Transcript
ATRIBUSI KEKERASAN PADA PEREMPUAN
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh:
Siti Rohmah Nurhayati
Abstract
This research aims to reveal the attribution of violence that was made by
women victims of domestic violence. There were 45 women victims of
domestic violence participate in this research. They were completed
psychological scale of violence attribution. Data were analyzed using
descriptive statistic. The results of this research showed: (1) twenty three
(51%) of subject were made tend external attribution for domestic
violence were experienced; (2) seventeen (37,8%) of subject were made
tend stable attribution domestic violence were experienced; (3) twenty
one (46,6%) of subject were made tend uncontrollable attribution
domestic violence were experienced
Keywords: attribution, domestic violence, victims
Pendahuluan
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena sosial yang telah
berlangsung lama dalam sebagian rumah tangga di dunia, termasuk di Indonesia.
Jika selama ini kejadian tersebut nyaris tidak terdengar, hal itu lebih disebabkan
adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan peristiwa domestik yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka.
Terdapat hambatan sosial, budaya, dan ekonomi yang harus dihadapi perempuan
ketika mereka mau mengekspos masalah kekerasan yang dialaminya, sehingga
para korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sering memilih diam
dan cenderung membiarkan peristiwa kekerasan yang menimpanya terus
berlangsung.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak lebih
sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian,
menurut Strauss (dalam Penrod, 1986) kekerasan antara pasangan lebih mudah
terjadi dibanding kekerasan pada anak-anak. Dari dua ribu pasangan yang
diwawancarai ditemukan bahwa dua puluh lima persen dari mereka mengalami
kekerasan fisik dari pasangan dalam rumah tangga. Menurut Bogard (1993),
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terjadi karena secara umum
dalam konstruksi sosial perempuan mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari
pada laki-laki, sehingga mereka lebih rentan dalam menghadapi ketidakadilan,
kesewenangan maupun kekerasan. Selain itu dalam masyarakat ada
kecenderungan pemikiran bahwa suami berhak atas isteri sehingga jika isteri
bersalah ia mempunyai hak untuk memukulinya.
Kekerasan dalam rumah tangga membawa dampak negatif bagi
perempuan. Walker (dalam Unger & Crawford, 1992) menemukan bahwa
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami penderitaan fisik
seperti patah tulang, patah leher, bengkak pada mata dan hidung, luka di tangan,
punggung, dan kepala, sampai yang lebih parah seperti kehilangan ginjal dan
pendarahan. Secara psikologis menurut Astin (dalam Kendall & Hamen, 1998)
mereka merasa putus asa, tidak berdaya, mati rasa, depresi, menarik diri dan
penurunan motivasi.
Kekerasan dalam rumah tangga juga membawa dampak bagi anak-anak.
Penelitian Hotaling dan Sugerman (dalam LKP2, Rumah Ibu
& The Asia
Foundation
, 1999) menunjukkan bahwa sepertiga dari anak-anak yang pernah
menyaksikan ibunya dianiaya mempunyai problem emosional atau perilaku. Anak
laki-laki yang pernah menyaksikan ayahnya menganiaya ibunya akan lebih besar
kemungkinannya untuk melakukan penganiayaan ketika sudah dewasa.
Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Giles dan Sims (dalam LKP2,
Rumah Ibu &
The Asia Foundation
, 1999) menemukan bahwa anak perempuan
yang menyaksikan penganiayaan terhadap perempuan ada kemungkinannya untuk
lebih mentolerir penganiayaan ketika sudah dewasa.
Kekerasan terhadap isteri terbukti secara langsung maupun tidak langsung
menimbulkan akibat yang buruk seperti tersebut di atas, namun kebanyakan isteri
yang mengalami kekerasan cenderung memilih bertahan dalam situasi tersebut.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Puslitkes Atmajaya dengan Rifka Annisa
(Hayati, 1999), tampak bahwa 76% dari 125 korban yang berkonsultasi ke
RAWCC memilih kembali kepada suami.
Salah satu faktor yang dianggap berpengaruh terhadap cara-cara
menghadapi masalah adalah atribusi. Atribusi merupakan suatu proses penilaian
tentang penyebab, yang dilakukan individu setiap hari terhadap berbagai
peristiwa, dengan atau tanpa disadari (Sears, dkk, 1994). Demikian pula ketika
seseorang dihadapkan pada situasi yang menekan, ia akan secara spontan mencari
atribusi terhadap situasi tersebut (Taylor, dkk. 1984).
Weiner (dalam Sears, dkk, 1994; Manstead & Hewstone, 1996)
mengajukan tiga dimensi atribusi: 1) lokasi penyebab. Masalah pokok yang paling
umum dalam persepsi sebab akibat adalah apakah suatu peristiwa atau tindakan
tertentu disebabkan oleh keadaan internal (hal ini disebut sebagai atribusi internal)
atau kekuatan eksternal (atribusi eksternal); 2) stabilitas. Dimensi sebab akibat
yang kedua adalah berkaitan dengan pertanyaan apakah penyebab dari suatu
peristiwa atau perilaku tertentu itu stabil atau tidak stabil. Dengan kata lain,
stabilitas mengandung makna seberapa permanen atau berubah-ubahnya suatu
sebab; 3) pengendalian. Dimensi ini berkaitan dengan pertanyaan apakah suatu
penyebab dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan oleh seorang individu.
Menurut Petri (1981), atribusi kausal menjadi mediator antara stimulus
yang kita temui dalam hidup kita
—
sesuatu yang kita lihat, kita dengar, kita raba
—
dengan respon-respon yang kita buat terhadap stimulus tersebut. Respon ini
meliputi pemikiran kita, perasaan kita dan juga tindakan kita. Dengan perkataan
lain, seseorang tidak langsung merespon terhadap peristiwa di sekitarnya,
melainkan ia merespon kepada makna atau interpretasi yang ia berikan kepada
peristiwa tersebut. Oleh karena itu stimulus yang sama dapat menyebabkan respon
yang berbeda karena interpretasi yang berbeda.
Kesimpulan yang didapatkan dari proses atribusi akan menentukan
perasaan, sikap dan perilaku individu (Sears, dkk, 1994). Oleh karena itu atribusi
diyakini secara luas sebagai mediator pola perilaku yang adaptif maupun
maladaptif . Misalnya Weiner (dalam Sears, dkk, 1994) yang menyatakan bahwa
atribusi mendasari pola-pola motivasi berprestasi; Seligman, dkk (dalam Hong,
dkk, 1999) menyatakan bahwa tipe atribusi yang optimistik atau pesimistik
mendasari pola-pola perilaku yang adaptif atau maladaptif, termasuk sifat mudah
depresi. Dweck (dalam Hong, dkk, 1999) menunjukkan bahwa atribusi turut
mempengaruhi ketidakberdayaan, memprediksi kognisi, perasaan dan penampilan
ketika seseorang mengatasi rintangan. Oleh karena itu atribusi dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam konteks kekerasan dalam rumah
tangga, menarik sekali untuk mengetahui bagaimana atribusi para korban terhadap
kekerasan yang dialaminya.
Cara Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga yang masih berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya.
Subjek berjumlah 45 orang, yang diperoleh secara individual melalui teknik
snowball
dengan bantuan 7 orang informan, dan Pengadilan Agama Kabupaten
Bantul.
Melalui teknik
snowball,
informasi pertama tentang korban kekerasan
dalam rumah tangga yang memenuhi syarat dan bersedia menjadi subjek
diperoleh dari 7 informan. Setelah itu informasi tentang korban kekerasan dalam
rumah tangga yang memenuhi syarat dan bersedia menjadi subjek berkembang
terus berdasarkan informasi dari subjek yang telah terjaring sebelumnya.
Informasi tentang korban kekerasan dalam rumah tangga melalui Pengadilan
Agama Kabupaten Bantul diperoleh dengan cara wawancara langsung pada para
perempuan yang sedang mengajukan gugat cerai pada suaminya. Pengumpulan
data dilakukan dengan skala atribusi kekerasan dalam rumah tangga, yang
selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Deskripsi data penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran secara
umum bagaimana kondisi subjek penelitian pada variabel yang diteliti. Untuk itu
penulis mengolah data penelitian dengan menggunakan statistik deskriptif pada
program SPSS versi 10.00. Adapun deskripsi skor subjek pada skala lokasi
penyebab, stabilitas, dan pengendalian selengkapnya tampak pada Tabel 1.
Tabel 1
Deskripsi Skor Atribusi Kekerasan
Skala
Rerata SD
Hipotetik Empiris Hipotetik Empiris
Lokasi Penyebab 24 24,38 8 9,94
Stabilitas 24 20,18 8 11,14
Pengendalian 24 21,20 8 9,31
Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata empiris dari skor lokasi penyebab
lebih tinggi dari rerata hipotetik atau rerata harapan. Artinya berdasarkan rerata
yang nampak dari lokasi penyebab, atribusi kekerasan para perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi subjek penelitian ini menunjukkan
kecenderungan ke arah eksternal. Dengan demikian, terdapat kecenderungan para
subjek untuk menyimpulkan bahwa penyebab kekerasan yang mereka alami
adalah sesuatu yang berasal dari faktor di luar diri mereka. Adapun berdasarkan
skor stabilitas, Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata skor stabilitas berada di bawah
rerata hipotetik. Artinya berdasarkan rerata yang nampak dari stabilitas, atribusi
kekerasan para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi
subjek penelitian ini menunjukkan kecenderungan ke arah penyebab yang bersifat
stabil atau permanen. Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa penyebab
kekerasan yang mereka alami adalah sesuatu yang bersifat stabil. Sementara itu
berdasarkan skor pengendalian, Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata skor
pengendalian kurang dari rerata hipotetik. Artinya berdasarkan rerata yang
nampak dari pengendalian, atribusi kekerasan para perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga yang menjadi subjek penelitian ini menunjukkan
kecenderungan ke arah penyebab yang tidak bisa dikendalikan atau dipengaruhi.
Untuk memastikan lebih lanjut apakah atribusi subjek penelitian termasuk
eksternal atau internal, stabil atau tidak stabil, dapat dikendalikan atau tidak dapat
dikendalikan, maka diperlukan norma pembanding sebagai dasar interpretasi atas
data penelitian yang dimiliki. Penulis melakukan kategorisasi untuk mendapatkan
norma pembanding dengan pendekatan kategorisasi ordinal yang bertujuan untuk
menempatkan subjek ke dalam lima kategori sesuai dengan masing-masing
dimensi atribusi. Kategorisasi ordinal, menurut Azwar (1999) berangkat dari
asumsi bahwa skor subjek dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap
subjek dalam populasinya secara normal. Perhitungan dengan pendekatan
kategorisasi ordinal didasarkan pada rerata skor hipotetik (
m
) dan standar deviasi
hipotetik (
s
) dengan menggunakan rumus sebagaimana yang tampak dalam Tabel
2.
Tabel 2
Norma Kategorisasi Skor Atribusi
Kategori Interval Skor
Eksternal Tidak stabil Dapat dikendalikan
X >
m
+ 1,5
s
Cenderung
eksternal
Cenderung
tidak stabil
Cenderung dapat
dikendalikan
m
+ 0,0
s
< X
£
m
+ 1,5
s
Cenderung
internal
Cenderung
stabil
Cenderung tidak dapat
dikendalikan
m
- 1,5
s
< X
£
m
+ 0,0
s
Internal Stabil Tidak dapat dikendalikan
X
£
m
- 1,5
s
Keterangan :
m
= rerata skor hipotetik
s
= deviasi standar skor hipotetik
C
= skor subjek
Sementara itu berdasarkan deskripsi data lokasi penyebab dan norma
kategorisasi, kategorisasi skor lokasi penyebab dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Kategorisasi Skor Lokasi Penyebab
Kategori Interval
Skor
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Eksternal 37
–
48 5 11,1
Cenderung eksternal 25
–
36 23 51,1
Cenderung internal 13
–
24 10 22,2
Internal 0 - 12 7 15,6
Jumlah 45 100,0
Menurut kategorisasi sebagaimana tampak dalam Tabel 3 tersebut, dalam
skor lokasi penyebab, kelompok eksternal adalah subjek yang memiliki skor 37
sampai 48, skor kelompok cenderung eksternal bergerak dari 25 sampai 36, skor
kelompok cenderung internal berkisar dari 13 sampai 24, dan skor kelompok
internal adalah 0 sampai 12.
Berdasarkan Tabel 3, dapat disimpulkan bahwa proporsi terbesar subjek
penelitian yaitu sebanyak 23 orang (51,1 %) dalam menilai lokasi penyebab
terjadinya kekerasan rumah tangga termasuk dalam kategori cenderung eksternal.
Dengan demikian hasil ini menunjukkan konsistensi dengan Tabel 1 yang
menunjukkan adanya kecenderungan para subjek untuk membuat atribusi
eksternal terhadap kekerasan yang dialaminya. Artinya mereka menilai bahwa
penyebab kekerasan yang mereka alami adalah sesuatu yang berasal dari luar diri
mereka sendiri, misalnya karena sifat suami, suami tidak bertanggung jawab, dan
suami merasa paling berkuasa.
Hasil tersebut menarik untuk dicermati, mengingat dalam penelitian
terdahulu (Herbert, dkk, 1991) dinyatakan bahwa kebanyakan para perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung menyalahkan diri sendiri atas
kekerasan yang dialaminya. Hal ini terkait dengan tipe atribusi pada orang-orang
yang mengalami depresi yang cenderung mengatribusikan peristiwa-peristiwa
negatif pada sesuatu yang bersifat internal (Seligman, dalam Forsterling, dkk,
1998).
Namun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Jones dan
Nisbet (dalam Karasawa, 1995), bahwa individu cenderung untuk menjelaskan
perilaku mereka dan peristiwa yang menimpa mereka dalam perspektif
situasional, sementara mereka menjelaskan perilaku orang lain dalam perspektif
disposisi pribadi.
Kecenderungan para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
yang menjadi subjek dalam penelitian ini untuk mengatribusikan kekerasan yang
dialaminya pada sesuatu yang bersifat eksternal kemungkinan juga dipengaruhi
oleh pendidikan para subjek yang relatif baik. Hal ini terlihat dari karakteristik
pendidikan subjek yang sebagian besar (64,4%) menempuh pendidikan SLTA ke
atas. Dengan pendidikan yang tinggi, maka kemungkinan mereka untuk mampu
berpikir secara realistis juga semakin tinggi. Oleh karena itu mereka mampu
menilai penyebab kekerasan yang dialaminya bukanlah semata-mata disebabkan
oleh dirinya sebagai seorang perempuan. Beberapa faktor eksternal, khususnya
suami memiliki andil yang cukup besar terhadap terjadinya kekerasan.
Berdasarkan deskripsi data stabilitas dan norma kategorisasi, kategorisasi
skor stabilitas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Kategorisasi Skor Stabilitas
Kategori Interval
Skor
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tidak stabil 37
–
48 3 6,7
Cenderung tidak stabil 25
–
36 14 31,1
Cenderung stabil 13
–
24 17 37,8
Stabil 0 - 12 11 24,4
Jumlah 45 100,0
Menurut kategorisasi sebagaimana tampak dalam Tabel 4 tersebut, dalam
skor stabilitas, kelompok tidak stabil adalah subjek yang memiliki skor 37 sampai
48, skor kelompok cenderung tidak stabil bergerak dari 25 sampai 36, skor
kelompok cenderung stabil berkisar dari 13 sampai 24, dan skor kelompok stabil
adalah 0 sampai 12.
Berdasarkan Tabel 4, maka dapat disimpulkan bahwa proporsi terbesar
subjek penelitian yaitu sebanyak 17 orang (37,8 %) dalam menilai stabilitas
penyebab terjadinya kekerasan rumah tangga termasuk dalam kategori cenderung
stabil. Tabel 4 juga menunjukkan adanya kecenderungan sebagian besar subjek
untuk menunjukkan atribusi yang cenderung stabil dan stabil. Artinya para subjek
menilai bahwa penyebab kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami
adalah sesuatu yang bersifat permanen atau akan selalu datang di masa-masa yang
akan datang. Sebagai contoh penyebab yang dianggap bersifat permanen adalah
sifat suami, kesulitan ekonomi, atau nafsu seksual suami yang besar. Oleh karena
itu penyebab tersebut dinilai akan selalu ada di masa yang akan datang dan
menyebabkan munculnya kembali tindak kekerasan dari suaminya. Misalnya sifat
suami yang pemarah membuat suami mudah marah dan memaki-maki isteri.
Nafsu seksual suami yang besar membuat suami selalu memaksa isteri untuk
melayaninya.
Penilaian tersebut kemungkinan disebabkan oleh berulangnya kekerasan
yang selalu menimpa mereka di dalam kehidupan rumah tangga. Sebagaimana
dinyatakan oleh Johnson (1995), bahwa kekerasan dalam rumah tangga memiliki
kecenderungan untuk selalu berulang. Sebagian besar kasus kekerasan dalam
rumah tangga menunjukkan adanya siklus kekerasan yang mengikuti pola
tertentu. Siklus itu terdiri atas tahap pertama, berupa ketegangan yang meningkat;
tahap kedua
,
berupa terjadinya kekerasan atau penganiayaan; tahap ketiga,
penyesalan dan kemesraan atau bulan madu;
dan tahap
keempat, siklus mulai
kembali, yang artinya kekerasanpun berulang kembali ketika muncul ketegangan
(LKP2, Rumah Ibu &
The Asia Foundation
, 1999).
Para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga membuat atribusi
berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Pengalaman mengajarkan kepada
mereka bahwa kekerasan yang mereka alami sering terjadi dalam kehidupan
perkawinan mereka, meskipun diselingi dengan masa-masa penyesalan dari
suaminya. Dengan berulangnya kekerasan yang menimpa mereka, mereka menilai
bahwa penyebab kekerasan yang mereka alami merupakan sesuatu yang bersifat
permanen atau akan selalu datang dalam kehidupan mereka selanjutnya.
Adapun hasil kategorisasi skor pengendalian penyebab dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5
Kategorisasi Skor Pengendalian
Kategori Interval
Skor
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Dapat dikendalikan 37
–
48 3 6,7
Cenderung dapat dikendalikan 25
–
36 12 26,6
Cenderung tidak dapat dikendalikan 13
–
24 21 46,6
Tidak dapat dikendalikan 0 - 12 9 20,0
Jumlah 45 100,0
Menurut kategorisasi sebagaimana tampak dalam Tabel 5 tersebut, dalam
skor pengendalian, kelompok dapat dikendalikan adalah subjek yang memiliki
skor 37 sampai 48, skor kelompok cenderung cenderung dapat dikendalikan
bergerak dari 25 sampai 36, skor kelompok cenderung tidak dapat dikendalikan
berkisar dari 13 sampai 24, dan skor kelompok tidak dapat dikendalikan adalah 0
sampai 12.
Berdasarkan Tabel 5, maka dapat disimpulkan bahwa proporsi terbesar
subjek penelitian yaitu sebanyak 21 orang (46,6 %) dalam menilai pengendalian
penyebab terjadinya kekerasan rumah tangga termasuk dalam kategori cenderung
tidak dapat dikendalikan. Contoh penyebab yang dianggap sebagai sesuatu yang
tidak dapat dikendalikan adalah derajat sosial ekonomi yang lebih rendah daripada
suami. Hal ini merupakan sesuatu yang menurut sebagian subjek menjadi
penyebab yang tidak dapat mereka kendalikan atau dirubah, sehingga
menyebabkan mereka sering dihina oleh suami mereka.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Umberson, dkk,
1998) yang menyatakan bahwa peristiwa kekerasan dalam rumah tangga dapat
mengurangi kendali pribadi para korban. Walker (dalam Umberson, dkk, 1998)
menyebutnya dengan
“
battered women
’
s syndrome
”
. Para perempuan yang secara
berulang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya belajar bahwa mereka
tidak dapat meramalkan hasil perilaku mereka. Meskipun para perempuan tersebut
berusaha membuat suaminya tenang untuk menghindari konflik yang dapat
mengakibatkan timbulnya perilaku kekerasan, mereka tidak dapat meramalkan
apakah perilaku mereka akan menenangkan atau justru akan membuat marah
suaminya. Menurut Overmeir & Seligman (dalam Parker-Corell & Marcus, 2004)
dalam situasi seperti ini mereka belajar untuk menjadi tidak berdaya dan mengira
bahwa mereka tidak memiliki kendali terhadap situasi yang sedang dihadapi.
Simpulan
Para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi
subjek dalam penelitian ini membuat atribusi yang cenderung eksternal, tidak
stabil, dan tidak dapat dikendalikan terhadap kekerasan yang dialaminya. Atribusi
eksternal dibuat karena ada kecenderungan dari individu untuk mengatribusikan
peristiwa yang menimpa dirinya pada faktor-faktor yang berada di luar dirinya.
Penilaian bahwa penyebab kekerasan bersifat tidak stabil dan tidak dapat
dikendalikan disebabkan karena para perempuan korban kekerasan cenderung
mengalami kekerasan secara berulang, sehingga mereka menilai penyebab
kekerasan yang dialaminya bersifat permanen. Mereka juga belajar menjadi tidak
berdaya untuk menghadapi situasi kekerasan yang dialaminya.
Rekomendasi
Bagi para konselor serta relawan yang melakukan pendampingan terhadap
para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga hendaknya
mempertimbangkan atribusi yang dibuat oleh para korban terhadap kekerasan
yang dialaminya. Perlu ada upaya meningkatkan rasa kendali diri pada para
korban, agar mereka merasa lebih mampu untuk mengatasi masalah. Selain itu
para korban perlu diberi informasi mengenai penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, untuk merestrukturisasi keyakinan-keyakinan yang salah
mengenai penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian penelitian
ini perlu ditindak lanjuti oleh peneliti selanjutnya dengan melihat kemungkinan
terjadinya bias dalam melakukan atribusi oleh para perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga.
Daftar Pustaka
Azwar, S. (1999).
Penyusunan Skala Psikologi
. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bogard, M. (1993).
What are feminist perspective on wife abuse.
Women
’
s studies
essential readings.
New York: New York University Press
Forsterling, F., Buhner, M., & Gall, S. (1998). Attribution of depressed persons:
how consistent are they with the covariation principle?.
Journal of
Personality and Social Psychology.
75, 1047-1061
Hayati, E.N. (1999). Kekerasan terhadap isteri: Studi kasus di Rifka Annisa
Women
’
s Crisis Center Yogyakarta
. Laporan Penelitian
(tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Kerjasama Puslitkes Atmajaya Jakarta dengan Rifka Annisa
Women
’
s Crisis Center Yogyakarta.
Herbert, T.B., Silver, R.C., & Ellard, J.H. (1991). Coping with an abusive
relationship: How and why do women stay?.
Journal of Marriage and the
family.
53, 311-325
Karasawa, K. (1995). An attributional analysis of reactions to negative emotions.
Personality and Social Psychology Bulletin.
21, 456-467
Kendall, P.C., & Hammen, C. (1998).
Abnormal psychology understanding
human problems.
Boston: Houghton Mifflin Company
Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP2) Fatayat NU, Rumah Ibu,
dan Asia Foundation. (1999).
Buku panduan konselor tentang kekerasan
dalam rumah tangga.
Jakarta: LKP2 Fatayat NU dan The Asia Foundation
Manstead, A.S.R., & Hewstone, M. (1996).
The Blackwell encyclopedia of social
psychology.
Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Parker-Corell, A., & Marcus, D.K. (2004). Partner abuse, learned helplessness,
and trauma symptoms.
Journal of Social and Clinical Psychology.
23, 445-
462
Penrod, S. (1986).
Social psychology.
New Jersey: Prentice Hall
Petri, H.L. (1981).
Motivation: Theory and research.
Belmont: Wadsworth Inc
Sears, D.O., Freedman, J.L., & Peplau, L.A. (1994)
Psikologi sosial.
Jilid 1
(terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga
Taylor, S.E. (1995).
Health psychology
. New York: Mcgraw-Hill, Inc.
Umberson, D. et.al. (1998). Domestic violence, personal control, and gender.
Journal of Marriage and the family.
60, 442-452
Unger, R., & Crawford, M. (1992).
Women and gender: A feminist psychology.
New Jersey: McGraw Hill, Inc