkaitan dengan air hanya mengandalkan
Jelajah Nusantara
6
air tadah hujan. Jadi keberadaan air bersih sangat minim
sekali. Bagaimana tidak? Air mineral dalam botol 1,5 liter
di Oksibil dibanderol seharga Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal
dari harga bensin premium seliter yang mencapai Rp.
35.000,-.
Dengan minimnya keberadaan air bersih, sudah
tentu sanitasipun menjadi sangat minimal. Menurut
beberapa rekan peneliti, sebetulnya sudah mulai ada
PDAM yang khusus beroperasi di Oksibil, tapi
pelayanannya masih di sekitar perumahan pejabat daerah
saja.
Alhamdulillah
... akhirnya saya pun jadi punya alasan
untuk tidak mandi, meski tidak tahu berapa hari tahan
untuk tidak buang air besar.
Imunisasi lengkap balita di seluruh wilayah
Kabupaten ini hanya mencapai 1,67%, dan persalinan di
tenaga kesehatan pun hanya mencapai 10%. Meski
demikian balita kurus hanya sedikit di kabupaten ini, hanya
sebesar 8,77%, meski juga yang
stunting
atau pendek
keberadaannya sangat banyak, sebesar 55,17%. Tidak!
Tidak perlu mengurut dada untuk pencapaian ini! Yang
dibutuhkan hanya aksi...
Seluruh data di atas didapatkan dari hasil survey
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada
tahun 2007, meski juga pada saat ini, lima tahun
kemudian, kondisinya tetap saja sama. Kita akan lihat lagi
pada tahun 2013 nanti, pada saat Riskesdas kembali
dilakukan, apakah telah ada perubahan atau tidak pada
status kesehatan di masyarakat.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
7
SUMBER DAYA KESEHATAN
Kedatangan kami disambut ramah oleh Kadinkes
Kabupaten Pegunungan Bintang.
“
Kita bersaudara..., semua petugas kesehatan
bersaudara.”
Ngobrol santai dengan Kadinkes ini berlangsung sore
hari di rumah pribadinya yang sederhana. Tak ada lagi
kantor Dinas Kesehatan baginya, setidaknya untuk saat ini.
Kantornya telah lebur dihancurkan massa beberapa waktu
lewat. Apa sebab? Entahlah... saya sedang tak ingin ikut
berpolemik saat ini.
Menurut pengakuan Kepala Dinas Kesehatan, Darius
Salamuk, SIP., dari 34 distrik (setara kecamatan) di
kabupaten ini, hanya 29 Puskesmas yang tersedia.
Keberadaan tenaga dokter umum hanya ada 10, dan pada
bulan April 2012 kemarin sempat ada tambahan dokter
PTT yang dibiayai pusat sebanyak 6 orang. Dari
keseluruhan tenaga dokter, hanya 6 orang dengan status
PNS.
Jelajah Nusantara
8
Dari 29 Puskesmas yang ada, secara keseluruhan
dikepalai oleh perawat lulusan SPK. Di wilayah kabupaten
ini secara keseluruhan ada 35 tenaga bidan, yang
setengahnya (18 bidan) terdistribusi di 29 puskesmas, dan
sisanya ada di rumah sakit.
Dengan uraian kekuatan tenaga kesehaan yang
tersedia tersebut, tentu saja banyak puskesmas yang tidak
tersedia tenaga dokter, dan bahkan meski juga hanya
untuk sekedar tenaga bidan. Menurut Kadinkes ada
beberapa puskesmas yang hanya ada kepala
puskesmasnya saja, itupun hanya mantri lulusan SPK.
Ada satu Rumah Sakit di kabupaten ini, yang baru
beralih fungsi dari ‘Puskesmas Perawatan Plus Oksibil’
sekitar bulan Maret 2011. Rumah Sakit type apa? Belum!
Rumah sakit ini sama sekali belum pernah dan belum layak
dilakukan akreditasi. Masih diperlukan perbaikan di sana-
sini untuk menjadikannya layak untuk sekedar dilakukan
akreditasi.
Palang Merah Indonesia dan atau sekedar bank
darah pun juga tidak tersedia di kabupaten ini.
INOVASI KEBIJAKAN LOKAL
Dengan keseluruhan yang serba minimal, bukan
berarti pemerintah setempat diam saja. Dalam catatan ada
beberapa upaya kreatif untuk memenuhi kebutuhan akan
pelayanan kesehatan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
9
Tak kurang Bidan Christina Kasipmabin, Kepala
Seksi Kesehatan Ibu dan Anak, menyebutkan pernah ada
upaya pendirian rumah singgah di Kota Oksibil. Bidan
lulusan P2B ini (lulusan SPK plus pendidikan bidan 1 tahun)
menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2009 sempat
didirikan rumah singgah dalam bentuk
honaiÂ
(rumah khas
adat tanah Papua) untuk menampung ibu hamil dari luar
Oksibil yang diwilayahnya tidak tersedia tenaga kesehatan.
Tapi sayangnya saat ini ibu hamil menjadi tidak tertarik
memanfaatkan fasilitas ini.
Pada tahun yang sama, sekitar tahun 2008-2010,
bidan berputra dua ini menyebutkan, bahwa dalam rangka
Gerakan Sayang Ibu (GSI) pernah dilakukan upaya
pencarian
door to door (sweeping
) ibu hami resiko tinggi di
seluruh wilayah kabupaten untuk dirujuk ke rumah sakit di
Jelajah Nusantara
10
Jayapura. Tetapi, sejak tahun 2010 upaya ini tidak lagi
dibiayai oleh pemerintah kabupaten, karena mahalnya
biaya rujukan yang menggunakan transportasi udara
karena tidak tersedianya alternatif jalur transport lainnya.
Menurut Kadinkes, sejak tahun 2009, pemerintah
setempat mengajukan ke Kementerian Kesehatan untuk
pendirian kelas khusus Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
dan Sekolah Kebidanan yang akan bekerja sama dengan
Biak. Kenapa mengajukan hanya SPK yang setara SLTA?
Bukannya minimal harus setara D3? Pilihan ini bukannya
tanpa alasan. Minimnya sumberdaya dengan pendidikan
yang memadai membuat pilihan ini yang jauh lebih masuk
akal.
Akhirnya pada tahun ini, 2012, ijin didapatkan dari
Kementerian Kesehatan (PPSDM). Maka dimulailah proses
rekrutmen dan seleksi dari putra daerah setempat. Dengan
mengambil 2 sampai 3 orang lulusan terbaik SLTP di setiap
distrik. Kesemuanya akan dibiayai dari APBD setempat.
Nantinya mereka akan disekolahkan dan diasramakan di
Kota Biak.
Selain itu pemerintah kabupaten juga akan
membiayai penuh siapa saja putra daerah yang mampu
menembus Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih
(FK Uncen), termasuk menyekolahkan spesialis bagi tenaga
dokter umum yang mau ditempatkan di Kabupaten
Pegunungan Bintang. Pada saat ini ada 12 mahasiswa FK
Uncen yang dibiayai, dan hanya dua yang baru mencapai
sarjana kedokteran (dokter muda).
Inovasi lain yang cukup ‘gila’ dilakukan Dokter Bob.
Menurut pengakuan dokter asal Batak yang sekaligus
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
11
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan ini
sempat membuat pelatihan dukun bayi untuk Asuhan
Persalinan Normal (APN), yang tentu saja tidak
mempergunakan dana dari pemerintah. Alasannya
sederhana saja,
“Saya belum pernah mendengar lonceng Gereja
berbunyi yang memberitahukan ada kasus
kematian bayi saat persalinan....”
Dengan persalinan ke tenaga kesehatan yang hanya
10%, siapa lagi yang berperan selain dukun??? Kebanyakan
kematian bayi di Kabupaten ini dalam kisaran waktu dua
minggu sampai satu bulan, bukan pada saat persalinan.
Mungkin disinilah peran tenaga kesehatan lebih
diperlukan.
Inovasi lain juga sempat datang dari akademisi
Universitas Gadjah Mada (UGM) yang akan menggandeng
funding
dari luar untuk
outsourcing
tenaga kesehatan dari
luar Kabupaten Pegunungan Bintang untuk ditempatkan di
wilayah ini selama satu tahun. Meski kabar ini terdengar
segar, tapi menurut Dokter Bob belum jelas kapan akan
ada realisasinya.
JAMKESMAS, JAMPERSAL, BOK & JAMKESPA
Bebera pa permasalahan pembiayaan kesehatan
yang bersumber dari pusat (Jamkesmas, Jampersal, BOK),
yang menimpa kabupaten di posisi paling timur Republik
ini, hampir sama dengan daerah lain di Indonesia,
terutama wilayah kepulauan, yang letak kantor KPPN-nya
berada jauh dari wilayah kabupaten setempat. Kendala
Jelajah Nusantara
12
yang sering terdengar adalah biaya ‘perjalanan’
pengurusannya yang tidak tersedia.
Permasalahan lain terkait Jamkesmas dan
Jampersal menurut Kadinkes adalah keharusannya
memiliki rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk
proses transfer dananya. Bukan masalah besar seharusnya,
bila ‘ada’ keberadaan bank plat merah tersebut di
kabupaten yang seluruh wilayahnya gunung ini. Sekali lagi
diperlukan biaya ekstra untuk keseluruhan biaya
‘administrasi’nya di Jayapura.
Klaim Jampersal di daerah ini tidak melulu
dilakukan oleh Bidan. Oleh sebab minimnya tenaga bidan,
maka tenaga kesehatan lain, kebanyakan lulusan SPK, ikut
melakukan pertolongan persalinan. Hal ini telah menjadi
kebijakan khusus di daerah ini terkait Jampersal.
Menurut Bidan Christina Kasipmabin beberapa
waktu lalu sempat diselenggarakan sosialisasi terkait BOK,
Jamkesmas, dan Jampersal. Sasaran sosialisasi adalah
seluruh bidan dan kepala puskesmas di wilayah tersebut.
Acara diselenggarakan di Oksibil dengan biaya perjalanan
yang tidak ditanggung oleh Dinas Kesehatan. Jadi biaya
dari distrik ke Oksibil dibiayai masing-masing petugas.
Entah bagaimana mereka mengupayakan biaya perjalanan
untuk pembelian tiket pesawat tersebut?
Saat ini juga berlaku Jamkespa (Jaminan Kesehatan
Papua), pembiayaan kesehatan yang juga berlaku di
seluruh wilayah Papua yang diolah melalui dana otonomi
khusus (otsus Papua). Jaminan pembiayaan kesehatan
dasar sampai dengan paripurna ini hanya dikhususkan bagi
rakyat Papua asli, tak peduli miskin atau kaya. Meski
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
13
sempat juga terpikir, meski semuanya gratis, untuk apa
bila pelayanannya tidak tersedia?
LOCAL WISDOM
Kabupaten Pegunungan Bintang memang terlihat
terisolasi dari dunia luar, untuk itu dibutuhkan banyak
kemauan dan kemampuan yang ditumbuhkan dari dalam,
dari masyarakat Pegunungan Bintang sendiri.
Dalam banyak hal dukun masih sangat berperanan
di kehidupan masyarakat. Dukun, mau tidak mau harus
dilibatkan dalam pembangunan kesehatan. Satu langkah
strategis telah diambil, merekrut tenaga dukun sebagai
kader kesehatan, dengan penghargaan yang luar biasa
dibanding kabupaten lain. Mereka diberi insentif Rp.
300.000,- per bulan yang diambilkan dari anggaran APBD.
Di beberapa kampung dan bahkan distrik, yang tenaga
kesehatan tidak tersedia, maka dukun di’ikhlas’kan
menjadi penolong persalinan.
Di beberapa tempat pelayanan kesehatan, penulis
banyak menjumpai sepinya kunjungan. Dalam beberapa
hal tentang sakit dan kesakitan,
self efficacy
dengan
memanfaatkan tanaman obat yang didapatkan dari alam
maupun obat bebas pabrikan menjadi pilihan utama
masyarakat. ‘Daun Gatal’ misalnya, dipergunakan
masyarakat seperti ‘
koyo’
yang ditempelkan pada bagian
tubuh yang dirasakan capek. Efek yang ditimbulkan adalah
gatal-gatal yang pada akhirnya berujung pada hilangnya
semua rasa lelah. Rasa-rasanya teman peneliti di
Tawangmangu perlu juga mengkoleksi tanaman ajib ini.
Jelajah Nusantara
14
Kearifan lokal lain dipelopori oleh ibu bupati selaku
Ketua Penggerak PKK Kabupaten yang memutuskan ‘Daun
Yamen’ sebagai salah satu suplemen wajib yang diberikan
pada ibu hamil dan anak-anak sebagai bahan PMT
(pemberian makanan tambahan) di Posyandu. Sayuran asli
Pegunungan Bintang ini terbukti banyak mengandung
kalsium. Setidaknya hal ini telah diteliti oleh pihak
Universitas Cendrawasih.
Terbersit rasa bangga saat menjelajah sudut-sudut
Pegunungan Bintang sampai ke pelosok, tak satupun dari
mereka yang ditemui tak bisa berbahasa Indonesia, meski
yang tampak dari luar adalah kaki telanjang dengan
pakaian yang lusuh menggendong potongan besar kayu
dan tas noken yang menggantung di kepala.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
15
Rasanya sudah terlalu banyak yang diceriterakan,
meski terlalu banyak juga yang belum diceriterakan.
Semoga bisa menambah rasa kecintaan pada Republik ini.
 Jelajah Nusantara
16
17
RAJA AMPAT,
POTRET SEBUAH KERAGUAN
Saya pada akhirnya menjadi ragu dengan
penerapan
universal coverage
pada saat ini, meski
sebelumnya saya sangat berapi-api berharap agar
dilakukan percepatan penerapan
universal coverage
. Sikap
baru ini muncul setelah melihat sendiri pelayanan
kesehatan di Kabupaten Raja Ampat-Papua Barat yang
bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi belahan pertiwi
lainnya.
Raja Ampat, merupakan kabupaten baru hasil
pemekaran Kabupaten Sorong. Sebagai sebuah tujuan
wisata bawah air, Raja Ampat merupakan sepuluh besar
terbaik dunia. Lebih dari dua pertiga populasi bawah air
dunia ada di kabupaten kepulauan ini. Indah.. memang
terbukti sangat indah seluruh wilayah kepulauan ini,
sehingga layak dijuluki sebagai surga bahari!
Datang pertama kali di pusat pemerintahan
Kabupaten Raja Ampat di Waisai di pulau Waigeo tak
terbayangkan bahwa sama sekali bahwa tak ada
sambungan telepon kabel di seluruh wilayah kabupaten.
Kebayang tidak???
Jelajah Nusantara
18
Kata petugas di dinas kesehatan ada dua nomor
faximile
di kantor bupati, jadi kalo mau kirim kabar ke
Dinas Kesehatan bisa nge-fax ke kantor bupati, nantinya
orang kantor bupati yang akan menyampaikan ke Dinas
Kesehatan. Dan yang diluar dugaan setelah saya diberi
nomor
faximile
tersebut… kode areanya Kota Makassar.
Kok bisaa???
Kok bukan Kota Sorong???
Entahlah…
Posisi Kabupaten Kepulauan Raja Ampat
dalam Peta Indonesia
Kabupaten baru ini terdiri dari 610 pulau. Empat di
antaranya, yakni Pulau Misool, Salawati, Batanta dan
Waigeo, yang merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh
pulau hanya 35 pulau yang berpenghuni sedangkan pulau
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kes
lainnya tidak berpenghuni dan sebagian
memiliki nama.
Pulau-pulau kecil banyak yang berpe
puluhan jiwa saja, yang kebanyakan bermat
sebagai nelayan. Dan tentu saja transporta
tidak ada pilihan selain angkutan laut.
Perkampungan Nelayan di Raja Amp
Saya sempat mampir ke salah sat
dihuni tak lebih dari 30-40 jiwa, yang seluru
Sama sekali tidak ada fasilitas umum di p
Untuk mencapai daratannya yang berupa te
harus memanjat tangga-tangga bambu yang
Rumah kebanyakan dari bahan bambu, deng
lebih dari 6 x 8 yang dihuni belasan jiwa. Yak
Karna memang hanya ada tiga rumah di pula
Pelayanan kesehatan??? Setelah saya
Dinas Kesehatan, Puskesmas mengembangk
Puskesmas Terapung untuk menjangkau pul
hatan
19
besar belum
nghuni hanya
pencaharian
i antar pulau
t
pulau yang
nya nelayan.
lau tersebut.
ing saja saya
cukup tinggi.
n ukuran tak
belasan jiwa!
itu.
konfirmasi ke
an pelayanan
u-pulau kecil
Jelajah Nusantara
20
tersebut. Dengan keterbatasan biaya maka frekuensinya
sekali sebulan. Jadi kalo sakit pas saat abis ada kunjungan
puskesmas ya harus sabar nunggu kunjungan bulan
berikutnya.
Pengembangan pelayanan Puskesmas Terapung ini
pun bisa berjalan setelah ada Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) yang bisa dimanfaatkan untuk beli bahan
bakar. Bahan bakar memang sangat menentukan. Di
kabupaten ini baru saja didirikan POM bensin, yang
seringkali kehabisan stok. POM bensin satu-satunya di
kabupaten ini.
Rumah Sakit??? Yak.. sudah ada satu RS di
Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, yang meski dengan
fasilitas minimal sudah bisa beroperasi. Tapiiii… UTD-RS
(Unit Transfusi Darah-Rumah Sakit) baru dibentuk saat ini,
jadi belum bisa beroperasi. Kalau ada yang sakit dan butuh
darah, silahkan dirujuk ke Kota Sorong, dengan sewa boat
7-8 juta pulang pergi, ini masih biaya ‘
beyond health’
nya,
belum benar-benar biaya berobatnya.
Jadi… bila benar
universal coverage
diberlakukan,
apa pengaruhnya untuk mereka? Karna pelayanannya
memang kurang atau bahkan tidak ada.
…dan kita yang membaca ini, yang di sini… apa ya pantas
mengeluh???
21
KEPULAUAN ARU,
KABUPATEN DTPK YANG DBK!
Dobo_Kepulauan Aru, 04 Mei 2012
Siang itu, saat jam 16.30 waktu setempat, di sela
teduhnya cuaca sehabis diguyur gerimis, kami mendarat di
bandar udara Kota Dobo. Kesan pertama yang tertangkap,
ahh... Dobo belumlah layak disebut sebagai kota, meski
mereka menyebutnya sebagai ibukota kabupaten ini.
Sambutan belasan tukang ojek merayu kami untuk
bersegera meninggalkan bandara yang tak lebih besar dari
balai desa di Pulau Jawa. Tak perlu waktu lama
menentukan pilihan, tak lebih sepuluh menit kami telah
sampai di depan Hotel Suasana Baru, hotel yang menurut
kami lebih layak disebut losmen. Tak apalah... toh
penginapan ini adalah salah satu yang terbaik yang dimiliki
kota ini.
Sepuluh menit dari bandara ke hotel?
Yak! Bukan karena jarak bandara ke hotel yang
terlalu dekat, tetapi memang keseluruhan Kota Dobo bila
di
ubek-ubekÂ
dari ujung ke ujung memerlukan waktu yang
tak lebih dari satu jam saja. Cukup besar bukan?
Jelajah Nusantara
22
Saya bertandang di kabupaten ini ditemani Mas
Setia Pranata, seorang anthropolog, peneliti senior di
tempat saya bekerja. Sedianya kami sedang dalam
persiapan daerah penelitian untuk melaksanakan tugas
dari kantor, melakukan evaluasi terkait Jaminan Persalinan
(Jampersal).
Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di Peta Indonesia
Seperti judul tulisan yang saya pilih di atas,
Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu
kabupaten ‘Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan’
(DTPK) yang juga merupakan kabupaten yang tergolong
sebagai kabupaten ‘Daerah Bermasalah Kesehatan’ (DBK).
Untuk yang belum paham DTPK dan DBK silahkan baca
tulisan pada catatan-catatan sebelumnya.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
23
Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu
kabupaten dari propinsi seribu pulau, Propinsi Maluku.
Meski sebenarnya di Kabupaten Kepulauan Aru saja jumlah
pulaunya sudah mencapai 547 pulau dengan 458
diantaranya yang tidak berpenghuni. Kabupaten
Kepulauan Aru memiliki 3 pulau besar (Pulau Wokam,
Kobror dan Trangan), dan 8 pulau lain yang merupakan
pulau kecil terluar, antara lain Arapula (tidak berpenghuni);
Karawaiala (tidak berpenghuni); Panambulai
(berpenghuni); Kultubai Utara (tidak berpenghuni);
Kultubai selatan (tidak berpenghuni); Karang (tidak
berpenghuni); Enu (tidak berpenghuni) ; dan Batu goyang
(berpenghuni).
Secara geografis, di sebelah Selatan Kabupaten
Kepulauan Aru adalah Laut Arafura, di sebelah Utara dan
Timur berbatasan laut dengan bagian Selatan Papua Barat,
sedang bagian timur berbatasan laut dengan bagian Timur
Pulau Pulau Kei Besar (Kabupaten Maluku Tenggara) dan
Laut Arafura.
Dalam catatan harum kepahlawanan, Laksamana
Laut Yos Sudarso gugur di perairan Laut Arafura saat
menolak dievakuasi pihak Belanda ketika kapal yang
dikomandaninya dibom dan ditenggelamkan di laut ini.
Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh)
kecamatan dengan jumlah puskesmas mencapai 21 buah.
Banyaknya jumlah puskesmas dibanding dengan jumlah
kecamatan bukanlah dikarenakan kabupaten kepulauan ini
kaya raya, tapi lebih dikarenakan terlalu banyaknya
kepulauan yang menjadi wilayah kerja Dinas Kesehatan di
sana.
 Jelajah Nusantara
24
Untuk mencapai kabupaten kepulauan ini selain
dengan jalur laut juga bisa dilakukan dengan pesawat.
Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi dan mau
mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah
Trigana Air, setelah sebelumnya dua maskapai lainnya
(Merpati dan Wings Air) menarik diri dari jalur tersebut.
Perkampungan Nelayan
di Dobo, Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru
Jalur pesawat terbang yang harus kita dilalui untuk
mencapai Kabupaten Kepulauan Aru dari Kota Ambon
adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota yang
sebelum memisahkan diri masih merupakan ibukota
Kabupaten Maluku Tenggara. Jarak tempuh terbang Kota
Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan jarak tempuh
Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
25
tersebut kita tempuh melalui jalur laut dari Kota Ambon,
maka kita bisa semalaman terapung di lautan.
Bila kita membayangkan mencapai kabupaten
kepulauan ini sulit, maka sesungguhnya mencapai wilayah
kerja di kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur laut adalah
jalur transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya
sangat tergantung dengan kondisi angin laut yang
seringkali sangat tidak bersahabat. Iklim dipengaruhi oleh
Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga
dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua
Australia di Bagian Selatan sehingga sewaktu-waktu bisa
terjadi perubahan iklim yang ekstrim.
Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru
sudah cukup baik untuk golongan DTPK. Sudah ada
jaringan Telkom dan komunikasi seluler. Telkomsel sebagai
satu-satunya provider yang bernyawa di daerah ini telah
hadir dengan sinyal cukup kuat, meski terbatas hanya
jaringan GSM. Setidaknya saya masih bisa memberi kabar
orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja.
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Pengakuan dari Kamelia Assagaf (pengelola
Jampersal Kabupaten Kepulauan Aru) cukup mengejutkan,
bahwa dari 21 (dua puluh satu) Puskesmas yang ada di
Kabupaten Kepulauan Aru pada akhir tahun 2011, sampai
pada saat tulisan ini dibuat hanya 11 (sebelas) Puskesmas
yang memiliki tenaga bidan di wilayahnya, itupun tidak
merata di seluruh desa. Di wilayah Puskesmas Marlasi
misalnya, dengan 16 (enam belas) desa yang menjadi
Jelajah Nusantara
26
wilayah kerjanya, hanya tersedia 3 (tiga) tenaga bidan.
Entah bagaimana mereka membagi beban kerjanya?
Pengakuan inipun setidaknya diamini Haryati
Kubangun selaku Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas
Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru.
Sedang 10 (sepuluh) Puskesmas lainnya yang tidak
memiliki bidan sama sekali di wilayah kerjanya, terdiri atas
Puskesmas Kaben, Puskesmas Wakua, Puskesmas
Kobadangar, Puskesmas Koijabi, Puskesmas Longgar Apara,
Puskesmas Mesiang, Puskesmas Panambulai, Puskesmas
Doka Barat,
Puskesmas Ngaibor, dan Puskesmas yang
terletak di wilayah paling selatan Kabupaten Kepulauan
Aru, Puskesmas Batu Goyang. Prihatin sekali
membayangkan berapa desa yang kosong tanpa ada
tenaga kebidanan sama sekali.
Kekosongan bidan ini bukan tidak disadari oleh
Dinas Kesehatan sebagai masalah yang harus segera
diselesaikan, untuk itu Dinas Kesehatan membuat usulan
pengangkatan semua lulusan Akademi Kebidanan
setempat sejumlah 21 bidan pada tahun 2012 ini. Semua
usulan pengangkatan adalah sebagai tenaga bidan PTT
dengan usulan pembiayaan dari pusat. Usulan pembiayaan
tenaga bidan PTT dengan pembiayaan dari daerah
sepertinya gamang dilakukan. Dengan anggaran bidang
kesehatan yang hanya 5,68% dari total APBD sebesar Rp.
521.397.899.791,- dirasa tidak cukup untuk membiayai
keperluan tersebut, meski APBN juga telah andil sebesar
Rp. 7.283.177.000,- untuk pelayanan kesehatan di
Kabupaten Kepulauan Aru ini.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
27
Lulusan bidan tahun 2012 ini merupakan lulusan
reguler pertama Akademi Kebidanan satu-satunya di
Kabupaten Kepulauan Aru. Tahun 2011 sebelumnya,
Akademi Kebidanan ini sempat meluluskan 16 tenaga
bidan, yang merupakan tugas belajar dari PNS Dinas
Kesehatan dari sekolah kebidanan yang lebih rendah.
Berdasarkan data profil kesehatan Kabupeten
Kepulauan Aru, jumlah ibu hamil pada tahun 2009
mencapai 2.004 ibu dan menurun sedikit pada tahun 2010
mencapai angka 1.989 ibu hamil.
Pada tahun 2010 jumlah ibu hamil yang
memeriksakan diri saat kehamilan mencapai K1=1.596 ibu
(80,2%) dan K4=1.195 (60,1%). Dari sejumlah kehamilan
pada tahun 2010, 52,8%nya (1.013) ditolong oleh tenaga
kesehatan dengan kompetensi kebidanan. Capaian ini
masih jauh dari target SPM provinsi sebesar 90% dan
target SPM nasional sebesar 95%.
Tidak jauh berbeda dengan data pelaporan rutin
dari fasilitas pelayanan kesehatan di atas, data survey
berbasis komunitas justru menunjukkan angka cakupan
yang sedikit lebih baik. Berdasarkan data Riskesdas 2007
cakupan ibu yang memeriksakan kehamilan di Kabupaten
Kepulauan Aru mencapai sebesar 83,3%. Sedang yang
melakukan pemeriksaan neonatus mencapai 33,3% untuk
KN-1 (0-7 hari) dan 42,9% (8-28 hari) pada KN-2.
PELAYANAN JAMPERSAL
Berbeda dengan laporan capaian cakupan
pelayanan kesehatan ibu, laporan cakupan pelayanan
Jelajah Nusantara
28
penggunaan Jaminan Persalinan (Jampersal) menunjukkan
angka yang sangat rendah.
Sejatinya, pelayanan Jampersal mulai masuk dan
ada klaim untuk jasa pelayanan di Kabupaten Kepulauan
Aru pada bulan Agustus 2011. Tetapi pencapaian
pelayanannya relatif sangat sedikit dan tidak menunjukkan
pola kecenderungan seperti daerah ‘normal’ lainnya. Entah
dikarenakan sosialisasi yang kurang intensif, atau karena
kondisi geografis kepulauan yang sangat ekstrim, atau
karena ketersediaan tenaga bidan yang minim, atau
bahkan kolaborasi dari kesemua faktor tersebut.
Data yang tersaji dalam grafik berikut memberi
gambaran pelayanan kesehatan ibu melalui Jampersal
pada tahun 2011. Grafik tersebut merupakan hasil
rekapitulasi penulis atas klaim bulanan yang tercatat di
pengelola Jampersal Dinas Kesehatan Kabupaten
Kepulauan Aru pada tahun 2011.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
29
Pola yang ditunjukkan antara jumlah cakupan K-1,
K-4, persalinan, KF-1, KF-2,dan KF-3 naik turun
menunjukkan tidak adanya ‘
continum of care’
pada
pelayanan kesehatan ibu dan anak. Setiap pelayanan
seakan berdiri sendiri-sendiri, tidak ada kesinambungan.
Hal ini diakui oleh bidan, yang menurut mereka juga
karena memang klaim Jampersal bukan sebagai paket
utuh, tetapi parsial per pelayanan.
Lalu bagaimana dengan klaim untuk transport
rujukan? Nol besar! Bukan karena tenaga bidan di desa-
desa kepulauan tersebut terlalu pintar, tapi lebih
dikarenakan ekstrimnya transportasi yang harus ditempuh
bila merujuk, yang bisa-bisa lebih memperparah kondisi si
ibu.
Akhirnya... tak sampai hati juga rasanya
menunjukkan apa yang ‘seharusnya‘, dan menuntut
mereka melakukannya.
Butuh lebih dari sekedar rasa prihatin untuk
membuat pelayanan kesehatan menjadi ‘ADA’!
 Jelajah Nusantara
30
31
CATATAN PERJALANAN BENJINA
SISI LAIN KEPULAUAN ARU
Benjina, 16 September 2012
Perjalanan kali ini kami berkesempatan menembus
lebih jauh di wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Puskesmas
Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan
‘termudah’ di wilayah ini, menjadi target sasaran.
Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa
ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan
perjalanan sekitar 3-4 jam dari ibukota Kabupaten
Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’
untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547
pulau ini.
Perjalanan kali ini dalam rangka evaluasi
pelaksanaan Jampersal di wilayah ini. Pada kesempatan ini
kami berangkat berdelapan. Tiga orang dari Pusat
Humaniora, seorang dosen Poltekkes Mataram, dua orang
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, serta dua
orang
driver speedboat
milik Dinas Kesehatan yang kami
pinjam. Pada saatnya nanti di wilayah Puskesmas Benjina
Jelajah Nusantara
32
kami ditemani lagi oleh dua orang enumerator yang
berasal dari perawat Puskesmas Benjina sendiri.
Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina,
Kecamatan Aru Tengah, yang berada di pesisir sebelah
barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama
sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk
sekitar 24 desa yang ada di wilayah ini, sedang Puskesmas
Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa, dengan
bentangan wilayah yang cukup luas.
Pertama kali merapat di daratan Benjina, kami
disambut oleh ‘mbak-mbak’ yang sedang bergerombol
menunggu ‘suami’nya bertandang. Kesan awal yang kurang
manis, dan benar-benar menjadi kurang manis pada saat
semua cerita terkuak pada akhirnya. Tapi kali ini kita
simpan sebentar catatan kurang manis itu.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
33
JAMPERSAL DAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
Kunjungan pertama adalah
kulonuwun
ke
Puskesmas Benjina sekaligus untuk
assessment
dengan
seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini. Di
Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima
orang, yang entah mengapa semuanya ditugaskan
berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja. Sama sekali
tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah
kesempatan diskusi dengan salah satu Kepala Dusun,
Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa di desanya tidak
ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang
tenaga dukun bayi.
Puskesmas Benjina
Menurut pengakuan rekan Puskesmas, terdapat 3
Pustu (Puskesmas Pembantu), yaitu di Namara,
Selibatabata dan Fatujuring. Hanya saja yang ada tenaga
perawat hanya di Pustu Selibatabata, dua lainnya masih
 Jelajah Nusantara
34
kosong. Di wilayah Benjina juga ada satu Poskesdes (Pos
Kesehatan Desa), yaitu di Maririmar yang juga tersedia
tenaga perawat laki-laki.
Puskesmas Benjina dikepalai oleh seorang dokter,
yang merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli
daerah, yang rumahnya saat ini berada di Makassar. Saat
ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala bidang di
Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis
lebih sering di Dobo dan Makassar daripada di Benjina.
Selanjutnya kami banyak melakukan penelusuran
ibu hamil-bersalin-nifas yang menggunakan fasilitas
Jampersal. Dalam pelaksanaan penelusuran kami
percayakan pada petugas dari Dinas Kesehatan serta
petugas dari Puskesmas Benjina. Pada wilayah Rumah Kayu
Indonesia atau biasa disingkat RKI, kawasan berpenduduk
paling ramai, kami menemukan fakta sekitar 15 dari 30
nama yang tertera di kohort Puskesmas tidak ada sama
sekali di wilayah dimaksud. Tidak validnya data kohort
untuk klaim Jampersal ini menyebabkan kami melakukan
penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas secara langsung ke
masyarakat dengan tidak bergantung lagi secara penuh
pada kohort Puskesmas.
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang melibatkan
tokoh masyarakat dan tokoh agama, yang dihadiri oleh
pendeta, kepala desa, kepala dusun, kader, dukun bayi,
tokoh wanita serta seorang tokoh pemuda, mereka
mengaku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jaminan
Persalinan atau yang lebih populer disingkat dengan
Jampersal. Mereka
bengong
dan terdiam seribu bahasa
ketika ditanyakan tentang apa itu Jampersal? Dalam
kesempatan lain Kepala Puskesmas mengaku
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kes
menyelenggarakan pertemuan lintas sektor
tiga kali sebulan dengan mempergunakan
Operasional Kesehatan (BOK).
Pada kesempatan diskusi tersebut
agama dan tokoh masyarakat setempat
melontarkan usulan pengadaan pos-pos siag
titik desa. Karena pelayanan kesehatan ibu d
mengandalkan satu titik di puskesmas saja
satu faktor penyulit akses masyarakat di wila
forum diskusi yang sama, Kepala Desa Benjin
kesanggupannya untuk menyediakan tanah
untuk keperluan tersebut. Usulan lain yang m
usulan dari bapak pendeta yang untuk mem
dan penghargaan bagi dukun bayi. Usulan
manusiawi dari masyarakat yang merasa
keberadaan dukun bayi di tengah ketidakters
kesehatan.
hatan
35
secara rutin
ana Bantuan
para tokoh
juga sempat
di beberapa
an anak yang
enjadi salah
ah ini. Dalam
menyatakan
i wilayahnya
enarik adalah
eri perhatian
yang sangat
kan manfaat
diaan tenaga
Jelajah Nusantara
36
Menurut pengakuan Kepala Puskesmas yang
di’amin’kan oleh rekan Puskesmas lainnya, menyatakan
bahwa Puskesmas menurunkan petugas untuk berkeliling
di Posyandu sekali sebulan di setiap wilayah yang
didominasi dengan jalur laut. Jadi, banyak masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas di wilayah ini bersentuhan
dengan pelayanan kesehatan sebulan sekali. Jadi bila sakit
saat baru saja ada kunjungan Posyandu, maka kita harus
bersabar menunggu satu bulan kemudian untuk
mendapatkan pengobatan.
Dalam kesempatan ini kami juga sempat
berkunjung dan berbaur dengan masyarakat di beberapa
lokasi. Setidaknya 7 titik lokasi yang menjadi ampuan
Puskesmas Benjina telah kami datangi, yaitu Desa Benjina,
wilayah RKI-Benjina (Rumah Kayu Indonesia), Desa Gulili,
Desa Namara, Desa Selilau, Desa Fatujuring, dan wilayah
Trans-Maijurung. Menurut masyarakat di lokasi-lokasi
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
37
tersebut, memang mereka bersentuhan dengan petugas
kesehatan sebulan sekali sesuai dengan jadwal Posyandu,
tetapi seringkali juga mundur, sampai pada akhirnya
terlewat pada jadwal bulan berikutnya lagi. Mereka
bercerita dengan tetap menaruh kepercayaan penuh pada
petugas kesehatan, dan bahwa memang menurut mereka
kondisi ini terjadi berada di luar kuasa petugas kesehatan.
Ada sebuah insiden kecil pada saat kami hendak
meninggalkan Desa Gulili pada salah satu kunjungan, di
dermaga seo-rang kakek ber-jalan terbungkuk
menggunakan tongkat hendak melompat ke
speedboat
kami, posisinya sudah duduk di bibir dermaga dengan kaki
hendak menjangkau
speedboat
. Kakek yang sedang sakit
itu mengira kita sedang ada jadwal Posyandu, dan
berharap mendapat pengobatan dari mantri yang
menyertai perjalanan kami. Sungguh tak tertahan hati
menangis merasai rintih dan harapnya. Dan betapa Mbak
Ning, mantri perempuan dari Purwokerto itu begitu telaten
memberi penjelasan sekaligus memupuk harapan si kakek,
dan meyakinkan bahwa dia akan kembali menjumpai kakek
itu. Bersabarlah kek, bersabarlah... entah sampai kapan?
Konfirmasi kami lakukan ke petugas Puskesmas
tentang penjadwalan Posyandu ini, kami mendapat
jawaban bahwa memang jadwal Posyandu keliling itu
rutin, tapi juga tergantung ketersediaan uang. Setidaknya
membutuhkan Rp. 600.000,- sekali jalan untuk tiga sampai
empat hari berkeliling Posyandu di wilayah-wilayah
ampuan Puskesmas tersebut.
Tergantung ketersediaan uang? Sungguh miris
mendengar jawaban ini. Bukannya Kementerian Kesehatan
telah meluncurkan dana BOK ke semua Puskesmas? Yang
Jelajah Nusantara
38
setelah
re-check
ke petugas Dinas Kesehatan menemukan
kenyataan bahwa Puskesmas Benjina menerima dana BOK
sekitar 250 juta. Itu belum termasuk dana operasional
Puskesmas yang berasal dari APBD.
Kita coba berhitung untuk ‘ketersediaan uang’ ini.
Bila dibutuhkan 3 kali perjalanan untuk menjangkau
Posyandu yang memerlukan biaya transportasi laut, yang
sekali perjalanannya membutuhkan biaya Rp. 600.000,-,
maka sesungguhnya kebutuhan per bulan untuk
transportasi laut hanya membutuhkan Rp. 1.800.000,-, dan
dalam setahun hanya pada kisaran Rp. 21.600.000,-. Lalu
dibandingkan dengan kucuran dana BOK yang sekitar Rp.
250.000.000,-? Yang sekali lagi setelah konfirmasi dengan
Dinas Kesehatan penyerapan dana BOK di Puskesmas
Benjina mencapai 100%.
Kebutuhan biaya sesuai uraian di atas adalah untuk
sewa
longboat
dari nelayan. Puskesmas Benjina sendiri
sebetulnya sudah mempunyai
speedboat
sendiri, hanya
saja sudah rusak sejak dua tahun yang lalu. Menurut
keterangan Dinas Kesehatan sempat dirapatkan soal
kerusakan
speedboat
ini dengan beberapa Puskesmas yang
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
39
mengalami hal yang sama. Pada saat pengambilan
keputusan, para Kepala Puskesmas merasa sanggup
memperbaiki
speedboat
nya sendiri tanpa diambil alih oleh
Dinas Kesehatan. Tetapi hasilnya untuk Puskesmas Benjina
sampai saat ini dari dua tahun yang lalu tidak ada
perbaikan sama sekali.
Gambaran lain adalah rencana pengembangan
Puskesmas Benjina menjadi Puskesmas Rawat Inap. Pada
tahun 2006 Pemerintah Propinsi membangunkan gedung
rawat inap yang berjarak sekitar setengah kilo dari
Puskesmas yang ada sekarang. Dan kenyataannya sampai
sekarang, tahun 2012, enam tahun kemudian,
pembangunan gedung yang asal-asalan dan dipaksakan
menjadi mangkrak dan tidak berpenghuni, yang menurut
informasi Kepala Puskesmas Benjina kuncinya baru
diserahkan sekitar bulan lalu dengan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten
Kepulauan Aru juga membangun gedung rawat inap yang
dibangun persis di sebelah gedung yang dibangun
Pemerintah Propinsi. Proses pembangunannya sampai
dengan saat ini sudah mencapai 60%.
Ada beberapa
opsi kebijakan praktis
yang bisa dikem-
bangkan untuk me-
ningkatkan dan atau
menjamin keterse-
diaan pelayanan kese-
hatan di wilayah Ben-
jina. Opsi kebijakan ini
bi-sa dipilih salah satu sebagai se-buah kebijakan yang
Jelajah Nusantara
40
dijalan-kan, atau bisa juga dilaksana-kan secara ber-
samaan. Ter-gantung de-ngan kemam-puan yang ada serta
skala prioritas dari pengambil kebijakan.
Pertama.
Melihat fasitas umum yang ada di desa-
desa wilayah Benjina yang sangat memprihatinkan, maka
bisa dimaklumi jika apa tenaga kesehatan pun akan sangat
manusiawi bila dia menolak untuk ditempatkan di sana.
Maka sudah seharusnya pemerintah daerah mulai
memikirkan ketersediaan sarana pendukung dan fasilitas
umum. Hal ini memerlukan waktu, yang bisa dijadikan
sebagai sebuah langkah jangka panjang.
Kedua.
Memperbanyak frekuensi jadwal
puskesmas terapung keliling. Langkah ini cenderung praktis
dengan melihat ketersediaan sumber daya yang ada.
Hanya diperlukan penambahan biaya operasional sewa
longboat
yang cukup besar sesuai dengan frekuensi yang
diharapkan.
Ketiga.
Pengadaan
speedboat
sebagai kendaraan
operasional. Langkah ini harus disertai pula dengan
pengadaan tenaga teknis awak
boat
untuk menjamin
operasionalisasi puskesmas terapung keliling. Pada opsi
kebijakan ini secara jangka panjang lebih mengirit biaya
operasional daripada opsi sewa
longboat.
DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN DI BENJINA
Pada awalnya Benjina merupakan salah satu
wilayah sasaran transmigrasi di Kepulauan Aru.
Transmigran di sini dengan kekhususan pada dua jenis
mata pencaharian, yaitu nelayan dan petani.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
41
Nelayan berlokasi di pinggiran pantai, sedang
transmigran petani berada jauh lebih ke dalam pulau. Pada
salah satu dusun transmigran petani yang sempat saya
kunjungi, berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari
bibir pantai, dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak
yang disemen dengan kondisi berlubang di sana-sini.
Dahulu, di wilayah ini, di seberang Desa Benjina, di
Pulau Maekor, berdiri beberapa perusahaan perikanan
yang pada saat jaya-jayanya menyerap pekerja sekitar
8.000 orang lebih yang ditempatkan di mess-mess
perusahaan. Pada saat-saat tersebut para transmigran juga
turut berjaya dengan menjadi
supplier
hasil bumi untuk
kebutuhan konsumsi para karyawan, serta
supplier
hasil
perikanan sebagai
core bussiness
perusahaan tersebut.
Perusahaan-perusahaan yang dimodali asing ini
banyak mendatangkan pekerja penangkap ikan beserta
kapal-kapalnya dari Thailand. Kondisi ini menjadikan
kondisi ekonomi pada saat itu menjadi sangat bergairah,
dan memacu berduyun-duyunnya pendatang dari luar
wilayah, termasuk di dalamnya para mbak-mbak yang
menjadi penghibur pelepas lelah nelayan-nelayan Thailand
yang telah bekerja seharian.
Jelajah Nusantara
42
Tak cukup sam-
pai di sini, para
nelayan Thai-
land tersebut
banyak yang
pulang pergi di
wilayah ini,
dengan teng-
gang waktu yang
cukup lama dan
sering, sesuai
dengan kontraknya pada perusahaan. Maka lahirlah
‘kebutuhan-kebutuhan’ baru. Kultur baru ‘kawin kontrak’
pun mulai bermunculan dan bertumbuh.
Seiring berjalannya waktu, pasca krisis moneter
yang melanda republik ini, perusahaan perikanan ini
bangkrut, dan mengurangi pekerjanya secara besar-
besaran. Efeknya sungguh membuat miris, para
transmigran banyak yang pulang kembali ke daerahnya,
karena hasil pertaniannya tidak mampu terserap lagi oleh
perusahaan. Para ‘janda’ Thailand pun banyak ditemui di
mess-mess sekitar perusahaan yang beralih fungsi menjadi
rumah-rumah bedeng dengan kondisi yang jauh dari layak,
yang menurut rekan peneliti senior yang bersama saya
lebih mirip (ma’af) kandang kambing. Kondisi lebih layak
justru ditemui pada tempat tinggal mbak-mbak penghibur,
meski juga tidak terlalu jauh berbeda. Bila Menteri
Kesehatan yang seorang aktivis penanggulangan HIV/AIDS
serta Gender ada di sini, saat ini, tentu akan merasakan hal
yang sama dengan yang kami rasakan, betapa perempuan-
perempuan kita diperlakukan menjadi lebih mirip (ma’af)
tempat sampah di sini.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
43
Saat ini, kamipun masih sering menemui orang
Thailand yang tinggal di sini, yang seringkali berjalan
sempoyongan, mabuk
sopi
(minuman keras khas Aru). Dari
cerita-cerita penduduk dan teman-teman Puskesmas,
banyak orang-orang Thailand yang melarikan diri dan
tinggal di hutan, karena kontraknya telah habis, dan
mereka tidak mau kembali atau dideportasi ke Thailand.
Dalam hati sempat terlintas tanya,
”
Kenapa harus mendatangkan orang Thailand?“
“Kenapa tidak pakai orang kita?”
“Apakah orang kita tidak mampu?”
“Apakah sudah tidak ada pengangguran di
Republik ini?”
CERITA TENTANG MBAK-MBAK DARI JAWA
Sore itu kami berkesempatan
hunting
foto
sunset
di
dermaga dekat lokasi mbak-mbak itu. Kami duduk-duduk
biasa saja bersama mereka, seperti layaknya tetangga, toh
di situ juga berbaur ibu rumah tangga lain beserta anak-
anak. Dari kejauhan terlihat ada kapal penangkap ikan
yang masuk dan mau merapat di perusahaan, seketika
sekelompok mbak-mbak itu berteriak spontan...
“
Horeeeee... kapal dataaang! Kapal dataaaaang!
Bojoku tekooo...”
Teriakan spontan yang membuat kami trenyuh pada
akhirnya, dengan bibir yang tak henti-hentinya mengepul
Jelajah Nusantara
44
asap putih dari rokok yang melekat erat pada sela-sela jari,
mereka bergerombol membunuh waktu. Hampa.
Suwung
.
Tarif
short time
yang berlaku dengan rata-rata Rp.
100.000,-. Kebanyakan tamu yang berkunjung berasal dari
nelayan Thailand. Menurut
driver speedboat
yang kami
bawa,
sempat ditawari dengan promosi diskon, dan
mereka pun bisa banting harga sampai dengan Rp. 30.000,-
saat tidak ada kapal nelayan Thailand yang merapat. Harga
yang cukup murah untuk sebuah harga diri.
Tarif
long time
dipatok seharga Rp. 500.000,- untuk
waktu kebersamaan semalam suntuk sampai dengan pagi
hari. Si Lelaki akan mendapat perlakuan khusus sampai
dengan suguhan sarapan pagi yang dimasak oleh tangan
mbak-mbak itu sendiri. Mengisyaratkan kerinduan mereka
untuk memberi pelayanan selayak suami sesungguhnya.
Yaaah... bisa dibilang seluruh mbak-mbak itu berasal
dari Pulau Jawa. Kata-kata mereka begitu halus saat kita
pun menyapanya dengan sopan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
45
“Nyuwun sewu mbaak, permisi numpang
lewaaat...”
“Oooo... tiyang Jawi tooo? Monggo maaas...”
Sekilas percakapan saat melintas dari dermaga di
sebelah rumah tinggal mereka. Dari jendela terlihat poster
‘
walisongo’
terpampang di sudut kamar mbak-mbak itu.
Isyarat apa lagi yang saya bisa maknai selain kerinduan
mereka untuk kembali dalam kehidupan normal?
Saat ini menurut rekan pejabat dari Dinas Kesehatan
sudah terdeteksi 6 orang mbak-mbak di wilayah itu yang
mengidap HIV/AIDS. Pemeriksaan rutin setiap tiga bulan
sekali dilakukan oleh petugas P2 (Pemberantasan Penyakit)
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, yang
menurut cerita beberapa rekan mereka melakukan
pemeriksaan sekaligus pemakai gratis mbak-mbak itu. Saya
berusaha untuk tidak kaget dan memasang ekspresi datar
saja mendengarnya. Terdiam. Membatu.
Sebuah kunjungan singkat yang memunculkan
banyak pertanyaan besar di kepala! Bagaimana seharusnya
mengantisipasi
culture shock
sebagai dampak dari
industrialisai? Bagaimana berpikir tentang pemerataan
pelayanan kesehatan (
equity
), bila pelayanan saja tidak
tersedia? Bagaimana berkoar tentang jaminan kesehatan
semesta (
universal coverage
), bila lagi-lagi pelayanan
kesehatan dasar saja tidak ada wujudnya? Tentu saja
penyerapan dana hanya akan terserap di wilayah-wilayah
yang pelayanan kesehatannya sudah tersedia, dan pada
akhirnya akan lebih memperparah ketidakadilan yang
sudah subur.
Jelajah Nusantara
46
Saya salah
satu pendukung
gagasan
universal
coverage,
jaminan
kesehatan untuk
semua orang,
tapi...
“saat ini beta su pi
dari tanah Aru,
tapi kenangan
seng hilang dari
ingatan. Suatu
saat beta akan
datang lai... akan
datang lai...“
47
PENGUNGSI EKS TIMOR
Belu, 10 Januari 2011
Akhir tahun kemarin saya sempat diminta Kepala
Puslit untuk mendampingi Pak Bambang Sulistomo (staf
khusus Menteri Kesehatan bidang politik kebijakan
kesehatan) untuk melihat kondisi kesehatan pengungsi eks
penduduk Timor Timur (Timor Leste) di daerah perbatasan.
Tujuan utamanya sih bahasa kerennya untuk
‘
health need assessment’
, karena kabar burung yang
sampai ke pusat menghembuskan berita tak sedap tentang
kondisi kehidupan para pengungsi ini.
Berikut adalah sekilas laporan pandangan mata…
***
Saat ini ada beberapa pengungsian yang
menampung pengungsi eks penduduk Timor Timur yang
menyebar ke seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur, dan bahkan sudah menyebar ke Provinsi lainnya di
Indonesia melalui program transmigrasi. Kebanyakan
pengungsi eks Timor Timur sudah mulai berbaur dengan
Jelajah Nusantara
48
masyarakat setempat, sehingga batasan antara penduduk
lokal dengan penduduk pengungsi mulai menjadi kabur.
Di Kabupaten
Belu, keberadaan
eks pengungsi
Timor Timur ada
sekitar 40.000
jiwa yang terse-
bar di beberapa
daerah. Daerah
sebaran mereka
antara lain terda-
pat di Lakafehan,
Kenabibi, Halibada, Silawan, Tulakadi, Haliwen yang secara
geografis terletak di bagian utara wilayah Kabupaten Belu.
Selain itu mereka juga menempati beberapa daerah di
bagian selatan seperti di daerah Alas, Laktutus, Haekesak
dan Nualain. Disetiap daerah terdapat beberapa
kelompok/koloni pengungsian.
Secara umum di beberapa wilayah, mereka sudah
bertempat tinggal di lingkungan yang relatif tertata rapi.
Satu keluarga menempati satu rumah dengan tanah
berukuran sekitar 15 x 20 meter. Selain bangunan rumah
ada juga tempat mandi, kandang babi atau kambing. Sisa
lahan yang ada digunakan untuk ditanami jagung dan
ketela pohon untuk dikonsumsi dan terkadang dijual di
pasar.
Satu komplek pemukiman yang dihuni oleh paling
tidak 40 rumah tangga dengan anggota rumah tangga
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
49
antara 4 – 6 orang. Beberapa kelompok/koloni
pengungsian ada yang sudah mempunyai tempat ibadah
dan balai pertemuan.
Jalan yang menghubungkan lingkungan tempat
tinggal mereka dengan jalan raya kabupaten yang
memungkinkan mereka melakukan kegiatan sosial dan
ekonomi sudah bisa dilalui oleh motor dan mobil walau
masih belum diaspal. Tapi masih tersisa beberapa
kelompok/koloni pengungsian, karena lokasinya yang jauh
di pedalaman, tidak bisa dilalui dengan mobil ataupun
motor, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Tim
assessment
menemukan di daerah Haliwen ada 3
kelompok/koloni pengungsian yang seperti ini.
Mata pencaharian mereka bermacam-macam.
Sebagian besar adalah mengolah lahan dan tanah tegal
untuk ditanami. Ban-
yak kepala keluarga
diantara mereka yang
bekerja sebagai tu-
kang ojek. Ada yang
berjualan kebutuhan
sehari-hari dan ada
pula yang menjadi
PNS atau TNI.
Secara umum
kondisi kesehatan
pengungsi dalam
beberapa titik yang
didatangi tim
rapid
assessment
cukup
baik. Kendati kondisi
 Jelajah Nusantara
50
hidup sehari-hari cukup memprihatinkan, tapi pengalaman
selama sebelas tahun mengungsi cukup membuat
penduduk baru ini
strugle
dalam menjalani hidup. Dalam
satu bulan terakhir tidak ditemukan satu pun penduduk
pengungsi di lokasi wawancara yang sakit dan atau berobat
ke pelayanan kesehatan. Ibu-ibu ditemukan dengan
kondisi lingkar lengan atas (LILA) yang sangat memadai
(melebihi 23 centimeter). Anak-anak yang meski terlihat
lusuh, tertawa lepas pada saat wawancara berlangsung.
Sorot matanya sangat tajam dan cerdas dalam menjawab
beberapa tes pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang
tim pewawancara.
Kondisi kesehatan lingkungan di pengungsian bisa
dibedakan menjadi dua kondisi yang cukup ekstrem.
Kondisi pertama adalah pengungsi yang berhasil
menempati rumah yang dibangun oleh pemerintah,
dengan syarat pengungsi mampu menyediakan
lahan/tanah sendiri, dengan kata lain pengungsi mampu
membeli sebidang tanah secara mandiri. Untuk kondisi ini
pemerintah membangun rumah dengan dinding separuh
tembok, atap seng, dan di-plester (lantai semen).
Sedang kondisi kedua, pengungsi yang tidak
mampu menyediakan dan atau membeli lahan/tanah
untuk membangun rumah, maka pemerintah hanya
menyediakan bahan bangunan berupa semen, seng, dan
kayu. Sementara pembangunan dilakukan oleh warga
sendiri.
Secara umum, kondisi rumah yang dibangun
langsung oleh pemerintah memiliki sanitasi lingkungan
yang lebih baik dibanding dengan yang dibangun sendiri
oleh para pengungsi, fasilitas pelayanan kesehatan telah
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
51
cukup tersedia dengan jarak yang relatif dekat dan
menjangkau ke seluruh daerah pemukiman pengungsian.
Kecuali untuk beberapa kelompok pemukiman pengungsi
yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari fasilitas pelayanan
kesehatan, tapi akses jalan sama sekali tidak tersedia.
Pemukiman pengungsi jenis ini hanya tersedia jalan
setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Sedang
mobil dan bahkan motor pun tidak bisa melewati. Dalam
beberapa kondisi hujan bahkan harus melewati genangan
air (banjir) setinggi bahu orang dewasa.
Kodisi ini dijumpai tim di daerah pemukiman
pengungsi di wilayah Haliwen, dimana seluruh anak di
lokasi tersebut bahkan tidak bersekolah disebabkan akses
 jalan yang tidak tersedia.
Hampir semua pengungsi memang telah
mendapatkan KTP setempat, hal ini juga yang
Jelajah Nusantara
52
menyebabkan beberapa pengungsi telah memegang kartu
Jamkesmas. Meski demikian tidak semua bisa
mendapatkan fasilitas pembiayaan kesehatan ini.
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan
seorang ibu rumah tangga pengungsi yang berjualan
bensin eceran untuk membantu suaminya yang berprofesi
pengojek mendapatkan fakta harus melahirkan dua kali
dengan kedua-duanya melahirkan di rumah sakit, karena
anak lahir kembar, dengan biaya sendiri sebesar lebih dari
lima ratus ribu untuk setiap kelahirannya. Dalam
pengamatan, kondisi rumah tangga ini tidaklah jauh lebih
baik dibanding rumah tangga pemegang kartu Jamkesmas
yang tinggal persis di sebelahnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Belu didapatkan fakta bahwa
Kabupaten Belu hanya sanggup menanggung 7.000
keluarga non kuota (di luar listing keluarga miskin dari BPS)
untuk Jamkesmas. Artinya bahwa masih tersisa cukup
banyak keluarga miskin di wilayah ini yang belum
terjangkau Jamkesmas.
Dalam akhir laporan, tim assessment
merekomendasikan…
Perlu kerja sama lintas sektor dengan penanggung
jawab masalah sarana/prasarana wilayah untuk
memecahkan masalah aksesibilitas fasilitas pelayanan
kesehatan yang terbentur pada tidak adanyan akses jalan.
Perlunya pembiayaan kesehatan yang menyeluruh
yang mencakup seluruh pengungsi eks Timor Timur,
dikarenakan kondisi yang memang layak masuk dalam
kategori miskin dan sangat miskin.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
53
Dalam upaya memberikan bantuan dan atau
pengentasan pada para pengungsi juga perlu diperhatikan
kondisi penduduk setempat yang kondisinya juga seringkali
tidak jauh berbeda dengan para pengungsi.
Demikian selayang pandang perjalanan akhir tahun
kemarin, semoga sedikit memperkaya pandangan kita
tentang keberadaan saudara-saudara kita di perbatasan.
 Jelajah Nusantara
54
55
WAKATOBI,
SURGA LAUT YANG SEHARUSNYA
MENGINSPIRASI
Baubau, 14 Oktober 2012
Lanscape viewÂ
dari Bukit Benteng
Wakatobi, demikian kabupaten baru pemekaran
Kabupaten Buton ini disebut. Nama kabupaten yang
diambil berdasarkan singkatan nama empat pulau besar
yang ada di wilayah ini, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia, dan yang terakhir serta terjauh
adalah Pulau Binongko.
Jelajah Nusantara
56
Kabupaten yang merupakan salah satu kabupaten
yang masuk dalam kriteria DTPK (Daerah Terpencil,
Perbatasan dan Kepulauan) ini beribukota di Wanci yang
berada di pulau pertama, Pulau Wangi-wangi, yang
merupakan pulau terbesar dan paling ramai dari ke-empat
pulau besar di wilayah ini.
Kabupaten Wakatobi memiliki dunia ‘lain’ yang
begitu menarik bagi wisatawan penggemar
lanscape
bawah laut. Dunia yang merupakan surga bagi penggemar
dunia
diving
ataupun
snorkelling,
atau mungkin bahkan
bagi yang tidak bisa berenang sekalipun. Bagaimana tidak?
Lautan yang mendominasi wilayah kepulauan ini begitu
jernih dan menampilkan spot-spot indah yang cukup
dangkal di beberapa titik. Menampilkan indahnya biota
laut, yang bahkan tanpa kita perlu berbasah-basah dengan
hanya
nangkring
di atas ketinting.
Tomia Dive Centre, salah satu penyedia layanan wisata dasar
laut yang dikelola investor asing.
Wakatobi yang merupakan salah satu destinasi
bawah laut yang sedang mendunia ternyata prestasinya
dalam bidang kesehatan kurang begitu menggembirakan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
57
Wakatobi merupakan salah satu wilayah DBK (Daerah
Bermasalah Kesehatan). Setidaknya Wakatobi menempati
urutan ke-340 dari 440 kabupaten/kota saat
pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM) tersebut dibuat, atau rangking 7 dari 10
kabupaten/kota di Propinsi Sultra.
Dalam bidang pergizian, setidaknya di kabupaten
kepulauan ini didominasi oleh balita stunting (pendek atau
sangat pendek) sebesar 52,67%. Indikator yang dihitung
berdasarkan angka tinggi badan dibanding umur ini
seharusnya tidak boleh terjadi di Kabupaten yang sumber
protein hewani dari ikan begitu sangat melimpah ini.
Masalah gizi lainnya, gizi buruk dan kurang juga masih
cukup tinggi, yaitu 30,21% dari seluruh balita yang ada di
kabupaten ini.
Indikator lain, yang memiliki bobot tinggi dalam
IPKM, juga mempunyai masalah yang cukup berat, baik
pada masalah kesehatan ibu dan anak maupun sanitasi
dan ketersediaan air bersihnya.
 Jelajah Nusantara
58
Propinsi Sulawesi Tenggara dalam IPKM
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
59
JAMPERSAL DI WAKATOBI
Kedatangan kami sebagai tim di kabupaten kepulauan
ini memang sedianya mengemban tugas untuk mengevaluasi
pelaksanaan Jaminan Persalinan (Jampersal) di wilayah ini,
meski juga akhirnya kami membuka mata sedemikian lebar
serta memasang telinga dengan sungguh-sungguh untuk lebih
banyak melihat dan mendengar apa yang menjadikan
kabupaten ini bisa sedemikian terpuruk dalam bidang
kesehatan.
Untuk Jampersal, implementasi kebijakannya di
kabupaten ini kami berani mengatakan bahwa dalam hal
mekanisme pembayaran klaim dan persyaratan jaminan,
Kabupaten Wakatobi merupakan yang terbaik di Indonesia!
Setidaknya kami membandingkan dengan 14 kabupaten/kota
yang kami datangi di tujuh propinsi di wilayah Republik ini.
Bagaimana tidak? Kabupaten kepulauan ini begitu berani
menetapkan (sesuai Juknis) bahwa persalinan yang bisa
dilakukan klaim adalah persalinan yang hanya dilakukan di
fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sebuah keberanian
yang layak mendapatkan apresiasi di tengah minimnya sarana
dan fasilitas kesehatan yang jangkauan wilayahnya cukup
luas.
Untuk pembayaran klaim Jampersal pun, Kabupaten
Wakatobi memberikan seratus persen klaim langsung kepada
pemberi layanan (bidan), tanpa ada potongan atau pajak
apapun. Hal ini tidak terjadi di beberapa kabupaten/kota yang
kami kunjungi, terutama bagi bidan pemerintah (bidan yang
melayani di Puskesmas, Pustu, Poskesdes, dan Polindes).
Biasanya di beberapa wilayah klaim yang tanpa potongan
apapun bisa terjadi hanya pada ‘bidan swasta’ yang memiliki
perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan.
Jelajah Nusantara
60
Mekanisme keuangan yang berlaku di Kabupaten
Wakatobi memang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya
yang kami temui. Di kabupaten ini aliran keuangan Jampersal
tidak perlu mampir dulu ke Kas Daerah. Jadi dari Dinas
Kesehatan langsung kepada bidan pemberi layanan melalui
pengelola Jampersal di Puskesmas.
Kesuksesan dalam manajemen pengelolaan klaim
bukan berarti implementasi kebijakan Jampersal dalam hal
pelayanan menjadi lebih mudah di wilayah ini. Adat budaya
untuk melahirkan di rumah, masih banyaknya jumlah dukun
bayi, serta sulitnya medan serta sebaran penduduknya yang
begitu luas menjadikan tantangan tersendiri bagi petugas
kesehatan dalam memberi pelayanan.
Budaya setempat yang lebih menyukai melahirkan di
rumah cukup merepotkan untuk mewujudkan cita-cita
persalinan di fasilitas kesehatan. Pada akhirnya memaksa
petugas untuk jemput bola! Bila ada ibu hamil yang mau
melahirkan, maka akan dijemput oleh mobil ambulan untuk
dibawa ke Puskesmas. Tidak berhenti hanya sampai di situ,
momennya pun harus tepat! Minimal harus menunggu
pembukaan 7 atau bahkan pembukaan lengkap, atau kalau
tidak masyarakat (ibu bersalin dan keluarganya) akan
nggrundel
karena menunggu terlalu lama di Puskesmas.
Jumlah dukun bayi dan
trust
(kepercayaan)
masyarakat yang begitu tinggi pada dukun tersebut juga turut
menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan.
Kepercayaan yang sedemikian tinggi pada dukun bayi benar-
benar mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah ini.
Masyarakat lebih rela membayar dukun bayi daripada
pelayanan gratis di Puskesmas.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
61
Jangan membayangkan tarif dukun bayi yang
sekedarnya seperti layaknya dukun bayi di wilayah lain. Di
wilayah ini sedemikian tingginya
trust
masyarakat kepada
dukun menempatkan dukun dalam posisi yang sangat prestis.
Untuk wilayah Pulau Binongko saja tarif dukun bayi sekitar
Rp. 400.000,-, sedang di wilayah Pulau Tomia tarifnya
mencapai angka Rp. 900.000,-. Bagaimana dengan tarif dukun
bayi di ibukota kabupaten? Sangat fantastis! Mencapai tiga
kali lipat tarif pelayanan Bidan yang ditanggung oleh
Jampersal. Rp. 1.500.000,-.
KETERSEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN
Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya,
ketersediaan pelayanan kesehatan masih cukup menjadi
masalah di wilayah ini. Untuk wilayah Puskesmas Tomia yang
kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6 desa,
tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis
setiap bidan harus mampu mencover dua desa.
“
Di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup
pak! Apalagi ini kita hanya diberi tiga bidan untuk
enam desa...”
demikian keluh salah satu tokoh
masyarakat.
Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang
melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan
dan bahkan dukun bayi kami juga menemukan beberapa
kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan sarana dan
fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.
Jelajah Nusantara
62
“Saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup
bagus pak, tapi perlu ditingkatkan
lagi, terutama
untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus
dirujuk ke Baubau...”
usul salah satu Kelapa
Lingkungan kepada kami.
Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia
fasilitas pelayanan tranfusi darah. Palang Merah Indonesia
(PMI) sebenarnya sudah berdiri di kabupaten ini, tetapi belum
memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai satu-
satunya Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan
untuk sekedar bank darah. Menurut pengakuan Dinas
Kesehatan sebenarnya sudah tersedia tenaga untuk
pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang masih
belum tersedia.
Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke
Baubau mencapai 11 jam perjalanan dengan kapal reguler
bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya beroperasi sekali sehari.
Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus bersabar dengan
jadwal yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau sewa
kapal sepertinya menjadi hal yang mustahil bagi penduduk
wilayah ini, karena harga sewanya mencapai kisaran di atas
Rp. 10.000.000,- per kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu
hamil dengan faktor penyulit yang dirujuk ke Baubau harus
pass away
sebelum sampai ke tempat rujukan.
Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi
sebenarnya lebih pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi
dengan kapal cepat bisa mencapai tiga sampai tiga setengah
jam perjalanan. Hanya saja memang ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak
selengkap di Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
63
dokter obgyn di RSUD Kabupaten Wakatobi yang dikontrak
selama enam bulan.
Saat kedatangan kami pada hari Rabo (10 Oktober
2012) untuk wawancara dengan dokter obgyn di Wanci,
beliau menyatakan sedang di Kota Baubau karena ada
keluarganya yang sakit. Kami kejar untuk bisa wawancara di
Kota Baubau, beliau mengatakan akan berangkat ke Kota
Makassar. Kami kejar kembali untuk dapat wawancara di
Makassar, beliau menyatakan akan ke Jakarta untuk membeli
obat-obatan. Akhirnya kami dapatkan janji beliau untuk
wawancara di Jakarta hari Senin ini (15 Oktober 2012).
Semoga wawancara tersebut benar-benar bisa berlangsung.
Sebelum kelupaan, di wilayah Pulau Tomia ini, yang
meskipun kepulauan, belum tersedia Puskel Laut (Puskesmas
Keliling) atau Puskes Terapung. Semoga Dirjen BUK (Bina
Upaya Kesehatan) membaca tulisan ini. Meski sebenarnya
sudah ada bantuan dari BUK sebuah Puskel laut untuk
Kabupaten Wakatobi yang saat ini ditempatkan di wilayah
Pulau Binongko, pulau terjauh. Tapi melihat kondisi dan
wilayah yang harus dijangkau, minimal wilayah Wakatobi
memerlukan dua lagi Puskes laut untuk Pulau Tomia dan
Pulau Kaledupa.
PERKAMPUNGAN SUKU BAJO
Di Kabupaten Wakatobi bisa dikatakan didominasi
oleh Suku Buton. Hal ini bisa dimaklumi, karena memang
wilayah ini merupakan salah satu wilayah kekuasaan
Kesultanan Buton. Sedang suku lain yang cukup mewarnai
kabupaten ini adalah Suku Bajo, yang memiliki ciri khas selalu
Jelajah Nusantara
64
menempati wiayah pesisir, dengan membuat bangunan di
atas laut.
Perkampungan Bajo Nelayan Bakti di Desa Mola
Di Kabupaten Wakatobi setidaknya Suku Bajo
menempati tiga dari empat pulau besar yang ada di
kabupaten pemekaran ini. Di Pulau Wangi-wangi sendiri ada
satu koloni yang terdiri dari lima desa, komunitas dengan
jumlah Suku Bajo yang terbesar. Pulau Ke-dua, yaitu Pulau
Kaledupa, setidaknya ada tiga koloni yang bermukim di pesisir
pulau, di sebelah utara satu koloni dan di sebelah selatan
terdapat dua koloni. Pulau ke-tiga, yaitu Pulau Tomia,
komunitas ini membentuk koloni di salah satu pulau di
wilayah Kecamatan Tomia, yaitu di Pulau Onemoba’a. Sedang
Pulau terakhir dari keempat pulau besar di Kabupaten
Wakatobi adalah Pulau Binongko, yang sama sekali tidak
terdapat komunitas Suku Bajo yang bermukim di pesisir pulau
ini.
Ke’khas’an Suku Bajo ini dalam pengamatan kami bisa
menjadi hambatan tersendiri bagi Kabupaten Wakatobi bila
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
65
ingin terlepas sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan, atau
sebut saja sebagai tantangan tersendiri bila kita ingin
berpandangan optimis!
Di Pulau Onemoba’a yang penduduknya didominasi
Suku Bajo, menurut pengakuan bidan pengampu wilayah
tersebut, tidak ada satupun ibu yang bersalin ke tenaga
kesehatan setahun terakhir. Mereka lebih memilih dukun bayi
sebagai penolong persalinan. Kenyataan ini masih ditambahi
dengan kondisi sanitasi lingkungan yang khas perkampungan
nelayan yang buruk, serta ketersediaan air bersih yang cukup
menyulitkan.
Ceria Anak-anak Suku Bajo Bermain di Sore Hari
Fasilitas pelayanan kesehatan sebenarnya sudah
tersedia di tengah-tengah perkampungan Suku Bajo, tapi
trust
belum bisa didapatkan bidan yang masih relatif muda
tersebut. Dalam pengamatan kami yang sempat berbaur di
salah satu kampung Suku Bajo di Perkampungan Bajo Nelayan
 Jelajah Nusantara
66
Bakti, ketersediaan sarana pembelajaran anak-anak pun
sudah tersedia, bahkan menurut petugas dari Dinas
Kesehatan, perkampungan ini sempat dikunjungi Menteri
Kelautan tahun lalu.
Yak, optimisme tersendiri melihat cerianya anak-anak
Suku Bajo bermain di senja itu. Berlalulalangnya muda-mudi
Suku Bajo yang pulang dari kuliah di Universitas
Muhammadiyah setempat membersitkan banyak harap,
semoga bisa membawa perubahan bagi komunitasnya.
Semoga...
Â
67
WAKATOBI KALI KE-TIGA!
Makassar, 24 November 2012
Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan
terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara. Tak
usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja.
Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan
gaya saya. Jadi jangan juga protes dengan bahasanya yang
ngepop, kan sudah saya bilang ini tulisan versi saya!
Ah sudahlah...
Jelajah Nusantara
68
Matahora, Senin, 19 November 2012
Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga -
saya dan dua peneliti muda lain- tiba dan mendarat di
Bandara Matahora, bandara satu-satunya di Pulau Wangi-
wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan Wakatobi.
Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan
dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama
Wings Air yang harus transit dulu di Kota Kendari, ibukota
Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya lihat dari ketinggian
langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya tempat saya
tinggal dan menetap.
Hujan deras menyambut kedatangan kami.
 Alhamdulillah
, hujan rahmat menyertai perjalanan kami
sampai di Hotel kami biasa menginap, Wisata Beach Hotel
di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan kami di
tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang
berbeda dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin
mengikat, kecintaan saya pada Republik ini, kecintaan yang
selalu saja membuat saya terharu pada setiap momen.
Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak
negeri.
Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita
tentang dua orang yang pergi bersama saya, dua orang
peneliti muda perempuan yang sangat istimewa. Ehh...
bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya peneliti
muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun...
Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua
peneliti muda kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
69
Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika Agustiya,
seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti,
seorang anthropolog.
Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan
tidak melulu berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja.
Bidang kesehatan adalah bidang multi dimensi yang berisi
determinan sosial yang sungguh bejibun, dan kami terlahir
untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’.
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih,
humaniora diartikan ”memanusiakan manusia”. Artian
bebasnya adalah menjadikan setiap komponen dalam
bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan,
seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’,
sebuah mesin, sebuah komoditi, atau sebuah angka,
sekedar statistik dengan
bar chart
yang berwarna-warni.
Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho...
***
Wanci, Selasa, 20 November 2012
Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan
berbaur di Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang
dalam perjalanan sebelumnya didapatkan realitas selama
dua tahun terakhir tidak tercatat satupun persalinan di
kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan.
Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah
bersama mereka.
Jelajah Nusantara
70
Tepat pukul sembi-
lan pagi perjalanan
dimulai dari Pela-
buhan Jabal di
Pulau Wangi-wangi
menuju Pelabuhan
Usuku di Pulau
Tomia. Perjalanan
menggunakan ka-
pal
speed
bermesin
tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan
selama kurang lebih 3 jam.
Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal
lengang, hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal
sekitar 40-an orang dengan. Hal ini berbeda dengan
perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat
jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup
selama 3 jam, bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang
berlagak seperti lokomotif tiada henti.
Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari
Pulau Tomia, saya tidak betah dengan kepulan asap yang
sungguh membikin pengap, saya memutuskan untuk
keluar dari
speed
dan nongkrong, berpura-pura gagah,
duduk di atas
speed.
Awalnya cukup mengasyikkan, karena
speed
melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai
ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu
snorkell
saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang
berwarna-warni bersliweran. Si nemo,
clown fish
yang
meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang
bertebaran sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil
yang berenang, melaju pelan, tak terganggu oleh lajunya
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
71
speed.
Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di
atas
speed,
sampai akhirnya
speed
bergera melesat dengan
kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas
speed.
Brrrrrr...!
Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus
bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti
tunggangan dari kapal
speed
menjadi
pompong
, perahu
kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai
jung
atau
ketinting
. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami
melanjutkan perjalanan ke Pulau Lamanggau, tempat
bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang
membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah
Lamanggau.
***
Lamanggau, Rabo, 21 November 2012
Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut
hangat oleh Bapak La Haniu, Kepala Puskesmas
Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas
induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini,
termasuk di dalamnya Suku Bajo yang menempati pesisir
timur pulau ini.
Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi
tercatat hanya sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar
299 jiwa. Jangan salah! Jumlah sesungguhnya jauh lebih
besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka berpindah
tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa
Jelajah Nusantara
72
Lamanggau, Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk
Lamanggau sendiri berkisar 900 ribuan.
Secara administra-
tif Suku Bajo me-
nempati wilayah
yang disebut Laso-
hilo, atau masya-
rakat biasa menye-
but sebagai daerah
bawah. Sedang pen-
duduk asli setempat
menempati wilayah
daratan, atau biasa
disebut daerah atas.
Meski demikian dua
masyarakat ini su-
dah membaur, juga
dalam beberapa
perkawinan.
Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku
Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan
bercengkerama dengan mereka.
***
Onemobaa, Kamis, 22 November 2012
Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di
wilayah ini. Di Pulau ini jumlah tenaga kesehatan yang ada
hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk Kepala
Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
73
dengan basis sanitarian.
Satu orang lagi juga seorang
sanitarian, PTT dari pusat.
Sedang sisanya adalah
perawat. Dari kelima tenaga
kesehatan yang ada
tersebut, 4 orang tidak
tinggal di tempat, mereka
tinggal di pulau seberang, di
Waitii. Yang tinggal di
Lamanggau hanya tenaga
sanitarian yang PTT pusat.
Untuk sarana ba-
ngunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah
Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun
gedung Puskesmas Induk Onemobaa yang representatif
secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang diresmikan oleh
Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama
sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi
Puskesmas berada di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh
dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur
pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang
penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali
tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi
Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘
Wakatobi Dive
Resort
’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek
wisata di Onemobaa.
Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun
mangkrak tidak ditempati. Karena kalaupun ditempati,
siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan
perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas
Jelajah Nusantara
74
kesehatan Puskesmas lebih
memilih Puskesmas Pemban-
tu (Pustu) Lamanggau untuk
berkantor. Karena meski
tempatnya juga tidak stra-
tegis, berada di ujung desa,
tetapi relatif lebih mendekati
permukiman penduduk.
Dalam sebuah ke-
sempatan, kami disertai oleh
Kepala Puskesmas, salah
satu staf Puskesmas, serta
satu staf Dinas Kesehatan,
mencoba untuk berkunjung ke Puskesmas Onemobaa.
Kami harus naik
pompong
untuk mencapai lokasi
Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau.
Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15
menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘
Wakatobi Dive
Resort
’.
Memasuki wilayah
resort
ini harus minta ijin pada
pihak manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan
ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke Puskesmas.
Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapiiiiiiiiii!
Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin
masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh
untuk proses perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau
bercerita banyak tentang
resort
ini. Saya masih sakit hati!
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
75
Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas
Induk Onemobaa secara fisik masih sangat bagus dan
terawat. Tiga tahun tanpa dihuni hanya meninggalkan jejak
tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya.
Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun
rumah dinas yang sangat megah. Berkesan mewah dan
berkelas. Rumah panggung yang secara keseluruhan
dibangun dengan bahan kayu yang di-
 finishing
dengan
plitur berkilat. Mewah dan berkelas.
Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal
paham dengan pikiran para pengambil kebijakan yang
memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa di
wilayah ini.
Jelajah Nusantara
76
Mungkin mereka tidak tahu? Siapa bilang?!!
Bukannya Gubernur yang meresmikannya? Bupati juga
pasti turut hadir saat itu.
Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan,
maka bisa dipastikan tidak pernah akan ada penduduk
yang akan sampai di sini. Kalaupun ada yang sampai,
mereka sudah akan kering di pintu gerbang
resort.
***
Usuku, Jum’at, 23 November 2012
Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur
di Perkampungan Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan
dua peneliti muda yang bersama saya, untuk tinggal,
setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk lebih
lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan
menggali lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku
Bajo di bidang kesehatan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
77
Mereka yang akan menggali tentang bagaimana
ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya
survive
dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik-
adik peneliti saya itu akan menggali peran
pangulleh,
dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun
peran
sando,
dukun bayi orang asli Lamanggau dalam
menggantikan peran
pangulleh
yang sudah mulai tua.
Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti!
Jelajah Nusantara
78
79
PERAMPUAN DAN ODONG-ODONG
Mataram, 08 Oktober 2012
Puskesmas Perampuan adalah salah satu dari dua
puskesmas yang mengampu wilayah Kecamatan
Perampuan. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada
kecamatan yang berlokasi di selatan Kota Mataram (ibu
kota Propinsi Nusa Tenggara Barat). Puskesmas
Perampuan sendiri merupakan salah satu Puskesmas di
bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat.
Puskesmas Perampuan saat ini dipimpin oleh
seorang perempuan, Ibu Andangsari, S.Si., Apt.,
M.Farm.Klin, seorang apoteker jebolan Universitas
Hasanudin yang bertangan dingin dalam pengelolaan
Puskesmas. Perempuan yang datang pada bulan Februari
2012 di Puskesmas Perampuan ini memulai aksinya
bersama-sama dengan petugas Puskesmas sebagai sebuah
teamwork
efektif per Maret 2012.
Banyak perubahan yang telah dilakukan oleh
Puskesmas Perampuan, termasuk di dalamnya upaya
pemberdayaan. Pemberdayaan yang tidak hanya berhenti
pada petugas kesehatan saja, tetapi meluas sampai kepada
Jelajah Nusantara
80
dukun bayi, tukang ojek, serta komponen masyarakat
lainnya.
Puskesmas Perampuan, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa
Tenggara Barat
Dukun Bayi dan Tukang Ojek
Seperti kabupaten lainnya di wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Barat, di Kabupaten Lombok Barat masih banyak
terdapat dukun bayi yang masih beroperasi aktif, tidak
terkecuali di wilayah Puskesmas Perampuan. Hal ini
seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi petugas
kesehatan, terutama dalam upayanya meningkatkan
persalinan melalui pertolongan tenaga kesehatan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
81
Dengan banyaknya dukun bayi yang masih
beroperasi, Puskesmas Perampuan berusaha keras untuk
mencari cara meminimalkan persalinan oleh non tenaga
kesehatan. Hasil kesepakatan di Puskesmas menarik
sebuah kesimpulan akhir pada suatu cara untuk pemberian
insentif bagi dukun bayi yang mau merujuk (mengantar)
ibu hamil yang akan bersalin ke tenaga atau fasilitas
kesehatan.
Meski sederhana,
ternyata langkah ini tidak
begitu saja mudah dite-
rapkan. Bagaimana tidak?
Kota Mataram, sebagai
tetangga berhimpitan
dengan wilayah Puskes-
mas Perampuan, memilih
strategi yang sama. Hanya
saja Puskesmas di wilayah
Kota Mataram memberi
insentif yang mencapai
angka Rp. 50.000,- per ibu
bersalin yang dirujuk oleh
dukun bayi. Strategi yang diterapkan di Puskesmas di
wilayah Kota Mataram ini terbukti efektif menyedot
perhatian dukun bayi, bahkan para dukun bayi yang
sebenarnya masuk dalam wilayah kerja Puskesmas
Perampuan.
Dengan besaran angka pada kisaran tersebut, tentu
saja Puskesmas Perampuan yang sederhana ini tak akan
mampu menandinginya. Maka Puskesmas Perampuan
berhitung dengan cermat dengan memperhatikan faktor
Jelajah Nusantara
82
selisih biaya transportasi antara Puskesmas Perampuan
dan Kota Mataram. Hingga munculah angka Rp. 25.000,-
per kali rujukan ibu bersalin oleh dukun bayi. Besaran
angka ini adalah riil
take home pay
yang diterima oleh
dukun bayi, riil penerimaan bersih. Penerimaan bersih? Ya
penerimaan bersih, karena transportasi ditanggung oleh
Puskesmas Perampuan. Bagaimana bisa? Di sinilah cerita
pemberdayaan lainnya dimulai. Pemberdayaan tukang
ojek.
Puskesmas Perampuan menggandeng ‘Tukang
Ojek’ setempat untuk masalah transportasi rujukan ibu
bersalin ke Puskesmas. Tukang ojek yang biasa mendapat
tarif normal Rp. 5.000,-, dihargai Rp. 10.000,- oleh
Puskesmas, dengan syarat Tukang Ojek yang sudah
teredukasi tersebut turut siaga setiap saat untuk
melakukan rujukan ke Puskesmas. Simbiosis mutualisme
yang cukup manis dilakukan.
Tukang ojek yang dilibatkan dalam proses siaga ini
sudah cukup teredukasi. Tukang ojek tersebut bisa melihat
atau mendeteksi segala sesuatu tentang ibu hamil yang
menjadi tanggung jawabnya dari stiker kehamilan P4K
(Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi) yang ditempel di pintu rumah ibu hamil yang
bersangkutan dipasang oleh Bidan Puskesmas.
Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, untuk
menjalin hubungan yang lebih baik dengan dukun bayi,
Puskesmas juga memberikan bingkisan sederhana saat hari
lebaran. Selain itu Puskesmas Perampuan juga
memberikan
award
bagi dukun bayi yang melakukan
rujukan terbanyak. Tentu saja ini sebuah langkah menarik
untuk membangun motivasi dukun bayi, bukan masalah
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
83
materi yang diberikan, tetapi lebih kepada penghargaan
dan pengakuan ‘petugas resmi pemerintah’ kepada
mereka. Sebuah langkah yang humanis, me’manusia’kan
kembali manusia.
Sebutir Vitamin yang Menggerakkan
Sudah sangat jamak bila partisipasi masyarakat
(baca; ibu dan balita) di Posyandu sudah semakin menurun
dari tahun ke tahun, dari hari ke hari. Kondisi ini semakin
parah pada balita dengan usia 2 (dua) tahun ke atas yang
merasa imunisasi sudah tuntas dilakukan, tidak ada lagi
gunanya datang ke Posyandu yang cuman hanya untuk
penimbangan saja. Tidak ada lagi sesuatu yang menarik
dilakukan di Posyandu.
Solusi untuk men-
sweeping
sasaran balita
door to
door,
dari rumah ke rumah, memang dirasa cukup efektif,
tetapi menimbulkan konsekuensi yang menyita cukup
banyak sumber daya Puskesmas. Sementara pelayanan di
Puskesmas harus tetap berjalan. Bila
sweeping
dilakukan
setiap kali, setiap bulan, tentu saja akan menjadi masalah
tersendiri bagi Puskesmas.
Di wilayah Kabupaten Lombok Barat sendiri
sebenarnya ‘Pekan Penimbangan’ dilakukan sebanyak 4
(empat) kali selama setahun. Pekan penimbangan
dilakukan pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan
November. Dalam masa pekan penimbangan ini bila ada
balita yang tidak hadir di Posyandu, maka hukumnya
‘wajib’ dilakukan
sweeping
untuk pencapaian cakupan D/S
yang maksimal.
Jelajah Nusantara
84
Konsep Posyandu sendiri sebenarnya juga
menuntut partisipasi masyarakat untuk datang ke Pos
Pelayanan. Konsep Posyandu seharusnya tidak dengan
memanjakan masyarakat dengan petugas yang
mendatangi
door to door
. Di sinilah letak ujian
‘pemberdayaan’ masyarakat oleh petugas kesehatan yang
sebenar-benarnya. Karena Posyandu di wilayah Puskesmas
Perampuan angka partisipasinya cukup rendah, bahkan di
wilayah Desa Trong Tawa seringkali
sweeping
yang harus
dilakukan mencapai lebih dari 50% sasaran. Tentu saja
konsekuensi yang cukup berat. Meski untuk upaya
sweeping
ini petugas dibantu oleh kader Posyandu
setempat.
Puskesmas Perampuan menyadari pentingnya
Posyandu, yang sekaligus Posyandu menjadi sangat
penting sebagai
entry point
atau pintu masuk bagi masalah
lainnya terkait balita, yaitu gizi kurang maupun gizi buruk.
Dalam sebuah pertemuan mini lokakarya rutin di
Puskesmas, tercetuslah ide untuk memberikan vitamin
bagi balita yang datang ke Posyandu. Diharapkan dengan
hal tersebut, ada ‘sesuatu’ yang bisa menarik ibu dan
balitanya ke Posyandu. Dengan tujuan besarnya adalah
mengurangi
sweeping.
Langkah kecil ini terlihat biasa saja, hanya
memberikan balita ‘sebutir’ vitamin, tapi dampaknya
sungguh luar biasa. Trend cakupan balita yang datang dan
ditimbang di Posyandu meningkat drastis, dan stabil pada
kisaran 90% ke atas, yang artinya
sweeping
untuk
memenuhi kewajiban penimbangan untuk seluruh balita
hanya menyisakan pekerjaan yang tidak mencapai 10%
dari total sasaran.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
85
Dari diagram di atas terlihat trend cakupan D/S yang
cenderung mendekati angka 100% meski tidak sedang
pada masa ‘Pekan Penimbangan. Sedang secara detail
berdasarkan angka absolutnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel Cakupan Posyandu (D/S) di Wilayah Puskesmas
Perampuan, Kabupaten Lombok Barat Tahun 2012
Bulan
(Tahun 2012)
Sasaran Riil
(S)
Balita Datang &
Ditimbang (D)
D/S
Januari 2.966 2.810 94,74%
Februari 2.942 2.942 100%
Maret 2.975 2.743 92,2%
April 2.965 2.726 91,94%
Mei 2.924 2.909 99,49%
Juni 2.921 2.822 96,61%
Juli 2.930 2.820 96,25%
Agustus 2.939 2.924 99,49%
September 2.957 2.922 98,82%
Sumber: Puskesmas Perampuan
Jelajah Nusantara
86
Angka di atas merupakan rekapitulasi dari seluruh
Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan yang
rekapitulasinya dilakukan sendiri oleh penulis dari laporan
kegiatan Posyandu.
Katanya Puskesmas Perampuan bukan tergolong
Puskesmas kaya? Kok bisa menyediakan vitamin tambahan
untuk Posyandu? Berapa sih kebutuhan biayanya? Dengan
hanya ‘sebutir’ vitamin, maka sebenarnya kebutuhan
untuk menarik minat balita ini tidak banyak.
Puskesmas membeli vitamin merk Fitkom dalam
botol yang berisi 30 butir yang di pasaran dalam kisaran
harga Rp. 15.000,-, yang karena pembelian dalam jumlah
besar Puskesmas Perampuan bisa mendapatkannya
dengan harga Rp. 8.500,- per botolnya. Dengan sasaran
dalam kisaran 3.000 balita, maka kebutuhan per bulan
mencapai Rp. 850.000,-. Puskesmas memanfaatkan dana
BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) untuk pembelian
vitamin ini.
“...untungnya ada BOK pak. Kalau tidak ada BOK
puskesmas tidak bisa bergerak!”
kata Kepala Puskesmas
Perampuan.
Sebuah pemanfaatan dana BOK yang efektif
dan sesuai dengan peruntukannya.
Dalam prakteknya di lapangan, pembagian vitamin
ini juga dibarengi pembagian sirup vitamin Vical. Vitamin
yang ini merupakan vitamin standar yang dibagikan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat untuk seluruh
Posyandu di wilayahnya.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
87
“Setelah minum
vitamin di Posyandu,
anak saya makannya
jadi kuat Bu. Dimana
sih bu belinya vitamin
itu (Vical)? kok saya
mau membeli di
apotek tidak ada...”
tanya salah seorang
ibu balita yang ikut datang ke Posyandu pada petugas yang
mendampingi pelaksanaan Posyandu.
Efek domino ini tidak berhenti sampai di situ saja.
Saat ini di wilayah Puskesmas Perampuan telah terbebas
dari balita gizi buruk maupun gizi kurang. Sebuah kondisi
yang pada awal tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya
sulit ditemui, yang pada akhirnya memaksa Puskesmas
mengalihkan anggaran yang sebelumnya dianggarkan
untuk penanggulangan gizi kurang/buruk menjadi
anggaran untuk keperluan lainnya.
Dalam kesempatan lain, Kepala Puskesmas juga
berusaha memenuhi adanya 3 (tiga) jenis petugas yang
hadir di Posyandu, untuk menjamin bahwa Posyandu
adalah benar-benar Pos Pelayanan ‘TERPADU’. Tiga
petugas itu terdiri dari komponen bidan, perawat dan
petugas gizi. Hal ini juga lah yang mampu membuat
masyarakat yang datang membawa balitanya merasa
terperhatikan, kesehatan anaknya benar-benar dipantau
secara baik, dan konsultasi kesehatan bisa benar-benar
berjalan dan dilakukan.
Jelajah Nusantara
88
Untuk memperbaiki pencatatan dan pelaporan
Posyandu, Puskesmas Perampuan juga melakukan
perubahan form standar dari Dinas Kesehatan. Proses
penyusunan form baru ini mengadopsi dari beberapa form
laporan standar yang digabungkan menjadi satu untuk
memudahkan proses pencatatannya. Langkah yang
demikian ini dipikirkan dan dibuat bersama-sama saat
rapat rutin Puskesmas.
Cerita manis soal Posyandu ini bukannya mulus
tanpa masalah. Saat ini Puskesmas sedikit kelimpungan
karena hampir 70% bidannya sedang sekolah, sehingga
memerlukan manajemen yang cukup merepotkan. Hal ini
juga masih ditambah dengan masalah Posyandu yang
terkait masalah politis, dengan akan dimulainya babak
baru pergantian kepala desa. Upaya kesehatan, sebuah
upaya yang seringkali menemui kendala non teknis, yang
seringkali justru tidak berhubungan dengan hal teknis
kesehatan itu sendiri.
Mini Lokakarya yang Diperluas
Banyaknya kemajuan yang dicapai Puskesmas
Perampuan tidaklah berarti bahwa tim Puskesmas bekerja
sendirian. Hal ini juga terkait dengan dukungan dari banyak
pihak di luar ‘orang’ kesehatan. Pelibatan sektor dan pihak
lain dimasyarakat juga tak luput dari perhatian.
Pada bulan Juli 2012, Puskesmas Perampuan
berinisiatif meluaskan keterlibatan banyak pihak dalam
mini lokakaryanya. Tercatat ada Dikpora (Pendidikan,
Pemuda dan Olah Raga) Kecamatan, PLKB (Petugas
Lapangan Keluarga Berencana), tokoh masyarakat, tokoh
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
89
agama, kepala desa serta kader, yang jumlahnya mencapai
80 orang.
“Sebuah mini lokakarya terbesar yang pernah
diselenggarakan di wilayah Lombok Barat
,” aku
staf petugas Dinas Kesehatan yang berkesempatan
mensupervisi mini lokakarya tersebut.
Dalam mini lokakarya ini dihasilkan beberapa
kesepakatan yang diharapkan dapat memberikan dampak
sustainabilitas dari gerakan perubahan yang telah dan
sedang dilakukan. Di antaranya adalah mengaktifkan
kembali desa siaga, yang didalamnya mengatur
kesepakatan terkait pemetaan dan pembagian pekerjaan.
“Kami bersepakat membagi pekerjaan.
Puskesmas melakukan apa, desa melakukan apa,
kader melakukan apa...”
kata Kepala Puskesmas.
Dalam forum yang sama juga dilakukan upaya
alternatif pembiayaan operasional Posyandu dengan
melakukan pemetaan calon-calon donatur yang ada di
wilayah setempat. Selain itu juga disepakati untuk
mengaktifkan kembali pola lama jimpitan. Jimpitan berupa
urunan segenggam beras atau kacang hijau, yang semua
peruntukkannya untuk operasional Posyandu. Kacang hijau
akan diolah menjadi bubur untuk PMT (Pemberian
Makanan Tambahan), dan beras akan dikumpulkan untuk
biaya operasionalnya.
Terakhir adalah ide dari Puskesmas Perampuan
yang juga dilontarkan di forum tersebut, yaitu pengadaan
odong-odong (kereta kelinci), untuk menarik dan tetap
mempertahankan partisipasi masyarakat, terutama balita,
di Posyandu. Saat ini sedang dihitung dan diupayakan
Jelajah Nusantara
90
kebutuhan biayanya, yang diprediksikan eksekusi
pelaksanaannya pada akhir bulan November atau awal
Desember tahun ini.
Ahh... ga sabar rasanya ingin bisa segera naik odong-
odong ke Posyandu...!
91
GADO-GADO ALA SAMPANG!
Sampang, 28 Mei 2012
Pagi ini kembali lagi kita kupas beberapa hal terkait
Kabupaten Sampang untuk memetakan
track recordÂ
yang
sudah dan akan dilakukannya untuk mencoba
membawanya keluar dari dasar keterpurukan ranking
IPKM di Propinsi Jawa Timur.
Jelajah Nusantara
92
Seperti telah beberapa kali dituliskan, bahwa Kabupaten
Sampang adalah kabupaten DBK yang menjadi penghuni
dasar peringkatan IPKM di Propinsi Jawa Timur, yang data
komparasinya dengan ranking satu Jawa Timur (Kabupaten
Tulungagung) bisa dilihat pada dua grafik berikut;
Paparan data tersebut bersumber pada data survey
Riskesdas pada tahun 2007. Pada saat ini, saya sangat
berkeyakinan data tersebut telah berubah, kalau saya tidak
boleh berlebihan dengan mengatakan melonjak drastis.
Atmosfir yang saya rasakan langsung di Kabupaten
Sampang sangat positif, antusiasme para petugas
kesehatan untuk memberikan yang terbaik sangat kentara.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
93
Hal ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan
berdasarkan pengakuan masyarakatnya.
Good Governance
Dalam era desentralisasi dan keterbukaan
seringkali para penggiat pemerintahan mendengung-
dengungkan jargon
good governance,
di Kabupaten
Sampang
good governance
bukan sekedar jargon,
setidaknya di Dinas Kesehatan. Perbaikan dari sisi
administrasi dan manajerial begitu sangat terasa. Tidak
hanya berdasarkan pengakuan
policy maker
di level Dinas
Kesehatan saja, tapi setidaknya hal tersebut dirasakan oeh
bidan sebagai pelaksana sekaligus sasaran kebijakan, yang
juga dirasakan juga oleh masyarakat sasaran secara
langsung.
Paling cepat proses klaim dari seluruh
kabupaten/kota yang saya tahu.
“Pastikan (ibu hamil) lahir ke kamu (bidan),
pastikan tidak mati, jadi saya akan memastikan
pembayarannya...”
Dalam sebuah diskusi dengan para bidan yang
terlibat dalam Jampersal, rata-rata bidan mengungkapkan
bahwa proses pencairan klaim dana Jampersal sangat
cepat. Mereka mengaku proses tersebut jauh lebih cepat
dibanding dengan ‘saudara-saudara’ lainnya di wilayah
Kabupaten lainnya di Pulau Madura. Bahkan untuk proses
pencairan dari BPS (Bidan Praktek Swasta) yang melakukan
PKS (perjanjian kerja sama) dengan Dinas Kesehatan
proses bisa selesai dalam satu hari. Sebuah capaian
good
Jelajah Nusantara
94
governance
yang tidak pernah saya jumpai di banyak
wilayah manapun di pelosok negeri ini yang saya datangi
khusus untuk pengelolaan Jampersal.
Tata kelola yang menarik lainnya adalah kemauan
pemerintah setempat untuk memberi pelayanan terbaik
bagi warganya. Hal ini direalisasikan dengan pengadaan
rumah singgah bagi masyarakat Kabupaten Sampang yang
sakit dan memerlukan rujukan sampai ke tingkat propinsi,
rawat inap di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya.
Disediakan ambulan sampai ke lokasi, dan juga disediakan
rumah singgah untuk para pengantar atau penunggu
pasien. Rumah tunggu yang beralamat di Dharmahusada
Gang 1 Nomor 17 tersebut selain menyediakan fasilitas
akomodasi juga menyediakan konsumsi untuk 2 (dua)
orang penunggu per pasien.
Banyak Bicara Banyak Kerja
Berbeda dengan jargon yang berhubungan dengan
kinerja yang selalu diucapkan untuk memotivasi, yaitu
‘Sedikit Bicara Banyak Kerja!’. Hal ini tidak berlaku untuk
petugas kesehatan di Kabupaten Sampang, setidaknya di
wilayah Puskesmas Robatal.
“
Banyak bicara banyak kerja...”
demikian jargon
yang ditekankan oleh Totok Sudirman, selaku Kepala
Puskesmas Robatal kepada para petugas kesehatan di
jajarannya.
Pendekatan jargon ini yang coba diterapkan dalam
keseharian pelaksanaan tugas bukannya tanpa sebab.
Berdasarkan data profil tahun 2011, dari seluruh penduduk
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
95
di Kabupaten Sampang yang berjumlah 803.866 jiwa,
sebanyak 86% tidak sekolah, tidak tamat SD, maupun
tamat SD. Dengan tingkat pendidikan yang demikian maka
media sosialisasi maupun promosi yang berisikan tulisan
bisa dibilang menjadi kurang efektif, kalau tidak mau
disebut sia-sia.
Budaya masyarakat kita cenderung pada budaya
oral (percakapan) daripada budaya baca, apalagi dengan
tingkat pendidikan yang mayoritas lulusan sekolah dasar ke
bawah. Sudah tentu penyebarluasan informasi yang
berupa buku panduan, leaflet, maupun baliho yang besar
sekalipun, akan dianggap sebagai angin lalu.
Pendekatan paling efektif adalah ‘banyak omong’.
Pendekatan penyampaian informasi yang
getok tular
dirasa paling efektif untuk dilakukan. Untuk itu petugas
kesehatan yang jumlahnya terbatas sudah tentu tidak bisa
bergerak sendiri, kerja sama dengan pak
klebun,
mbah
modin, kader dan tokoh masyarakat lainnya menjadi
mutlak diperlukan.
Community Empowerment
Dukungan tokoh masyarakat ini sangat nyata di
Sampang. Setiap akan dilakukan kegiatan Posyandu,
speaker
di Masjid atau di beberapa tempat pelaksanaan
Posyandu yang sudah ada swadaya pembelian
speaker
akan selalu berkumandang seruan untuk para sasaran.
Momen lain yang sering digunakan sebagai media
cangkrukan
info kesehatan adalah forum
muslimatan,
forum
pengajian yang menjadi kegiatan umum bagi
masyarakat muslim Madura yang cenderung agamis.
Jelajah Nusantara
96
Di sisi lain, para tokoh masyarakat yang menjadi
penggiat menjadi marketing hebat dalam menyarankan
para ibu hamil untuk bersalin hanya ke bidan. Hal ini
disertai dengan keikhlasan mengantar ibu hamil dan
melahirkan ke bu bidan secara ber’jamaah’, bisa dengan
cara digotong, ataupun sekedar naik motor bila lokasi jauh.
Penggiat lain yang berada di jajaran pemerintahan
desa ikut membantu menyiapkan kelengkapan persyaratan
administrasi bagi warga sasaran. Sudah bukan rahasia
umum bahwa masyarakat Madura banyak yang tidak
mempunyai KSK (Kartu Susunan Keluarga) atau KTP (Kartu
Tanda Penduduk). Untuk keperluan tersebut,
Klebun
(lurah) bersedia di’ganggu’ kapan saja, 24 jam, untuk
pengurusan Surat Keterangan Domisili sebagai pengganti
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
97
KSK atau KTP untuk kelengkapan persyaratan untuk
mendapatkan Jampersal atau Jaminan Kesehatan lainnya.
Strategi-strategi ini terbukti efektif. Dengan
keberadaan jumlah dukun bayi yang mencapai 516 dukun,
hampir dua kali jumlah bidan yang 'hanya' mencapai 314
bidan (184 bidan PNS, sisanya bidan praktek swasta), ibu
hamil yang melakukan persalinan tidak ke tenaga
kesehatan hanya mencapai 5%. Capaian yang sungguh
menjadi prestasi tersendiri bila melihat situasi dan kondisi
yang ada.
Strategi lainnya adalah pembentukan ‘bagas’
(pembantu petugas). Bagas sendiri diambil dari para kader
yang dinaikkan derajatnya dengan insentif sekedarnya dari
bidan desa. Berdasarkan pengakuan bagas dalam diskusi,
ada yang berinisiatif untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Yang telah terrealisasi adalah menghimpun
‘jimpitan’ Rp. 1.000,- perkali datang ke Posyandu, selain
juga menghimpun dana donatur untuk membantu
pelaksanaan Posyandu. Saat ini di salah satu Posyandu di
wilayah Puskesmas Batulenger telah berhasil mempunyai
kas mencapai tujuh juta, yang juga dikelola sebagai
‘simpan pinjam’ untuk anggota Posyandu yang
memerlukan biaya saat sakit.
Sebuah jalinan emosi yang telah terjalin cukup kuat
antara petugas (bidan) yang bekerja penuh keikhlasan
dengan masyarakatnya...
"bu bidan itu semuanya baik-baik pak, gak ada
yang sadis..."
"bu bidan itu suka memakai kata-kata... 'gini
sayang... gini sayang...', gitu paak!”
Jelajah Nusantara
98
"kalau jam 6 pagi atau jam 3 sore di rumah
Bidan itu seperti rumah sakit pak, saking sukanya
masyarakat dengan bidan..."
"bu bidan itu lebih hapal siapa saja ibu yang
hamil di wilayahnya daripada saya yang jadi
kadernya pak..."
"bu bidan itu tetap melayani dengan baik pak,
meski kadang hanya dibayar dengan jagung,
kacang atau bawang..."
Apalagi yang bisa saya katakan?
ghirah
itu telah
saya rasakan... telah saya temukan di sini, Sampang.
99
PUSKESMAS DELIVERY
UNTUK METROPOLIS
Surabaya, 16 Mei 2009
Melihat kondisi yang telah berjalan selama puluhan
tahun perjalanan pelayanan kesehatan yang dilakukan
pemerintah, kita tidak bisa menutup mata memang telah
menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan
penduduk, tapi bila dibandingkan dengan peningkatan
derajat kesehatan yang dicapai negara-negara di dunia
atau negara tetangga di Asia Tenggara, kita jauh tertinggal.
Menurut Yusanto (1995), di Indonesia dipekirakan
setiap saat terdapat 15% sampai 20 % penduduk yang sakit
dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian
banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan
medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20 - 30 % saja yang
dapat dilayani, sementara penduduk lain yang lebih
banyak sekitar 85 %, yang tidak sakit dan tidak sedang
mencari obat, malah tidak mendapat perhatian.
Dari kondisi tersebut jelas sekali ketimpangan yang
terlihat antara penduduk yang kontak dengan institusi
kesehatan dengan yang tidak kontak dengan institusi
kesehatan. Artinya dana yang dianggarkan oleh
 Jelajah Nusantara
100
pemerintah untuk
sektor kesehatan
tersedot sebagian
besar hanya untuk
1 - 2 % persen
pendu-duk, se-
dang sisanya yang
tidak sakit ter-
abaikan, tidak ikut
menikmati ang-
garan yang diper-
untukkan bagi ke-
sehatan seluruh
penduduk. Sebu-
ah keadaan yang
timpang dan ku-
rang menyentuh
rasa keadilan.
Dipandang
dari segi ekonomi, upaya kesehatan yang menekankan
penyembuhan penyakit (kuratif/rehabilitatif) pada
umumnya lebih mahal, karena banyak menggunakan
teknologi kedokteran hilir (bisa jadi yang modern dan
canggih). Pelayanan kesehatan yang demikian itu sering
dianggap sebagai pengeluaran konsumtif dan bukan
sebagai investasi produktif.
Inovasi Pelayanan
Dalam sektor perdagangan swasta komersil, kita
tidak asing lagi mendengar istilah delivery service atau
layan antar. Produsen mendatangi atau memberikan jasa
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
101
layanan pada konsumen langsung di tempat konsumen
berada, entah di rumah, di kantor, dimanapun konsumen
membutuhkan. Bukan mustahil metode delivery service ini
diterapkan di institusi kesehatan, termasuk Puskesmas.
Hal ini sebenarnya termasuk konsep sederhana,
yang telah dipahami dan dilakukan oleh tenaga kesehatan
kita, bukan pada saat mereka bekerja di Puskesmas, tapi
pada saat mereka masih di bangku kuliah. Entah sektor
pendidikan kesehatan yang gagal, atau mahasiswa
kesehatannya yang tidak memahami proses pembelajaran
atau bahkan mereka lupa.
Dibangku kuliah, para calon tenaga kesehatan ini
sudah dilibatkan secara tidak langsung ikut berpartisipasi
di dalam pembangunan kesehatan. Mereka diterjunkan
langsung ke masyarakat melalui ajang PKL (Praktek Kerja
Lapangan), PBL (Praktek Belajar Lapangan), KKN (Kuliah
Kerja Nyata), atau entah apalagi namanya.
Pada saat tersebut mereka langsung terjun ke
masyarakat, jemput bola. Tanpa memikirkan pamrih
mereka memberi penyuluhan, memotivasi masyarakat,
bekerja sama dengan aparat, pamong desa, tokoh
masyarakat, maupun ibu-ibu PKK, tidak ada sekat yang
dapat membatasi para mahasiswa melakukan baktinya
pada masyarakat, tidak ada kebuntuan komunikasi, tidak
ada kendala uang transport, tidak ada jam kerja yang
membatasi, ataupun kendala lain yang berarti, meski
dengan ilmu dan pengalaman yang sangat terbatas.
Sebuah konsep sederhana bukan?
Namun, saat mereka telah menjadi tenaga
kesehatan di Puskesmas menjadi sebuah kontradiksi yang
Jelajah Nusantara
102
umum. Kegiatan tenaga kesehatan di Puskesmas hampir
sembilan puluh persen berada di gedung Puskesmas,
kunjungan atau kegiatan luar gedung hanya menjadi
formalitas di atas kertas, sekedar memenuhi target
pencatatan dan pelaporan. Sebuah kegiatan yang jauh dari
harapan, menjadikan Puskesmas hanya sebagai ‘balai
pengobatan’, bukan sebagai ujung tombak pembangunan
kesehatan dan sebagai ‘Pusat Kesehatan Masyarakat’.
Kebijakan yang digariskan berdasar “paradigma
sehat” yang mengedepankan intervensi preventif dan
promotif tanpa melupakan kuratif/rehabilitatif masih
sekedar formalitas. Aplikasi di lapangan, baik itu
penetapan anggaran, maupun rencana kegiatan lebih
besar ke arah kuratif/rehabilitatif.
Memanfaatkan Kelompok Warga
Pada era otonomi, seharusnya Pemerintah Kota
Surabaya dapat mengembangkan suatu inovasi kebijakan,
tidak hanya menjalankan apa yang diarahkan oleh pusat
(Kementerian Kesehatan).
Karena apa yang diarahkan oleh Kementerian
Kesehatan lebih bersifat umum tanpa melihat potensi
lokal
sp-sifik
masing-masing daerah.
Surabaya sebagai kota metropolis, dengan
pinggirannya yang masih berupa kampung-kampung
mempunyai karakteristik lokal yang unik. Dimana tempat
hiburan malam bertebaran di segala penjuru kota, tetapi
majelis taklim maupun jam’aah Yasin tumbuh bak jamur di
musim hujan, atau lihatlah Persebaya dengan puluhan ribu
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
103
suporter bonek-nya yang fanatik, dan juga ludruk, kesenian
khas Surabaya yang hampir punah itu.
Sampai saat ini baru terdengar upaya jemput bola
berupa pemeriksaan sarang nyamuk yang kurang
mendapat respon dari masyarakat, entah karena sosialisasi
yang kurang dan tidak tepat, atau kesiapan tenaga (hanya
mengandalkan Jumantik) dan alat kesehatan yang belum
memadai, atau penetapan kebijakan yang kurang melihat
potensi lokal.
Belum pernah terdengar ada ‘Puskesmas’ di
Surabaya melakukan penyuluhan tentang AIDS di diskotik,
penyuluhan flu burung di majelis taklim, sosialisasi
masalah formalin di arisan ibu-ibu, penyuluhan cuci tangan
di Kebun Binatang, sosialisasi masalah kesehatan
reproduksi dan AIDS saat acara Deteksi Party, promosi
perilaku hidup sehat dan bersih pada saat Persebaya main
Jelajah Nusantara
104
di Tambaksari, melibatkan Bejo Sugiantoro untuk
mengajak
bonekmania
menghindari narkoba, atau
nggandeng Cak Kartolo memasukkan materi kesehatan di
parikan
dan
kidungan
-nya.
Sudah saatnya Pemkot Surabaya berani melakukan
inovasi kebijakan, memanfaatkan kondisi dan karakteristik
lokal Surabaya. Puskesmas harus jemput bola, mendatangi
dimana konsumen (bukan hanya pasien) berada.
Perlu segera disusun materi dan program yang jelas
dengan melihat kemampuan dan sumber daya yang ada,
perlu segera diinventarisir ada berapa majelis taklim di
wilayah kita, ada berapa tempat hiburan yang bisa
dimasuki, ada berapa sekolah yang bisa disuluh, dimana
arisan ibu-ibu dilakukan bulan ini, kapan Persebaya tanding
di Tambaksari, tanggal berapa akan ada konser musik yang
mengundang massa.
Atau bisa juga Pemkot Surabaya memanfaatkan
momen hari Minggu di tengah keramaian pedagang kaki
lima di Tugu Pahlawan atau pedagang kaki lima di halaman
Majid Agung. Tidak ketinggalam hari libur di Kebun
Binatang Surabaya dan Pantai Kenjeran.
Dengan demikian rasa keadilan terpenuhi,
anggaran kesehatan lebih merata dan
cost effective
, tidak
hanya terfokus pada yang sakit, tapi juga yang tidak sakit.
Tidak ada proteksi berlebih pada pasien HIV/AIDS sehingga
tidak terjadi pelanggaran HAM, tidak ada ketakutan
berlebih pada flu burung, sehingga tidak merugikan
pedagang ayam, tidak ada kepanikan soal formalin,
sehingga tidak membangkrutkan tukang bakso, mie,
maupun pedagang ikan asin.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
105
Juga, remaja terdidik, keluarga terbiasa berperilaku
hidup sehat, masyarakat tidak terbebani, tidak terjadi
kepanikan konyol akibat pengertian yang salah pada
penyakit, karena kesehatan sudah menjadi budaya, bagian
dari gaya hidup. Jelas, ini sebuah kegiatan inovatif sektoral
yang berdampak sangat luas.
Maukah Pemkot Surabaya dan tenaga lapangan di
Puskesmas melakukannya?
 Jelajah Nusantara
106
107
PULAU TELLO,
CERITA LAIN TENTANG NIAS SELATAN
Pulau Tello, 16 Juni 2012
Perjalanan kali ini dengan misi uji coba kuesioner
Riskesdas tahun 2013, membawa saya ke salah satu DTPK
(Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan) yang
sekaligus daerah terluar republik ini. Pulau Tello, demikian
pulau berpenghuni sekitar 8 ribu jiwa ini biasa disebut.
Pulau yang berada dalam wilayah pemerintahan
Kecamatan Pulau-Pulau Batu Kabupaten Nias Selatan ini
merupakan salah satu pusat bagi pulau-pulau kecil lain di
sekitarnya.
Jelajah Nusantara
108
Pulau pusat? Ahh... jangan terlalu dibayangkan
yang terlalu muluk. Besarnya tak melebihi satu kelurahan
di Pulau Jawa, dan bahkan di peta Indonesia pun tak
terlihat keberadaannya. Sejatinya di Wilayah
Pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Batu terdiri atas
sekitar 56 desa, tetapi yang berada di Pulau Tello ada
sekitar 18 desa saja.
Saya mencoba mengelilingi pulau kecil ini dengan
naik motor bersama rekan anthropolog, Kang Setia
Pranata. Secara keseluruhan perjalanan keliling pulau tak
lebih hanya 14 kilometer saja, dengan jalan beraspal
selebar 2 meter yang kadang meluas, kadang menyempit,
meski yang lebih sering adalah menyempitnya. Perjalanan
menyusuri pantai ini seharusnya menyenangkan, karena
pemandangan pantai, laut dan pulau-pulau lain yang
sungguh-sungguh indah, tapi kesenangan ini harus
terganggu, karena saya yang duduk di depan menjadi
driver,
harus waspada terhadap kondisi jalan yang
beberapa ruasnya telah rusak.
Dalam perjalanan mengelilingi pulau yang singkat
dan menyenangkan ini, beberapa kali kami harus berhenti
karena hujan. Hujan turun mulai dari rinai sampai
cenderung lebat selalu menemani keberadaan kami
selama di pulau ini. Cuaca di pulau ini memang sering tidak
menentu, hari ke hari terasa sangat ekstrim. Sehari cerah
dan terang benderang, hari berikutnya bisa terjadi hujan
badai yang sungguh menakutkan.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi banyak
tambahan informasi terkait adat budaya warga Pulau Tello
yang dalam beberapa hal mirip dengan induk
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
109
Kabupatennya di Teluk Dalam yang menyatu dengan
Kabupaten Nias di Pulau Nias.
Dalam pola tata letak rumah dalam satu desa, yang
kurang lebih berisi 20 rumah, mengelilingi sebuah tanah
lapang dengan membentuk huruf ‘U’, yang oleh
masyarakat setempat biasa disebut sebagai
ewali.
Tata
letak seperti ini mirip dengan pola desa masyarakat Nias di
Teluk Dalam, hanya di Teluk Dalam di tengah-tengah
perumahan desa tersebut berdiri kokoh tumpukan batu
setinggi 2 meter untuk adat ‘lompat batu’ yang sudah
kesohor seantero nusantara.
Denah
Ewali
Jelajah Nusantara
110
Pola tradisional
ewali
pada saat ini telah sedikit
‘rusak’ dengan adanya tambahan bangunan pada gerbang
sebelah kiri dengan tulisan yang cukup besar ‘PNPM
MANDIRI’! yang meru-pakan ba-ngunan MCK (mandi-cuci-
kakus) yang didanai dari PNPM Mandiri.
Keberadaan
ewali
di sepanjang pulau ini memiliki
adatnya masing-masing yang seringkali berbeda satu
dengan lainnya. Di pulau ini ma-syarakatnya sebagian
besar beragama Islam dan Nasrani dengan jumlah yang
bisa dibilang berimbang. Mereka hidup dalam koloni-
koloni
ewali
yang seringkali berselang-seling di sepangjang
ewali
yang berjajaran. Satu
ewali
Muslim, di sebelahnya
Nasrani, sebelahnya lagi Muslim, demikian.
Beberapa
ewali
memiliki adat
maluaya,
yaitu
budaya berpantun dan bersyair pada saat-saat upacara
kematian dan atau perkawinan. Hal ini mirip dengan
budaya
maena
di daerah Teluk Dalam-Nias Selatan yang
pada tahun 2012 ini dicoba dimasuki dengan memasukkan
syair-syair bernafas kesehatan sebagai upaya intervensi
Kesehatan Ibu dan Anak oleh Pusat 4 Litbangkes ( Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat) dengan bekerja sama dengan akademisi dari
Universitas Sumatera Utara.
***
Perjalanan tak melulu menyenangkan, meski kami
berusaha betul menikmatinya. Dalam beberapa
kesempatan saya melihat anak-anak maupun orang
dewasa yang ‘cacat’, tangan atau kakinya tidak berfungsi
dengan baik akibat tidak tumbuh sempurna, yang dalam
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
111
bahasa Jawa sering disebut sebagai ‘
cekot
’, atau bahasa
kurang ajarnya tangan atau kakinya ‘keriting’ (ma’af).
Kondisi ini beberapa kali saya temui di Desa Pasar Pulau
Tello yang merupakan
basecamp
kami, yang juga
kebetulan adalah ‘pusat’ keramaian di Pulau ini. Setelah
saya konfirmasi pada beberapa rekan Puskesmas, mereka
membenarkan realitas tersebut. Setidaknya ada 10-20
orang dengan kondisi yang demikian di sekitar wilayah
tersebut.
Saya jadi teringat dengan keberadaan ‘kampung
gila’ di wilayah Kabupaten Ponorogo-Jawa Timur, yang
pada tahun 2011 lalu rekan saya Aan Kurniawan,
anthropolog, sempat tinggal di desa tersebut untuk
kajiannya. Saya coba gali lebih jauh informasi apapun
terkait kondisi tersebut.
Kecurigaan saya ada ‘sesuatu’ adat budaya
setempat yang membuat kondisi tersebut memungkinkan
terjadi. Kecurigaan saya bertumpu pada pola genetik yang
mengikut pada ‘pola perkawinan’ adat setempat, dan
sepertinya kecurigaan saya menemukan titik temu.
Masyarakat adat Pulau Tello memiliki kebiasaan
menikah dengan sesamanya yang satu marga, satu
keluarga, satu
ewali
. Pola perkawinan seperti ini yang saya
curigai seringkali menghimpun ‘kelemahan’ genetik dalam
satu keluarga, sehingga ‘kelemahan’ tersebut tetap
diturunkan pada generasi selanjutnya. Setidaknya
kelemahan pola perkawinan ini merujuk pada kajian
terdahulu terkait galur genetik
hemophilia
pada keluarga
Kerajaan Inggris (kalau keliru tolong dikoreksi).
 Jelajah Nusantara
112
Tapi... saya toh bukan peneliti genetik semacam itu,
mesti ada penelitian lebih lanjut oleh peneliti yang
mendalami masalah tersebut. Siapa tahu rekan peneliti
dari Litbangkes ada yang tertarik mendalami fenomena ini,
baik dengan pendekatan teknis genetik maupun
pendekatan budaya terhadap pola perkawinannya.
Ahh... selalu saja ingin tahu.
113
KABUPATEN NATUNA,
DONGENG IRONI POJOKAN NEGERI
Ranai_Natuna, 02 November 2012
Secara umum kondisi Kabupaten Natuna tidak bisa
kita dapatkan hanya bila bertandang ke ibukotanya saja.
Hal yang seringkali selama ini dilakukan oleh banyak
pejabat saat kunjungan ke wilayah ini.
Hahaha... mohon ma’af bila memulai tulisan dengan
kalimat yang sedikit pedes, karena saya sungguh sangat
berharap banyak.
Bila mendengar kata ‘Kabupaten Natuna’, maka
imej yang ada di kepala adalah kabupaten kaya raya!
Jelajah Nusantara
114
Bagaimana tidak? Sumber daya alam tambangnya sungguh
benar-benar melimpah. Belum lagi cadangan gas alam
Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara
Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222
trillion
cubic feet
(TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat
sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber
terbesar di Asia.
Kabupaten kaya? Tentu saja! Hanya mungkin perlu
banyak sentuhan oleh pemimpin-pemimpin yang punya
hati. Karena setidaknya sudah dua periode pemerintahan,
dua mantan Bupati berhasil ‘disekolahkan’ oleh Kejaksaan.
Mantan Bupati periode ketiga sepertinya juga harus
deg-
deg
an.
Pemerintahan daerah Kabupaten Natuna saat ini
adalah periode ke empat pasca pemekaran Kabupaten
Natuna dari Kabupaten Kepulauan Riau berdasarkan
Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Kabupaten
Kepulauan Riau sendiri berkembang menjadi Propinsi
tersendiri dari hasil pemekaran Propinsi Riau.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
115
Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang
memiliki banyak
lanscape view
yang sangat cantik ini
merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik ini
yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga
Vietnam dan Kamboja. Dengan posisinya yang demikian,
maka Kementerian Kesehatan menempatkan Kabupaten
Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah
Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).
Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah
kabupaten kepulauan ini bisa dilihat dari ketersediaan
sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon
tetap (
fixed landlines
), hanya tersedia di sekitar Ranai
sebagai ibukota kabupaten ini saja. Untuk wilayah lain
yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan telepon
seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau
Midai misalnya, sinyal cukup sulit untuk didapatkan.
Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah berharap akan
ada sinyal yang sampai.
Jelajah Nusantara
116
Untuk Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat, secara nasional Kabupaten Natuna
menempati urutan ke 306 dari 440 kabupaten/kota yang
ada saat dilakukan pemeringkatan pembangunan
kesehatan tersebut. Sedang secara propinsi Kabupaten
Natuna menempati posisi kunci, atau urutan terakhir dari 6
kabupaten/kota yang yang ada di Propinsi Kepulauan Riau.
Kondisi yang demikian menempatkan Kabupaten Natuna
sebagai salah satu Kabupaten DBK (Daerah Bermasalah
Kesehatan).
Jaminan Kesehatan Daerah
Kabupaten Natuna adalah salah satu dari sekian
banyak Kabupaten/Kota yang memiliki dan menerapkan
sistem pembiayaan kesehatan sendiri. Secara umum
jaminan semacam ini di Indonesia biasa disebut sebagai
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna membiayai
Jamkesda-nya murni dari dana APBD. Dengan paket
layanan yang menyeluruh Pemerintah Daerah
mencantumkan seluruh penduduk tanpa kecuali sebagai
peserta Jamkesda. Penduduk hanya perlu membawa Kartu
tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk
mendapatkan tanda Kartu Peserta khusus Jamkesda.
Dalam pengakuan petugas kesehatan, pelaksanaan
kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2009
ini di lapangan cukup disiplin. Provider, dalam hal ini
Puskesmas dan Rumah Sakit cukup tegas untuk
menanyakan Kartu Peserta saat ada pasien yang datang.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
117
Bila pasien lupa atau tidak mempunyai Kartu Peserta,
maka provider akan menarik tarif pelayanan sesuai Perda.
Meski demikian, realitas berbeda diungkap oleh tokoh
masyarakat setempat. Pak Ayat, salah satu tokoh
masyarakat setempat yang baru saja memanfaatkan
pelayanan di Puskesmas mengaku,
“...menurut saya tidak terlalu ketat pak. Kemarin,
dua hari yang lalu, saya sempat mengantar ibu
saya berobat ke Puskesmas. Begitu datang
langsung dilayani tanpa ditanyakan tentang Kartu
Perserta Jamkesda...”
Sebuah peluang untuk kebocoran dana Jamkesda.
Beberapa keluhan sempat terlontar saat berdiskusi
dengan para bidan di Puskesmas Ranai dan Puskesmas
Percontohan Sedanau. Sistem klaim Jamkesda yang rumit,
serta waktu pencairannya yang cukup lama, antara 3 bulan
sampai dengan 1 tahun. Belum lagi masalah berkas yang
hilang.
Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak;
Jamkesda versus Jampersal
Pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten
Natuna dalam pandangan saya seperti sebuah judul
parodi, ‘
Maju Kena, Mundur Kena’
, semuanya serba
setengah-setengah.
Magak
.
Keberanian Kabupaten Natuna untuk tidak ikut
mengambil sumber pembiayaan kesehatan ibu dan anak
yang di-
launching
Pemerintah Pusat, dalam benak saya
sebelumnya lebih dikarenakan alasan Pemerintah Daerah
Jelajah Nusantara
118
(Pemda) sudah merasa cukup mampu dengan Anggaran
dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang cukup besar,
sekitar satu setengah trilyun rupiah, sehingga Pemda
Kabupaten Natuna sudah bisa mandiri dalam semua
pembiayaan daerahnya.
Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan
Kesehatan beserta Kasie Kesehatan Keluarga, didapatkan
beberapa alasan yang menjadi ke’tidakmampu’an
Kabupaten Natuna mengadopsi Jampersal.
“Pada saat Jampersal di-launching oleh
Kementerian Kesehatan sekitar bulan April 2011,
di Kabupaten Natuna telah ada Perda Nomor 2
Tahun 2009 yang mengatur tentang ketentuan
tarif pelayanan kesehatan. Perbedaan tarif
pelayanan antara yang ditanggung oleh Jampersal
dengan Jamkesda seperti diatur dalam Perda
tersebut menurut Dinas Kesehatan tidak bisa
diadaptasi oleh Perda. Hal ini dikarenakan
penulisan (wording) Perda yang tidak ada celah
untuk kompromi tarif. Sedang untuk merubah
Perda dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak
sedikit, sehingga akhirnya diputuskan untuk tetap
membiayai pelayanan persalinan melalui
Jamkesda.”
Pernyataan ini setidaknya telah dibenarkan oleh Kasie
Jaminan Kesehatan serta verivikator Jamkesda.
Tarif pelayanan sesuai ketentuan Jampersal, untuk
persalinan normal pada tahun 2011 sebesar Rp. 350.000,-,
dan pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi Rp.
500.000,-. Besaran tarif pelayanan persalinan normal ini
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
119
saja sudah membuat Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna
berpikir ulang untuk bersegera mengadaptasi Jampersal.
Sebagai perbandingan, tabel berikut memaparkan
tarif pelayanan tindakan kebidanan yang ditanggung oleh
Jamkesda sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2009;
Dengan tingginya kesenjangan tarif layanan yang
ditanggung ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di
kalangan bidan. Ketidakpuasan ini terlontar saat diskusi
dengan para bidan, setidaknya bidan di wilayah Puskesmas
Ranai dan Puskesmas Sedanao. Hal ini juga setidaknya
di’amin’i oleh Ketua IBI setempat.
Di wilayah Puskesmas Sedanao sendiri, tidak ada
satupun persalinan dilakukan di dalam Puskesmas, meski
Puskesmas Percontohan Sedanao adalah Puskesmas rawat
inap yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan lebih baik
dibanding Puskesmas lainnya. Bidan lebih senang
menolong di rumah penduduk, karena Jamkesda tidak
mengcover persalinan yang tidak dilakukan fasilitas
pelayanan kesehatan. Jadi bidan bisa menarik biaya
persalinan yang berkisar Rp. 500.000,-. Meski menurut
pengelola Jamkesda di Puskesmas Sedanao, klaim
Jamkesda tetap juga dilakukan oleh Bidan. Dobel klaim
Jelajah Nusantara
120
yang pada akhirnya diakui lirih oleh pengelola Jamkesda
Puskesmas.
Ke depan, pada tahun 2013, dalam rencana akan
diambil langkah strategis untuk merubah Perda yang
mengatur tentang tarif tersebut. Sehingga diharapkan
nantinya Pemda Kabupaten Natuna nantinya bisa
mengadopsi Jampersal sebagai salah satu sumber
pembiayaan kesehatannya.
Ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas
pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dibilang hanya ada
pelayanan dasar saja, kecuali di ibu kotanya, Ranai, yang
telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat
rujukan tingkat kabupaten. Gambaran utuh kombinasi
antara RSUD sebagai satu-satunya pelayanan kesehatan
lanjutan serta ketersediaan sarana transportasinya, bisa
didapatkan setelah pembaca membaca topik ‘Ketersediaan
Sarana Transportasi Rujukan’.
Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga
kesehatan telah lebih dari cukup tersedia. Untuk tenaga
bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini. Dengan
jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka
seharusnya semua desa telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi
kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas Kesehatan, ada
beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan.
Bagaimana tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70an
bidan menumpuk di Ranai.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
121
Gambaran sisi lain pelayanan kesehatan bisa
didapatkan saat saya berkunjung ke Unit Transfusi Darah
Rumah Sakit (UTD-RS), satu-satunya UTD yang ada di
Kabupaten tersebut. Saat itu tanggal 1 November 2012,
stok darah untuk golongan darah A tinggal satu kantong,
golongan darah B satu kantong, golongan darah AB tujuh
kantong, dan golongan darah O juga tersisa satu kantong.
Saya pun tergerak ingin ikut merasakan pelayanan
UTD-RS ini. Saya mendaftar untuk ikut mendonorkan
darah. Pelayanan dilakukan tanpa pemeriksaan awal yang
berbelit, seperti layaknya sebuah UTD yang saya biasa lalui
di UTD PMI Surabaya. Hanya dilakukan pengukuran
tekanan darah, tanpa pemeriksaan golongan darah, tanpa
pemeriksaan kadar HB, tanpa pengukuran berat
badan/tinggi badan, tanpa ditanyai sedang sehat atau
sakit, juga tanpa
inform consent
. Saya berpikiran positif
saja, mungkin darah akan diperiksa pasca layanan
penyadapan darah.
Tak terlalu lama, kantong darah berisi 250 cc telah
terisi penuh! Saatnya pulang, saatnya berpamitan. Dan
saya pulang dengan dibekali empat kaleng susu kental
manis dan satu papan telur ayam mentah, yang berisi
sekitar 30 butir telur. Kompensasi untuk pendonor darah
yang sangat ‘mewah’ dibanding dengan daerah lain.
Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan
Berbicara tentang sarana transportasi di Natuna,
rasanya kita perlu sering berhenti sebentar untuk sekedar
menarik nafas dengan sangat dalam.
Jelajah Nusantara
122
Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di
Ranai, dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta
dengan wilayah paling Selatan di wilayah Pulau Subi dan
Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan
kesabaran untuk mencapainya.
Paparan berikut saya harap mampu memberi
sedikit gambaran tentang beberapa jalur transportasi serta
ketersediaan sarana transportasinya, berdasarkan hasil
wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan
Kabupaten Natuna;
A.
Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh
sekitar 8 jam perjalanan dengan kapal besi reguler
dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan
frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa
ditempuh dengan kapal kayu (tongkang), yang bila
beruntung kita bisa
nebeng
kapal barang dengan
tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa
sendiri dengan tarif lima sampai belasan juta,
tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga
bergantung dengan tingkat keamanannya.
B.
Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal
Pelni Bukit Raya yang memerlukan waktu tempuh
sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan
tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga
tersedia dalam frekuensi sekitar 15 hari sekali.
C.
Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di
dua jalur sebelumnya, cukup murah, hanya dalam
kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak
tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan.
Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
123
Dalam benak saya, bagaimana sistem rujukan bisa
berjalan dengan ketersediaan sarana transportasi yang
sedemikian? Buat apa ada jaminan kesehatan daerah yang
mengcover semua jenis pelayanan bila aksesnya tidak
cukup tersedia? Bagaimana bila ada ibu hamil yang butuh
rujukan dengan segera? Harus menunggu satu minggu
lagi? Dua minggu lagi? Ahh...
Dalam kesempatan wawancara dengan Kabid
Yankes ini juga sempat terlontar adanya janji dari
Kementerian Kesehatan (sie DTPK) yang menjanjikan
speedboad
untuk daerah perbatasan lau, khususnya Pulau
Laut, yang sampai dengan saat ini belum ada realisasinya.
Padahal menurut pengakuan Kabid Yankes tersebut, telah
sempat untuk disuruh mengajukan spesifikasi kapal yang
sesuai dengan kondisi setempat.
Local Wisdom
Dalam sebuah diskusi dengan para tokoh
masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan, kepada
desa/lurah, serta dukun bayi, terungkap budaya
masyarakat Natuna yang selalu harus didampingi bidan
kampung (dukun bayi) pada saat melahirkan. Ke’harus’an
ini juga tetap berlaku meski pertolongan persalinannya
dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan).
Bidan kampung memang memiliki posisi strategis
dan cukup berpengaruh bagi masyarakat Suku Melayu
yang mendominasi penduduk Natuna (sekitar 87%). Dalam
satu kali persalinan masyarakat mau merogoh kocek
sampai dengan Rp. 500.000,- untuk jasa bidan kampung
ini. Halifah, salah satu bidan kampung yang biasa dipanggil
Jelajah Nusantara
124
‘Mak Pah’ ini telah berpraktek sebagai bidan kampung
selama 35 tahun di wilayah Bunguran Timur. Bidan
kampung yang sudah nenek-nenek tapi masih kenes ini
mengaku dalam sepanjang karirnya belum pernah ada satu
pun ibu atau bayi yang meninggal dalam ampuannya.
Kondisi lain yang cukup menarik di Kabupaten
Natuna adalah komposisi penduduknya. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga berdasarkan
hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah 17.961 rumah
tangga, dengan jumlah penduduk 69.319 jiwa. Hal ini
berarti bahwa banyaknya jiwa dalam satu rumah tangga
secara rata-rata sebanyak 3,86 orang, atau dengan kata
lain dalam satu rumah tangga, dengan dua orang tua,
hanya ada satu atau dua anak dalam rumah tangga
tersebut.
Â
125
Â
126
Rata-rata anggota rumah tangga ini di setiap
kecamatan cukup bervariasi, berkisar antara 3,55 orang
sampai dengan 4,22 orang. Rata-rata jumlah anggota
rumah tangga terendah adalah di kecamatan Midai yakni
3,55 orang, dan tertinggi di Kecamatan Pulau Laut yakni
4,22 orang.
Sudah hampir waktu subuh, kita cukupkan dulu
tulisan ini. semoga kearifan lokal ini bisa menjadi modal
untuk memulai sebuah perubahan. Semoga.
127
Tentang Penulis
Agung Dwi Laksono, adalah
seorang peneliti di Pusat
Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat.
Peneliti yang sempat bekerja
sebagai wartawan di Harian
Jawa Pos ini pernah
mengenyam pekerjaan di
Puskesmas Pagerwojo-Kabupaten Tulungagung setidaknya
sampai lima tahun sebelum akhirnya berada di tempat
bekerja yang sekarang.
Agung yang berlatar belakang pendidikan S1
public health
ini aktif di dunia maya, setidaknya aktif di beberapa milis
kesehatan, jejaring sosial, maupun sebagai
blogger.
Ia
bersama-sama dengan penggiat
public health
lainnya
mengusung
genre public health versi 2.0
, yang oleh
beberapa penggiat diyakini sebagai gerakan
public health
era baru, gerakan
publich health
yang memanfaatkan
kemutakhiran teknologi informasi sebagai sarana
penyampaian informasi.
128
Dengan gaya bahasa populer, Agung berusaha
menempatkan setiap tulisannya mampu untuk diterima
kalangan muda, sasaran tembak paling produktif menurut
dia. Beberapa buku telah ditulis dengan gaya populer,
meski juga terselip beberapa buku serius sebagai buku
publikasi hasil kajian dan atau penelitian yang digelutinya.
129
E book 4 free!
Dapatkan e book
‘Analisis Kebijakan Ketenagaan;
Sebuah Formulasi Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum’
Link download;
http://www.baixardoc.com/doc/95002369/Analisis-Kebijakan-
Ketenagaan-Agung-Dwi-Laksono
130